Rakyat Mesir kembali bangkit melawan kediktatoran, kemiskinan, dan korupsi. Kemarin, 30 Juni 2013, jutaan massa rakyat membanjiri jalanan di kota-kota besar dan kota-kota kecil, mulai dari area pedesaan Mesir atas hingga jantung industri Delta Sungai Nil dan di semua jalan di daerah utara. Muhammad Morsi dan Ikhwanul Muslimin, yang dulu dipuji Barat sebagai penyelamat kapitalisme Mesir kini benar-benar dilucuti oleh revolusi. Takdirnya kini berada di tangan gerakan yang memiliki setiap kesempatan untuk menyingkirkannya.
Mengantisipasi hari aksi massa kemarin, demonstrasi telah terjadi di Kairo, Alexandria, dan beberapa kota lain termasuk Dagahliya, Sharqiya, dan Zagazig. Beberapa kantor Ikhwanul Muslimin dan sayap politiknya: Partai Kebebasan dan Keadilan di Delta Sungai Nil dan Alexandria dibom dan digeledah sementara bentrokan antara pendukung Morsi dan Kaum Revolusioner berujung pada jatuhnya beberapa korban tewas dan ratusan luka-luka.
Sejak pagi hari 30 Juni, ribuan rakyat Mesir berkumpul di alun-alun dan di depan gedung-gedung pemerintahan di seluruh penjuru Mesir. Kaum demonstran di Gharbiya merantai beberapa pintu dari berbagai gedung dewan kota serta menegakkan panji-panji dan spanduk bertuliskan “Ditutup Atas Perintah Revolusi“.
Namun seiring berjalannya waktu, gerakan ini makin membesar dan meraksasa, jauh melampaui apapun yang pernah kita saksikan semenjak permulaan revolusi serta mengejutkan semua orang. Di Kairo, alun-alun Tahrir, dan semua jalan kesana, dibanjiri oleh kaum demonstran. Kerumunan yang sama juga tampak di Heliopolis di sekitar Istana Kepresidenan yang lebih menyerupai banjir manusia dan menutupi jalan protokol lebar sejauh mata memandang.
Arak-arakan Kaum Demonstran datang dari setiap penjuru kota melalui gelombang-gelombang yang seakan tanpa henti. Dari beberapa lokasi di Giza, suatu arak-arakan yang dipimpin oleh Hamdin Sabahi, kandidat presiden dari Nasserite serta Kamal Abu Eita, pimpinan dari Federasi Serikat Buruh Independen Mesir berhasil menyatukan puluhan ribu orang.
Arak-arakan demonstrasi ini kemudian bergabung dengan pimpinan oposisi liberal, Muhammad El Baradei, di alun-alun Al-Nahda, di penghujung jalan.
Melewati kantor polisi Dokki, arak-arakan demonstrasi menerima hormat dari para perwira polisi rendahan yang berdiri di depan kantor polisi Dokki sambil memegang bendera-bendera mendukung kaum demonstran, sementara sebagian lainnya memegang plakat yang ditujukan kepada presiden dengan satu pesan lugas: “Turun!”
Ultras Ahlawy, kelompok suporter klub sepakbola Al-Ahly juga berpartisipasi dengan kuat di dalam demonstrasi dengan menggunakan lagu-lagu serta laser-laser hijau untuk semakin meningkatkan atmosfer demonstrasi lebih tinggi.
Slogan-slogan yang diteriakkan massa demonstran sebagian besar menentang Ikhwanul Muslimin, membela Revolusi Mesir, serta menuntut jatuhnya rezim. Dua slogan paling populer adalah “Turun!” serta slogan dari Perlawanan Anti-Mubarak 25 Januari yaitu “Rakyat menuntut turunnya rezim!”
Terdapat berbagai macam orang yang bergabung dalam demonstrasi, mulai dari ibu rumah tangga, buruh, pekerja, hingga mahasiswa, mulai dari ateis, sekuler, sampai kaum muslimah yang berjilbab dan bercadar, laki-laki, perempuan, tua, dan muda. Semua ikut dalam arak-arakan demonstrasi menuju Tahrir atau menuju Istana Kepresidenan dan di tengah perjalanan banyak yang bersalaman dan berfoto bersama dengan para prajurit yang menjaga gedung-gedung utama. Setidaknya terdapat enam perwira tinggi kepolisian yang ikut naik podium di alun-alun Tahrir serta menyatakan mendukung Kaum Demonstran sebagaimana yang dikatakan narasumber Reuters. Menurut BBC, para petugas kepolisian juga bergabung dengan Kaum Demonstran di Alexandria, bahkan beberapa di antaranya dibonceng kendaraan-kendaraan polisi.
Jelas, aktivitas revolusioner intens selama dua tahun oleh massa rakyat telah meninggalkan dampak yang membekas bagi aparatus negara. Awal tahun ini saja terdapat pemogokan nasional dari para petugas kepolisian yang menentang penugasan dan penggunaan mereka untuk menindas rakyat. Mereka juga melaporkan bahwa serikat pekerja-serikat pekerja polisi telah dibentuk, khususnya oleh kaum muda di dalam kepolisian.
Yasmine Fathi dari Ahram Online melaporkan dari Alexandria dimana ratusan ribu massa rakyat turun ke jalan sampai “orang tidak bisa bergerak”. Lebih lanjut ia melaporkan bahwa masih banyak ribuan massa yang datang secara bergelombang.
Wael Nabil, seorang demonstran muda, menuturkan kepada wartwan yang sama di Alexandria bahwa dia akan tetap tinggal sampai Morsi pergi meskipun itu berarti ia harus menunggu setahun lamanya.
“Mubarak menindas kami, namun setidaknya dia masih memberikan layanan-layanan, setidaknya dia tidak memotong listrik, air, dan bensin seperti yang sekarang dilakukan Morsi.”
“Tak ada yang berubah: upahku tidak meningkat. Sementara istriku kini tengah hamil. Lantas bagaimana saya menyediakan kebutuhan untuk anakku nanti?”, tambah Nabil.
Di benteng proletar industrial Mahalla, ratusan ribu orang berkumpul di alun-alun Al-Shoun. Aktivis buruh ternama Kamal El-Fayoumi yang diwawancarai Ahram Online, menyatakan bahwa:
“Ikhwanul Muslimin tidak berani mengorganisir protes di Mahalla. Rakyat kota ini telah mengambil suara untuk menentang konstitusi dan Presiden Morsi serta mereka menolak keberadaan kelompok penguasa tersebut.”
“Saya memperkirakan sekitar satu juta rakyat akan turun ke jalanan Mahalla sore ini”
“Hanya sepuluh persen buruh di Perusahaan Pemintalan dan Penenunan Mahalla Misr milik negara yang bekerja hari ini. Sementara lainnya ikut aksi.”
“Presiden Muhammad Mursi dan Mubarak, keduanya gagal memenuhi janji-janji pemilunya yang lalu”
“Mahalla memberikan sumbangsih besar dalam penggulingan Mubarak dari kekuasaan dan kini kami akan lakukan hal yang sama terhadap Morsi”
Lebih lanjut dia menambahkan bahwa ia akan kembali ke kota industri Mahalla pada senin dan “pada waktu itu bilamana rezim masih belum tergulingkan maka kami akan bergabung dengan aksi pendudukan serta menyerukan pembangkangan sipil,“
Diantara slogan-slogan lain yang diserukan di alun-alun Al-Shoun, Mahalla, adalah “Abdul-Nasser sudah berkata, Ikhwanul Muslimin tak bisa dipercaya,” suatu slogan terkenal yang mengacu pada mantan presiden sekaligus nasionalis kiri, Gamal Abdul Nasser yang peninggalannya kini semakin populer di Mesir.
Situasi serupa juga dapat disaksikan di Mansoura, di gubernuran Sharqiya, dan di Suez.
Di Damietta di utara Mesir, Hatem El-Bayaa dari Aliansi Kerakyatan Sosialis melaporkan bahwa kaum demonstran di kota, diperkirakan telah mencapai beberapa ribu, serta mengambil alih markas gubernuran dan kantor-kantor pejabat pendidikan setempat.Berkoordinasi dengan para pekerja di dalam kantor-kantor gubernuran, para demonstran anti-Morsi merencanakan menduduki gedung-gedung lainnya untuk mencegah Gubernur Damietta, Tarek Fathallah, yang ditunjuk oleh Morsi, agar jangan sampai memasuki kantornya. Dengan urat nadi perlawanan yang sama, tujuh gedung dewan kota telah ditutup oleh para demonstran di gubernuran Menoufiya.
Contoh-contoh ini menunjukkan semangat pemberontakan yang terbangun, dimana massa rakyat tidak membatasi dirinya hanya untuk berunjukrasa di jalanan, namun juga menempuh aksi langsung melawan kekuasaan institusi-institusi pemerintah.
Menurut Kementerian Dalam Negeri Mesir, terdapat tiga juta rakyat di jalanan sementara para pejabat militer yang menolak menyebutkan namanya menyatakan jumlah demonstran lebih besar yaitu 14 juta orang. Meskipun angka-angka ini tidak bisa dikonfirmasi secara pasti namun jelas bahwa ini adalah demonstrasi terbesar dalam sejarah Mesir. Bahkan cakupannya lebih luas daripada revolusi 2011 karena telah meraih karakter massa dari seluruh penjuru Mesir, sementara di tahun 2011, massa rakyat hanya berkumpul di alun-alun Tahrir.
Perimbangan Kekuatan
Menyaksikan datangnya badai, Ikhwanul Muslim sempat mencoba mengerahkan pasukan-pasukan mereka selama pekan-pekan terakhir. Dalam beberapa kesempatan mereka berhasil mengumpulkan puluhan ribu hingga ratusan ribu dalam demonstrasi pro-Morsi. Kaum Islamis bahkan sempat mengadakan Aksi pendudukan di Masjid Rabaa Al-Adawiya di Kota Nasr Kairo pada hari jumat sampai arak-arakan masa muncul di Ahad 30 Juni lalu. Mereka kemudian mengerahkan arak-arakan serupa pekan lalu yang berjumlah ratusan ribu demonstran.
Demonstrasi mereka sangat terorganisir dan dikelilingi para penjaga yang mengenakan alat-alat perlindungan serta bersenjatakan pentungan. Mereka berdalih bahwa ini hanya untuk “tujuan membela diri” namun terbukti ini hanyalah dusta karena berbagai demonstran anti Morsi mereka pukuli juga.
Kenyataan bahwa Morsi bisa mengerahkan kekuatannya menunjukkan bahwa mereka masih memiliki para pendukung garis keras. Meskipun ukuran aksi mereka kalah dibandingkan dengan aksi massa berjuta-juta rakyat yang menentang Morsi. Ini digarisbawahi dengan kenyataan bahwa Ikhwanul Muslimin menggunakan aparatus negara sepenuhnya agar bisa menjamin pengerahan yang besar.
Sebagaimana yang ditengarai salah satu pembaca Guardian:
“Apa yang gagal ditunjukkan oleh para reporter Guardian adalah hal berikut. Mungkin saja terdapat 20.000 atau bahkan lebih banyak lagi pendukung Morsi di Misr Gadidah namun mereka mencerminkan bahwa akar Ikhwanul Muslimin adalah orang-orang yang disogok, dibayar dengan uang tunai, dan dibujuk dengan pasokan makanan agar mau ikut demonstrasi. Berbeda dengan demonstrasi di alun-alun Tahrir, diluar Kementerian Pertahanan, Tanta, Alexandria, Pelabuhan Suez, Manoufeya, Mahalla, dan di tempat-tempat lainnya yang terdiri dari rakyat dari daerah-daerah yang jelas tidak dipasok dengan sogokan dan makanan dan tidak diorganisir oleh partai Islam ataupun sekte-sekte keagamaan. Tahrir penuh pada pukul empat sore dan temperaturnya bahkan lebih dari 30 derajat celcius. Bayangkan besarnya kerumunan nanti di saat malam hari yang lebih dingin.”
Tuntutan Massa
Setelah lebih dari satu tahun Ikhwanul Muslimin berkuasa, rakyat Mesir menyadari bahwa tidak ada perubahan mendasar yang terjadi di masyarakat Mesir. Watak tidak demokratis rezim penguasa masih berlanjut. Aparatus negara lama masih tetap berkuasa dan mereka yang bersalah atas kematian lusinan martir revolusi tidak pernah dimejahijaukan apalagi dihukum. Korupsi dan nepotisme tumbuh subur meskipun kini untuk keuntungan kelas penguasa yang nampaknya lebih relijius namun sama-sama menindasnya.
Ribuan aktivis masih dipenjara. Demonstrasi-demonstrasi damai ditindas tiap hari sementara serangan sektarian berdasarkan agama semakin meningkat. Baru saja terjadi di pekan lalu, empat orang muslim Syiah dibunuh dengan keji oleh gerombolan Ikhwanul Muslimin dan ekstrimis Salafi. Peristiwa ini terjadi mengikuti agitasi anti Syah oleh ulama-ulama Salafi ternama. Meskipun Morsi membantah pembantaian tersebut namun kenyataannya dia tidak berbuat apapun untuk mencegah, menghentikan, maupun mengadili pelakunya. Hal ini menunjukkan bahwa Morsi semakin meningkatkan ketergantungannya pada tendensi Salafi ekstrim seiring dengan kian melemahnya kekuasaannya sepanjang tahun kemarin. Sejumlah menteri dan wakil menteri juga telah mengundurkan diri dari kabinetnya serta hanya menyisakan elemen-elemen ekstrimis di dalamnya.
Pada saat yang bersamaan situasi ekonomi semakin berat bagaikan gunung yang membebani hajat hidup massa rakyat. Pengangguran, kelaparan, dan kemiskinan melonjak dengan pesat. Kini, angka pengangguran naik dari sembilan persen di tahun 2010 menjadi 13% di 2013. Data terkini menunjukkan bahwa seperempat populasi Mesir hidup dalam kemiskinan dan angka ini terus naik.
Dalam jajak pendapat terkini mengenai kepuasan terhadap pemerintah Morsi, jawaban yang diberikan sangatlah melaknat. Sebanyak 27% puas dan 72% tidak puas. Mengenai kepuasan terhadap kinerja pemerintah dalam pemberian kesempatan ekonomi, sebanyak 25% menjawab puas sementara 74% tidak puas. Sedangkan menyangkut kepuasan terhadap kinerja pemerintah dalam menjaga keamanan dan ketertiban, sebanyak 26% menjawab puas, dan 74% menyatakan tidak puas. Terakhir, menyangkut kepuasan terhadap jasa yang diberikan pemerintah dalam layanan kesehatan keluarga, pendidikan, dan lainnya, sebanyak 26% menjawab puas sementara 74% menyatakan tidak puas.
Kecewa dengan kekuasaan Ikhwanul Muslimin dan tekanan kesulitan ekonomi, massa pekerja, kaum miskin, pemuda, bahkan sebagian besar kelas menengah turun ke jalan pada Ahad 30 Juni untuk menyuarakan kemarahan dan kekecewaan mereka. Salah satu partisipan demonstrasi di Tahrir berkata:
“Kakakku tewas di jalan Muhammad Mahmud pada hari ke-18, dia baru berusia 25 tahun, namanya Mustafa. Kalau aku punya uang aku pasti meninggalkan Mesir dan pergi keluar negeri karena disini tidak ada lapangan kerja walaupun aku punya ijazah. Rakyat Mesir kini hidup dalam kemiskinan parah. Tidak ada keadilan bagi kematian kakakku. Ini bukanlah apa yang dituntut oleh revolusi. Aku merasa Morsi tengah hidup dalam dunia lain, dia mengambil keputusan-keputusan yang tidak merakyat, serta terus memuji aparat kepolisian yang bersalah atas kematian kakakku.”
Di tempat lain di alun-alun Tahrir, Khayria, seorang ibu rumah tangga berumur 37 tahun dari Kota Syekh Zayed, datang bersama suaminya, seorang supir taksi, yang menggendong putrinya berusia tiga tahun di atas pundaknya. Dia mengatakan kepada Ahram Online bahwa ia ingin agar Morsi secepatnya pergi dan agar tentara memegang kendali karena Morsi telah menumpahkan darah Mesir sampai kering.
“Kami lihat ada begitu banyak orang di jalanan memakan sampah dan banyak orang yang tetap tinggal di rumah karena mereka tak dapat kerja,” tambah Khayria menekankan bahwa ia pergi ke Tahrir untuk “berjuang sampai titik darah penghabisan.”
Ketidakpercayaan pada Para Pemimpin
Desember 2012, gerakan besar pertama melawan Morsi mulai muncul namun karena kurangnya kepemimpinan, gerakan tersebut akhirnya layu. Kelompok yang disebut-sebut sebagai para pemimpin oposisi tidak memiliki alternatif saat ini dan tidak punya rencana untuk meneruskan gerakan ke depan. Takut akan prospek kehilangan kendali gerakan mereka menolak menyerukan pemogokan massa atau mengajukan rencana pertempuran yang kredibel. Sebaliknya mereka menggunakan cara-cara bertemu dan berunding dengan Morsi sembari membentuk Front Keselamatan Nasional dengan Amir Musa, seorang politisi yang memiliki akar-akar di rezim lama.
Ujung-ujunganya stagnansi dan kurangnya perspektif ini akan membuat gerakan layu dan membuka periode kelelahan serta kemunduran selama musim semi demonstrasi tidak muncul – meskipun beberapa pemogokan kecil terpisah dan aksi demonstrasi sempat terjadi. Meskipun masalah-masalah utama masyarakat masih tersisa, sebagian besar populasi tidak menemukan alternatif apapun yang bisa didukungnya. Kenyataannya memang terdapat reaksi menentang selurun tatanan politis.
Salah seorang demonstran mengekspresikan sentimen ini kepada Ahram Online bahwa dia tidak menyukai satupun calon presiden yang ikut dalam pemilu lalu seperti Amir Musa dan Muhammad El Baradei. “Kupikir tidak satupun dari mereka yang cocok untuk posisi itu. Harus orang dari luar gerakan politik yang ada.”
Hal ini juga terungkap dalam jajak pendapat terkini yang diambil dari 5.000 orang Mesir oleh Independent Media Review and Analysis. Saat ditanya mengenai kredibilitas tokoh-tokoh politik, dari semua tokoh, termasuk Morsi, mendapatkan nilai di bawah 30% sementara Aboul Fottou, seorang Islam Liberal, mendapatkan nilai 33%.
Politisi yang mendapatkan nilai tinggi hanyalah Gamal Abdul Nasser dan Anwar Sadat (dengan nilai 73% dan 93%) dan tak satupun dari keduanya yang masih hidup. Satu-satunya orang hidup yang mendapatkan kredibilitas tinggi hanyalah Bassem Yusuf, pembawa acara program satir politik terkenal yang menyerupai American Daily Show dengan Jon Stewart.
Di antara kekuatan kiri situasinya masih agak lebih baik. Sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya, kepemimpinan Sosialis Revolusioner, yang merupakan kelompok kiri terbesar dengan basis pemuda yang luas, mengambil kesalahan fatal dengan mendukung Muhammad Morsi di putaran kedua.
Saat itu Sameh Naguib, pemimpin dari kelompok tersebut menulis: “Kemenangan Morsi, capres Ikhwanul Muslimin, adalah prestasi besar yang mendorong balik kontra-revolusi ini dan mendorong balik kudeta mereka. Untuk saat ini, inilah kemenangan sesungguhnya massa rakyat Mesir dan kemenangan sejati revolusi Mesir.
“Mungkin tidak akan jelas di permukaannya. Banyak orang di Barat dan disini memiliki sikap Islamophobis yang tidak memungkinkan mereka melihat watak Ikhwanul Muslimin…”
Hari ini jelas bahwa Ikhwanul Muslimin mencerminkan kontra-revolusi kapitalis dan bukan mencerminkan hal lainnya. Seandainya para pimpinan Sosialis Revolusioner menjelaskan hal ini pada saat tersebut, sebagaimana yang dilakukan Kaum Bolshevik di antara Februari dan Oktober, maka mereka akan tumbuh secara massif di tahun lalu dan akan mampu memainkan peran menentukan. Namun posisi mereka hanya mengisolasi mereka dari gerakan karena bertentangan dengan kenyataan yang dihadapi saat ini.
Tamarod
Tak ada kekuatan politik di Mesir yang menunjukkan jalan maju bagi revolusi atau yang memberikan alternatif politik nyata. Gejalanya adalah inisiatif aksi kali ini tidak datang dari kelompok politik yang sudah ada melainkan dari organisasi-organisasi akar rumput yang terdiri dari para aktivis biasa dari seluruh Mesir. Organisasi Tamarod (Pemberontakan) mulai mengampanyekan pengumpulan tanda tangan menuntut mundurnya Presiden Morsi. Awalnya target petisi sebesar 15 juta tandatangan sebelum aksi 30 Juni – yang merupakan momentum satu tahun pengangkatan Morsi. Namun akhirnya mereka malah berhasil mengumpulkan 22 juta tanda tangan. Berbeda dengan Morsi yang hanya menerima 13 juta suara dalam pemilu putaran kedua tahun lalu, yang hanya memperoleh 5 juta suara di putaran pertama (dari 50 juta pemilih terdaftar).
Hal ini juga menunjukkan kemunafikan Morsi ketika dia mengklaim bahwa dia memiliki “legitimasi demokratis” karena dia “dipilih oleh mayoritas rakyat Mesir”. Pastinya, dukungan Morsi kali ini jauh lebih rendah dari lima juta suara yang diterimanya dalam putaran pertama pemilu presiden.
Rezim di tengah Krisis
Legitimasi pemerintahan ini telah dicabut, bukan di atas kertas-kertas hukum atau dengan suara-suara pemilu, namun di atas jalanan dimana jutaan dukungan revolusi menunjukkan kekuatan yang besar.
Sembari bersikap sangat arogan pada tuntutan-tuntutan jalanan, jelas Morsi kini tengah tertekan. Meskipun dia menolak memberikan konsesi-konsesi serius ia mengatakan bahwa “hari ini, saya persembahkan audit tahun pertama saya, dengan transparansi penuh dan dengan peta jalan. Beberapa hal telah tercapai dan beberapa hal belum. Saya juga telah membuat kesalahan dalam beberapa isu.” Pada saat yang bersamaan suatu pesawat dilaporkan berada di istana kepresidenan dan siap untuk mengevakuasi presiden. Bahkan pemimpin Partai Nour Salafi lebih tahu situasi Mesir dan mendorong Morsi untuk segera memberikan konsesi-konsesi untuk menghindari pertumpahan darah.
Sebagaimana yang telah kami jelaskan berkali-kali sebelumnya Kaum Islamis tidak pernah bisa memecahkan permasalahan-permasalahan revolusi karena permasalahan-permasalahan utama seperti kemiskinan dan pengangguran berakar dalam sistem kapitalis dan tidak bersifat khusus di Mesir. Ikhwanul Muslimin menjadi pembela sistem yang akhirnya akan, sebagaimana yang kami perkirakan, dikonfrontasi oleh revolusi. Apa yang kita saksikan adalah bukan hanya awal dari akhir bagi Muhammad Morsi, namun juga bagi Islam Politik yang tidak lain dan tidak bukan sebagai suatu gerakan borjuis reaksioner.
Tekanan dari bawah juga menyebabkan perpecahan di atas. Dalam mobilisasi massa terdapat beberapa seruan agar tentara mengintervensi dan mengambil alih kekuasaan. Namun sementara para pucuk pimpinan hingga pekan lalu menolak melakukan hal ini dan mengatakan bahwa mereka hanya akan mengambil langkah untuk menjamin ketertiban—suatu peringatan terhadap revolusi – nadanya sudah berubah di hari-hari menjelang 30 Juni.
Sumber senior dalam militer menyatakan pada The Guardian Kamis 27 Juni bahwa tentara tidak ingin mengintervensi. Namun mereka menyatakan bahwa seandainya aksi 30 Juni meluas dan sepanjang dan sebesar Perlawanan 2011, dan bilamana pertempuran serius muncul antara para pendukung Morsi dan lawan-lawannya, maka tentara menganggap kaum demonstran sebagai perwakilan yang lebih sah dari kehendak rakyat daripada pemilu yang membawa Morsi ke kursi kepresidenan tahun lalu-dan akan melangkah untuk memfasilitasi transisi kekuasaan menuju pemerintahan penyelenggara teknokratis.
Sembari menulis garis-garis ini, tentara telah mengisukan pernyataan bahwa “tentara akan memberikan waktu 48 jam kepada semua kekuatan politik sebagai kesempatan terakhir untuk memecahkan permasalahan-permasalahan yang berlangsung, kalau tidak bisa maka angkatan bersenjata akan mengumumkan peta jalan baru untuk masa depan Mesir dan menerapkan berbagai langkah dengan bantuan semua faksi termasuk pemuda, tanpa mengecualikan siapapun.“
Tentara Mesir punya tradisi panjang dalam keterlibatan politik. Namun keterlibatan mereka tidak hanya sebagai kekuatan kontra-revolusi. Massa di Mesir dan khususnya para prajurit dan perwira rendahan sudah paham mengenai kudeta para perwira yang berujung pada revolusi 1952 dan menggulingkan Raja Farouk yang dibenci. Tentara tidak terisolasi dari tekanan masyarakat namun mencerminkan tekanan-tekanan yang sama. Para tentara juga merasakan bumi bergetar di bawah kaki mereka dan para Jenderal mempertaruhkan segalanya agar mereka tidak kehilangan pasukannya. Reaksi para petinggi militer – yang sepenuhnya saling jalin-menjalin dengan kelas penguasa Mesir – sebenarnya menunjukkan kekuatan sapuan revolusi dan kelemahan borjuasi.
Dalam kondisi-kondisi demikian, campur tangan para jenderal Militer akan ditujukan untuk mencegah agar revolusi tidak bergerak lebih maju lagi, dan menawarkan serangkaian jalan keluar konstitusional terhadap krisis revolusioner, kemungkinan dengan menempatkan pemerintahan penyelenggara, termasuk beberapa tokoh dari oposisi Liberal dan borjuis sembari menyiapkan pemilu lebih awal. Hal terakhir yang diinginkan para jenderal Militer adalah massa menggulingkan Morsi dengan kekuatan mereka sendiri. Inilah makna dari pernyataan mereka. Apa yang mereka katakan pada Morsi intinya adalah: kalau anda tidak bisa mengendalikan massa, maka silahkan minggir dan jangan perkeruh masalah, atau kami akan campur tangan.
Gerakan Harus Tetap Maju
Kemarin, Komite Koordinasi 30 Juni mengajukan resolusi yang berbunyi:
“Kami berterimakasih pada rakyat Mesir yang bangkit melawan dalam berjuta-juta untuk membebaskan Mesir, bebas dari fasisme, bebas dari tirani, dan bebas dari ketidakadilan,” ungkap pernyataan tersebut sembari mengkritik Morsi “Kepresidenan telah mengeluarkan pernyataan yang meremehkan kami dan tuntutan-tuntutan kami yang sah serta jutaan orang yang berdemonstrasi menuju alun-alun Tahrir.”
Komite menjanjikan untuk “berdiri di pihak rakyat dan tuntutan-tuntutan mereka” dan menyerukan aksi lebih lanjut dengan “semua cara demokratis untuk aksi demonstrasi, aksi pendudukan, dan pemogokan massa, mengepung semua institusi negara, dan kami menuntut pengadilan terhadap semua yang bertanggungjawab dalam pembunuhan dan pengeluaran dekrit untuk melawan rakyat dan memfitnahnya sebagai tindak terorisme yang mana dikeluarkan oleh Ikhwanul Muslimin.”
Kami sepenuhnya mendukung resolusi ini. Kenyataannya rakyat di berbagai kota telah menduduki kantor-kantor gubernur dan menghalangi aktivitas pemerintah.
Sebagaimana di revolusi 2011, pemogokan massa sangat menentukan demi menggulingkan rezim. Demi mengoordinasikan hal ini, komite-komite aksi sebaiknya dibentuk di tiap pabrik dan tiap lingkungan serta terhubung baik di tingkat daerah maupun di tingkat nasional.
Tekanan semakin tinggi di masyarakat Mesir dan revolusi telah kembali dengan kekuatan penuh. Hal ini seharusnya menjadi pelajaran bagi pihak-pihak skeptis yang menyatakan bahwa revolusi telah mati dan mengeluh bahwa revolusi memberi jalan bagi kekuasaan Islamis dan reaksi hitam. Di dasar argumen demikian terletak ketidakpercayaan dalam kemampuan massa pekerja untuk menarik kesimpulan-kesimpulan revolusioner maju dari pengalaman mereka sendiri.
Kenyataannya aksi 30 Juni telah menunjukkan tingkatan pemahaman yang maju dari massa rakyat dan rendahnya pemahaman orang-orang yang mengaku para pimpinan. Dalam setiap langkah revolusi bukanlah para pimpinan namun para anggota bawahan yang mendorong gerakan maju sementara para pimpinan bertingkah sebagai beban belenggu kaki-kaki revolusi. Kenyataan bahwa gerakan kali ini berakar dari gerakan massa bawah adalah bukti solid.
Massa hanya bisa mempercayai kekuatan mereka sendiri. Pihak yang bisa menyelesaikan dan memenuhi kebutuhan kelas pekerja dan kaum miskin kota di Mesir bukanlah para petinggi Militer, bukan para Ikhwanul Muslimin, dan bukan para borjuis, karena mereka hanya mewakili sistem kapitalis yang sama parahnya. Hanya dengan merebut kekuasaan di tangan kita dan melepaskannya dari belenggu masyarakat Kapitalis maka potensi-potensi sejati masyarakat Mesir bisa dicapai.
Turunkan Morsi!
Jangan percayai para petinggi Militer!
Jangan percayai pengkhianat dan pembenci revolusi!
Percayai kekuatan diri sendiri!
Bentuk komite aksi-komite aksi dan organisir pemogokan massa untuk gulingkan pemerintahan!
Semua kekuasaan untuk kelas pekerja dan pemuda revolusioner!