Untuk memperingati 150 tahun Komune Paris 1871, kami persembahkan artikel dari Révolution (Seksi IMT di Prancis), yang menjabarkan peristiwa Komune Paris, kelahirannya yang heroik, kekalahannya yang tragis, dan pelajaran-pelajarannya untuk kaum revolusioner hari ini.
Dua puluh tahun sebelumnya, Napoleon III merebut kekuasaan lewat kudeta militer pada 2 Desember 1851. Awalnya, rejimnya tampak kokoh. Organisasi-organisasi buruh direpresi. Tetapi pada akhir 1860an, rejim imperial ini menjadi sangat lemah karena perekonomian yang melambat, dampak dari perang di Italia, Crimea, dan Meksiko, serta kebangkitan kembali gerakan buruh. Hanya peperangan yang baru – dan kemenangan yang pesat – yang dapat menunda jatuhnya “Sang Napoleon Kecil”. Pada Juli 1870, Napoleon III menyatakan perang terhadap Prusia yang dipimpin oleh Bismarck.
Perang dan Revolusi
Perang acap kali memicu revolusi. Dan untuk alasan yang baik. Perang dengan tiba-tiba merenggut orang dari rutinitas sehari-hari mereka dan menghempaskan mereka ke panggung besar sejarah. Massa rakyat mengamati dengan lebih cermat tindak-tanduk para pemimpin negara, para jendral dan politisi dibandingkan selama masa-masa damai. Terutama bila negara mereka mengalami kekalahan.
Ofensif militer yang diluncurkan oleh Napoleon III dengan cepat berubah menjadi bencana. Pada 2 September 1870, di dekat Sedan, sang Kaisar tertangkap oleh pasukan Bismarck, beserta dengan 75.000 serdadu. Di Paris, ada demo-demo besar yang menuntut diakhirinya Kekaisaran Napoleon dan pembentukan sebuah Republik Demokratik.
Di bawah tekanan dari jalan-jalan, kaum oposisi republiken “moderat” memproklamirkan Republik pada 4 September. Sebuah “Pemerintahan Pertahanan Nasional” dibentuk. Menteri Luar Negeri Jules Favre, seorang Republiken borjuis, dengan congkak menyatakan bahwa “tidak satu sentimeter atau tidak satu batupun dari benteng kita” yang akan diserahkan ke Prusia.
Pasukan Jerman dengan cepat mengepung Paris dan menggempurnya. Awalnya, kelas buruh Paris memberi dukungannya pada pemerintah yang baru, atas nama “persatuan” dalam melawan musuh asing. Tetapi jalannya peristiwa selanjutnya menghancurkan persatuan ini dan mengungkapkan kepentingan-kepentingan kelas yang berseberangan yang disamarkan oleh persatuan.
Pada kenyataannya, Pemerintahan Pertahanan Nasional tidak percaya kalau mereka mampu mempertahankan Paris, dan bahkan tidak menginginkannya. Selain pasukan reguler, ada 200.000 anggota milisi Garda Nasional yang menyatakan siap mempertahankan Paris. Tetapi buruh-buruh bersenjata ini merupakan ancaman yang lebih besar terhadap kepentingan kaum kapitalis Prancis dibandingkan pasukan asing yang ada di gerbang kota. Pemerintah merasa jalan terbaik adalah segera menyerah ke Bismarck. Akan tetapi, karena semangat berjuang Garda Nasional, pemerintah tidak bisa menyatakan secara terbuka niatan mereka. Menteri dan Jenderal Trochu mengandalkan dampak ekonomi dan sosial pengepungan kota Paris untuk mematahkan perlawanan buruh Paris. Pemerintah ingin membeli waktu; sementara Trochu menyatakan mendukung mempertahankan Paris, dia melakukan perundingan rahasia dengan Bismarck.
Minggu demi minggu, kebencian kaum buruh Paris terhadap pemerintah semakin menajam. Ada rumor mengenai perundingan rahasia dengan Bismarck. Pada 8 Oktober, jatuhnya kota Metz memicu demonstrasi-demonstrasi baru. Pada 31 Oktober, beberapa pasukan Garda Nasional menyerang dan menduduki Balai Kota. Namun pada titik ini, massa buruh belumlah siap untuk meluncurkan ofensif menentukan melawan pemerintah. Terisolasi, insureksi ini dengan cepat melempem.
Pengepungan kota Paris menghasilkan konsekuensi yang parah. Adalah tugas yang urgen untuk mematahkan kepungan ini. Setelah gagal mundur ke desa Buzenval pada 19 Januari 1871, Jenderal Trochu tidak punya pilihan lain selain mengundurkan diri. Dia digantikan oleh Vinoy, yang langsung menyatakan bahwa mustahil untuk mengalahkan Prusia. Menjadi jelas bagi semua orang kalau pemerintahan ini ingin menyerah, yang mereka lakukan pada 27 Januari.
Rakyat Paris dan Kaum Tani
Di pemilihan Majelis Nasional pada Februari 1871, suara kaum tani memberi mayoritas besar pada kandidat monarkis dan konservatif. Majelis yang baru ini menunjuk Adolphe Thiers – seorang reaksioner kepala batu – sebagai kepala pemerintah. Konflik antara Paris dan majelis “rural” menjadi tak terelakkan. Tetapi bahaya kontra-revolusi memberikan dorongan besar kepada revolusi di Paris. Demonstrasi-demonstrasi bersenjata Garda Nasional berlipat ganda, yang disokong secara masif oleh lapisan populasi yang paling miskin. Kaum buruh bersenjata mengecam Thiers dan kaum monarkis sebagai pengkhianat, dan menyerukan “perang terbuka” untuk mempertahankan Republik.
Majelis Nasional terus-menerus memprovokasi warga Paris. Pengepungan kota Paris telah membuat banyak buruh kehilangan pekerjaan mereka. Uang saku Garda Nasional adalah satu-satunya yang memisahkan mereka dari lapar. Akan tetapi, pemerintah menghapus uang saku yang dibayarkan ke setiap anggota Garda Nasional yang tidak dapat membuktikan kalau dia tidak bisa bekerja. Thiers juga memerintahkan agar uang sewa rumah yang telat dan semua hutang harus dibayar dalam waktu 48 jam. Kebijakan-kebijakan ini dan yang lainnya sangat memukul kaum miskin, dan juga mendorong radikalisasi di antara kelas menengah.
Menyerahnya pemerintahan Prancis kepada Bismarck dan ancaman restorasi Monarki mendorong transformasi Garna Nasional. “Komite Pusat Federasi Garda Nasional” dipilih, yang mewakili 215 batalion dengan 2.000 meriam dan 450.000 senapan. Anggaran Dasar baru diadopsi, yang menyatakan “hak absolut Garda Nasional untuk memilih pemimpin mereka dan me-recall mereka segera setelah mereka kehilangan kepercayaan dari pemilih mereka.” Komite Pusat ini dan struktur-struktur lain yang menyertainya, di tingkatan batalion, mendahului soviet buruh dan tentara yang muncul di Rusia selama Revolusi 1905 dan 1917.
Kepemimpinan baru Garda Nasional segera mendapat kesempatan untuk menguji otoritasnya. Saat pasukan Prusia siap memasuki Paris, puluhan ribu warga Paris yang bersenjata berhimpun untuk menghadapi mereka. Komite Pusat mengintervensi untuk mencegah pertempuran yang terlalu dini ini. Dengan memberi perintah mengenai isu ini, Komite Pusat menunjukkan bahwa otoritasnya diakui oleh mayoritas Garda Nasional dan warga Paris. Pasukan Prussia menduduki sebagian wilayah kota Paris selama 2 hari, dan lalu mundur.
18 Maret
Kepada “rakyat pedesaan” di dalam Majelis, Thiers telah berjanji akan mengembalikan monarki. Tetapi tugas mendesaknya adalah mengakhiri situasi “kekuasaan ganda” yang eksis di Paris. Senapan yang ada di bawah kendali Garda Nasional – dan terutama meriam-meriam yang ada di Montmarte – merupakan simbol ancaman terhadap “tatanan” kapitalis. Pada 18 Maret, pukul 3 pagi, 20.000 tentara dan polisi dikirim, di bawah komando Jendral Lecomte, untuk menyita senjata-senjata ini. Ini dilakukan tanpa kesulitan sama sekali. Akan tetapi, komandan ekspedisi ini melupakan peralatan yang diperlukan untuk memindahkan meriam-meriam ini. Di buku “Sejarah Komune Paris”, Lepelletier menjabarkan apa yang terjadi:
“Tidak lama kemudian sirene mulai berbunyi dan kami mendengar, di jalan Clignancourt, suara tabuhan genderang. Dengan cepat, suasana berubah seperti di teater: semua jalan-jalan yang mengarah ke Butte [Montmarte] dipenuhi dengan kerumunan massa. Mayoritas adalah perempuan; juga ada anak-anak. Garda Nasional tiba dengan senjata dan berjalan ke arah Chateau-Rouge.”
Serdadu pasukan Lecomte dikepung oleh massa yang semakin bertambah. Warga sekitar, serdadu garda nasional, dan serdadu Lecomte berdesakan satu sama lain. Beberapa serdadu berfraternisasi secara terbuka dengan anggota garda. Lecomte dengan putus asa berusaha memulihkan otoritasnya, dan dia memerintahkan serdadunya untuk menembaki kerumunan massa yang ada. Tidak seorangpun menembak. Para serdadu dan anggota garda nasional kemudian bersorak-sorai dan saling berpelukan. Dengan segera, Jendral Lecomte dan Jendral Clement Thomas ditangkap, dan dieksekusi tidak lama kemudian. Jendral Clement Thomas dikenali menembak demonstran buruh pada Juni 1848.
Thiers tidak menyangka kalau serdadunya akan membelot. Dia panik dan meninggalkan Paris. Dia memerintahkan para tentara dan administrator pemerintah untuk meninggalkan Paris dan benteng-benteng di sekitarnya. Dia ingin memastikan agar tentaranya tidak terjangkiti oleh revolusi. Sejumlah tentara yang mundur ke Versailles dengan terbuka menggerutu, dan bahkan meneriakkan slogan-slogan revolusioner.
Dengan runtuhnya aparatus negara yang lama di Paris, Garda Nasional menduduki semua titik-titik strategis tanpa menemui perlawanan yang berarti. Komite Pusat Garda Nasional tidak memainkan peran dalam peristiwa-peristiwa ini. Walaupun demikian, pada malam hari 18 Maret, Komite Pusat menemukan dirinya sebagai pemerintah de fakto dari sebuah rejim revolusioner, dengan basis kekuatan bersenjata Garda Nasional.
Kebimbangan Komite Pusat
Langkah pertama yang diambil oleh mayoritas anggota Komite Pusat adalah menjauhkan diri dari kekuasaan yang jatuh di pangkuannya. Menurut mereka, mereka tidak punya “mandat resmi” untuk berkuasa! Setelah diskusi panjang, Komite Pusat setuju – walaupun dengan segan – untuk menetap di Balai Kota selama “beberapa hari” sembari menunggu diselenggarakannya pemilihan munisipal (komunal).
Problem mendesak yang dihadapi oleh Komite Pusat adalah tentara yang tengah dalam perjalanan ke Versailles, di bawah komando Thiers. Eudes dan Duval mengajukan proposal agar Garda Nasional segera menyerang Versailles, untuk menghancurkan pasukan Thiers yang masih tersisa. Tetapi proposal mereka tidak digubris. Mayoritas Komite Pusat berpendapat akan lebih baik kalau mereka tidak “tampak seperti penyerang.” Komite Pusat mayoritas terdiri dari orang-orang yang jujur, tetapi sangat moderat, dan bahkan terlalu moderat.
Energi dan waktu Komite Pusat dihabiskan dalam negosiasi-negosiasi panjang mengenai tanggal dan aturan pemilu munisipal. Akhirnya tanggal pemilu ditetapkan pada 26 Maret. Thiers menggunakan waktu yang berharga ini untuk keunggulannya. Dengan bantuan Bismarck, pasukan di Versailles diperkuat secara masif dengan pasokan tentara dan senjata, dengan tujuan meluncurkan serangan ke Paris.
Pada hari sebelum pemilu, Komite Pusat Garda Nasional mengeluarkan sebuah deklarasi yang luar biasa, yang meringkas semangat pengorbanan dan ketulusan yang merupakan karakter dari rejim yang baru: “Tugas kami telah usai. Kami akan meninggalkan Balai Kota ini untuk perwakilan-perwakilan terpilih kalian, untuk perwakilan-perwakilan reguler kalian.”
Komite Pusat hanya punya satu instruksi untuk diberikan ke para pemilih: “Jangan lengah akan fakta bahwa orang-orang terbaik yang akan melayani kalian adalah orang-orang yang akan kalian pilih dari antara diri kalian sendiri, yang menjalani kehidupan kalian sendiri, yang mengalami penderitaan yang sama. Hati-hati dengan orang-orang yang ambisius dan yang baru sukses [...] Hati-hati dengan orang-orang yang gemar berceloteh, tetapi tidak mampu bertindak [...]”
Program Munisipalitas
Komune yang baru terpilih ini menggantikan Garda Nasional sebagai pemerintahan resmi Paris. Mayoritas dari 90 anggotanya adalah “Republiken Sayap Kiri.” Kaum militan dari Internasional Association of Workers (atau Internasional Pertama, yang dipimpin oleh Karl Marx) dan kaum Blanquist (orang-orang yang penuh energi, tetapi secara politik kabur) menduduki sekitar seperempat posisi terpilih Komune. Beberapa kaum sayap kanan yang terpilih mundur dari jabatan mereka dengan berbagai alasan.
Di bawah Komune, semua privilese pejabat senior negara dihapus. Terutama, pejabat negara tidak diperbolehkan menerima upah yang lebih besar daripada upah pekerja terampil. Mereka juga bisa dipecat kapanpun.
Biaya kontrak rumah dibekukan. Pabrik-pabrik yang terlantar diletakkan di bawah kendali buruh. Kebijakan diambil untuk membatasi kerja lembur malam hari dan menjamin penghidupan kaum miskin dan yang sakit. Komune mendeklarasikan niatannya untuk “mengakhir persaingan yang anarkis dan menghancurkan di antara buruh, yang menguntungkan kaum kapitalis.” Garda Nasional menerima setiap orang yang layak dan diorganisir seturut prinsip-prinsip demokratik. Badan-badan bersenjata “yang terpisah dari rakyat” dinyatakan ilegal.
Gereja dipisahkan dari negara dan agama dinyatakan sebagai “urusan pribadi.” Rumah-rumah dan gedung-gedung umum diambil alih untuk merumahkan kaum tunawisma. Pendidikan umum dibuka untuk semua orang, demikian juga tempat-tempat kebudayaan dan pendidikan. Buruh-buruh migran dilihat sebagai sekutu dalam perjuangan untuk membentuk “republik universal.” Rapat-rapat digelar siang malam; ribuan rakyat jelata, laki-laki dan perempuan, mendiskusikan bagaimana mengelola berbagai aspek kehidupan sosial demi kepentingan umum. Karakter dari masyarakat baru yang tengah terbentuk di Paris jelas-jelas adalah sosialis.
Kekalahan
Adalah benar kalau kaum Komunard membuat banyak kesalahan. Marx dan Engels mengkritik mereka karena mereka tidak menyita Bank Prancis, yang terus mengucurkan jutaan francs ke Thiers, yang dia gunakan untuk mempersenjatai dan mengorganisir pasukannya.
Ancaman dari Versailles jelas dianggap remeh oleh Komune, yang tidak berusaha menyerang Versailles, setidaknya sebelum minggu pertama April. Komune Paris juga tidak mempersiapkan pertahanan secara serius. Pada 2 April, detasemen Komune yang bergerak ke Courbevoie diserang dan dipukul mundur ke Paris. Para tahanan di tangan Thiers dieksekusi. Esok harinya, di bawah tekanan dari Garda Nasional, Komune meluncurkan serangan ke Versailles. Tetapi kendati antusiasme batalion Komune, kurangnya persiapan militer dan politik, serangan ini gagal. Para pemimpin Komune mengira bahwa para serdadu Versailles akan bergabung dengan Komune segera setelah mereka melihat Garda Nasional. Ini tidak terjadi.
Kegagalan ini memicu gelombang demoralisasi di Paris. Optimisme pada minggu-minggu pertama luntur dan digantikan oleh mood pesimisme, yang memperparah perpecahan di seluruh tingkatan komando militer. Akhirnya, pasukan Versailles memasuki Paris pada 21 Mei. Di Balai Kota, pada momen menentukan ini, Komune tidak memiliki strategi militer yang serius. Mereka berhenti eksis, dan menyerahkan semua tanggung jawabnya ke Komite Keamanan Publik yang sama sekali tidak efektif.
Tentara Garda Nasional ditempatkan di “pos-pos mereka,” tanpa komando sentral. Keputusan ini mencegah pemusatan kekuatan Komune untuk menghentikan serangan pasukan Versailles. Kaum Komunard berjuang dengan teramat berani, tetapi perlahan-lahan dipukul mundur ke sisi timur kota, dan akhirnya dikalahkan pada 28 Mei. Kaum Komunard terakhir yang masih bertempur akhirnya dieksekusi di 20th arrondissement, “Tembok Federasi”, yang masih bisa dilihat di Pere Lachaise. Selama “Minggu Berdarah”, pasukan Thiers membantai setidaknya 30.000 orang, laki-laki, perempuan dan anak-anak, dan mengklaim sekitar 20.000 korban lagi di minggu-minggu selanjutnya.
Negara Buruh
Komune Paris adalah pemerintahan buruh pertama dalam sejarah. Di buku “The Civil War in France”, Marx menjelaskan bahwa Komune Paris telah membuktikan bahwa kaum buruh “tidak bisa puas hanya mengambilalih aparatus negara yang ada dan menggunakan instrumen ini untuk keperluannya. Kondisi pertama untuk mempertahankan kekuasaan politik adalah untuk menghancurkan instrumen dominasi kelas ini.” Kaum Komunard berusaha membangun sebuah negara yang baru, Negara Buruh, di atas puing-puing negara kapitalis di Paris. Dengan melakukan ini, mereka menunjukkan karakter-karakter dasar negara buruh: tidak boleh ada birokrasi; tentara tidak boleh terpisah dari rakyat; tidak boleh ada pejabat yang berprivilese; pemilihan dan hak recall untuk semua penjabat, dll.
Kaum Komunard tidak memiliki waktu untuk mengkonsolidasikan kekuasaan mereka. Keterisolasian mereka – di Prancis yang mayoritas masih agraris – adalah hal yang fatal bagi mereka. Hari ini, sebaliknya, mayoritas rakyat dalam masyarakat adalah pekerja upahan. Fondasi ekonomi untuk revolusi sosialis hari ini jauh lebih matang dibandingkan pada abad ke-19. Oleh karenanya, semuanya tergantung pada kita untuk mewujudkan masyarakat sosialis yang bebas dan demokratik, yang diperjuangkan oleh kaum Komunard sampai titik darah penghabisan mereka.
Komune Paris adalah salah satu peristiwa paling penting dalam sejarah kelas buruh Prancis. Dari pemberontakan 18 Maret sampai “Minggu Berdarah” pada akhir Mei, Paris dikuasai oleh organ demokratik buruh, yang berusaha merombak masyarakat di atas basis yang sepenuhnya baru – tanpa eksploitasi dan tanpa penindasan. Pelajaran dari peristiwa ini masihlah sangat relevan hari ini.