Juli 1888 silam, sebanyak 1.400 buruh perempuan menjalankan aksi mogok kerja di pabrik Bryant and May, London Timur, Inggris. 125 tahun kemudian, perjuangan mereka masih menempati posisi terhormat dalam sejarah gerakan buruh.
Aksi pemogokan gadis korek api yang melibatkan hingga tiga ribu buruh pada puncaknya, menandai suatu proses kebangkitan dalam militansi pekerja Industri dan gerakan menuju ‘serikat-buruhisme baru’ dimana sejumlah besar pekerja yang mengorganisir diri dalam serikat-serikat umum siap untuk berhadapan dengan kepemimpinan tua reaksioner dari serikat-serikat pertukangan. Friedrich Engels kemudian menyebutnya sebagai “suatu dorongan kecil yang dibutuhkan untuk menggerakkan longsor salju besar-besaran.”
Hal yang pertama kali harus dicatat mengenai aksi pemogokan gadis-gadis korek api, tidak lain dan tidak bukan dilakukan oleh kaum buruh perempuan yang benar-benar masih gadis, dalam artian kaum buruh perempuan yang sangat muda, belia, bahkan ada yang masih berusia 12 tahun. Bagi kelas pekerja abad ke-19, masa kanak-kanak mereka sangatlah pendek dan terikat hidupnya sebagai buruh anak-anak yang mana sering ditemui di kota-kota besar pasca revolusi Industri. Kondisi-kondisi di pabrik-pabrik tersebut umumnya sangatlah buruk-sebagaimana yang diperhatikan dan dicatat Engels saat tiba di Inggris dan mengilhaminya untuk menulis “Kondisi Kelas Pekerja”.
Di pabrik korek api Bryant and May di Bow, kondisi-kondisi kerja sangatlah buruk bagi kaum buruh. Semua pekerjanya dibayar dengan upah yang sangat rendah, dengan jam kerja yang sangat panjang, dan hak-hak kerja yang sangat sedikit bahkan nyaris tidak ada sama sekali bila dibandingkan dengan kondisi saat ini. Parahnya lagi, polusi gas buang fosfor yang muncul di pabrik dan diperparah akibat kurangnya ventilasi sangat merusak kesehatan buruh-buruh yang bekerja disana. Polusi tersebut secara langsung mengakibatkan sejenis kanker yang disebut “rahang fossy” dimana kulit jadi menguning dan mengakibatkan cacat-cacat kulit sebagaimana yang menimpa para buruh yang bekerja disana.
Tak heran muncul rasa solidaritas yang kuat di antara tenaga kerja Irlandia. Saat kaum majikan bicara tentang “deregulasi” untuk “membebaskan industri” kondisi bejat macam inilah yang ingin dikembalikan oleh kaum majikan.
Terdepat suatu bukti jelas bahwa muncul suatu semangat perlawanan di dalam pabrik yang dulunya sempat berdiri selama beberapa kurun waktu lamanya. Theodore Bryant, bos besar atau majikan utama disana telah mengutip sekian persen dari upah pekerja untuk membangun patung William Gladstone.
Beberapa pekerja kemudian membeberkan pelanggaran tersebut di tahun 1882 dan melempari patung tersebut dengan berbongkah-bongkah batu. Sebagian pekerja bahkan mengiris kulit mereka dan mencucurkan darah ke atas patung tersebut serta menyatakan bahwa selama ini mereka telah membiayai patung tersebut dengan tetes darah mereka sendiri. Beberapa aksi mogok kerja juga terjadi di pabrik yang sama pada tahun 1881 dan 1886 namun hanya sedikit memberikan dampak.
Buruh Beraksi
Suatu artikel berjudul “Perbudakan Kulit Putih di London yang ditulis oleh seorang wartawan bernama Annie Besant kemudian diterbitkan pada tahun 1888 dan membeberkan kondisi-kondisi bejat dalam pabrik. Laporannya juga membeberkan bahwa perusahaan tersebut meraup keuntungan besar akibat penerapan upah buruh yang sangat rendah, bahkan untuk tingkatan East end. Saat majikan kemudian memecat tiga pekerja yang diyakininya sebagai narasumber Besant, gadis-gadis korek api memutuskan untuk beraksi.
Buruh-buruh perempuan pabrik korek api tersebut memutuskan untuk mengadakan aksi mogok kerja selama tiga minggu berturut-turut. Pos pemogokan juga mereka dirikan dan mereka menuai banyak dukungan termasuk dari Dewan Serikat Buruh London. Aksi mogok kerja membutuhkan dana yang tidak sedikit dan karena mogok kerja juga berarti tidak mendapatkan upah dari majikan maka kaum buruh harus mengorganisir pendanaan sendiri baik melalui pengumpulan dana dari pintu ke pintu maupun melalui praktek-praktek penggalangan dana lainnya. Mereka melakukan arak-arakan ke jalan Fleet untuk meraih dukungan dari Annie Besant dan juga mendatangi Parlemen untuk berbicara ke para anggota parlemen serta bergandengan tangan dengan sesama buruh kembali ke tempat semula.
Louise Raw, seorang sejarawan menulis dalam bukunya “Menyalakan Sinar” (Continuum edisi 2011), telah mencatat bahwa Besant sesungguhnya tidak tertarik pada “sosialisme revolusioner atau sindikalisme” (halaman 225) dan menganggap bahwa “serikatisasi adalah suatu hal yang kontra-produktif” (halaman 226) bilamana gadis-gadis korek api menuntut kesepakatan yang lebih baik. Nyatanya Besant bahkan menentang aksi pemogokan sebagai suatu jalan perjuangan. Louise Raw dan sejarawan lainnya mencatat bahwa kepemimpinan aksi tersebut datang dari gadis-gadis pekerja sendiri, dari dalam pabrik, dan bukan dari luar. Kondisi-kondisi brutal telah melahirkan militansi dari dalam dan bukannya diimpor dari luar pabrik.
Kemenangan
Memang selanjutnya, kaum majikan, seperti biasa, mengeluarkan ancaman-ancaman seperti mengancam akan memindahkan pabrik dan sekian ancaman lainnya untuk mematahkan aksi pemogokan. Meskipun demikian setelah tiga minggu tidak ada produksi sama sekali, akhirnya para pemilik pabrik menyerah-aksi mogok kerja menang. Tiga ribu buruh kembali bekerja dengan mengenggam kemenangan di tangan.
Namun perjuangan tidak berhenti. Pada 27 Juli, pertemuan pertama dari Serikat Pekerja Perempuan Pembuat Korek Api diselenggarakan dan berhasil mengadakan tanah dan bangunan dari sisa dana-dana pemogokan yang telah mereka kumpulkan. Serikat ini kemudian tumbuh besar dan kemudian diperluas mencakup keanggotaan baik bagi pekerja perempuan maupun pekerja laki-laki.
Hukum sejarah pemogokan juga mencatat suatu hal penting lainnya. Suatu hal yang diluar anggapan kaum sejarawan Victoria bahwa pemogokan ini suatu peristiwa yang terisolasi. Bagaimanapun juga ada bukti jelas bahwa kemenangan mereka mengilhami aksi-aksi lain yang muncul dari perselisihan-perselisihan industrial di tahun-tahun berikutnya. Hukum pemogokan membuktikan kenaikan tajam dalam aksi-aksi pemogokan di tahun 1889 dimana jumlah kenaikan tersebut melibatkan para pekerja perempuan. Salah satu yang paling terkenal adalah Pemogokan Buruh Galangan Kapal di tahun 1889. Banyak kaum pekerja yang terlibat dalam aksi tersebut memiliki hubungan langsung dengan para partisipan aksi mogok kerja gadis-gadis korek api. Engels, di tahun 1892, menulis mengenai East End dan mengatakan bahwa aksi tersebut “…telah merontokkan nestapa akut kaum pekerja dan mengembalikan semangat hidup kaum pekerja serta mengantarkannya pada rumah baru bernama ‘Serikatisme Baru’ yaitu, organisasi massa besar dari para pekerja yang dianggap tidak memiliki keahlian.” Bangkitnya serikat-serikat baru dengan pemimpin-pemimpin yang juga baru, mengantarkan pada pertempuran di tingkatan baru yang di kemudian hari berhasil memenangkan perjuangan untuk meraih delapan jam kerja sehari.
Hari ini pabrik Bryant and May sudah tidak ada lagi. Bangunannya memang masih berdiri tapi sudah diubah menjadi apartemen mewah beberapa tahun lalu. Namun perjuangan gadis-gadis korek api dan partisipasinya dalam kebangkitan gerakan serikat buruh di London dan di dunia pada umumnya merupakan contoh cemerlang atas apa yang bisa dihasilkan dari suatu militansi buruh, hal ini masih merupakan pelajaran penting bagi semua aktivis saat ini sekaligus merupakan perlambang dari apa yang bisa diraih dari gerakan kelas pekerja.