12 Juli 2013: Penggulingan Mubarak dan Morsi telah membuka periode baru dan penuh gejolak dalam revolusi Mesir. Ikhwanul Muslimin masih memiliki basis di masyarakat Mesir, di antara kaum borjuis kecil, di antara lapisan-lapisan yang paling abai dan terbelakang dari kaum tani dan lumpen proletar. Mereka bersikukuh untuk terus mempertahanan kekuasaan, namun berpuluh juta massa yang turun ke jalan untuk menggulingkan mereka juga sama bersikukuhnya agar Ikhwanul Muslimin tidak kembali berkuasa. Masa depan Revolusi Mesir akan ditentukan oleh hasil perjuangan ini.
Kemarahan rakyat diekspresikan dengan tindakan-tindakan seperti pembakaran dan penggeledahan markas-markas Ikhwanul Muslimin. Namun tindakan ini merupakan balasan terhadap tindak kejahatan Ikhwanul Muslim yang mengerahkan preman-preman bersenjata untuk membunuh para demonstran dimana preman-preman tersebut juga menyiramkan air keras dan melemparkan bom ke kerumunan massa. Upaya-upaya media untuk menggambarkan Ikhwanul Muslimin sebagai martir-martir perdamaian malah bertentangan dengan fakta dan kenyataan.
Kantor-kantor dan saluran-saluran berita utama berusaha memberi gambaran palsu mengenai situasi di Mesir. Arak-arakan kontrarevolusioner Ihwanul Muslimin terus diputar dan diulang-ulang. Namun demonstrasi balasan yang masif dan revolusioner tidak disebut-sebut sama sekali.
Di satu sisi, Ikhwanul Muslimin telah berupaya memprovokasi bentrokan bersenjata sejak Morsi digulingkan. Pada hari Jumat, preman-preman Ikhwanul Muslimin telah membunuh dua anak kecil di Alexandria dengan melemparkan mereka dari atas atap gedung. Pada hari Minggu di Assiut tiga pemuda yang berpartisipasi dalam protes menentang Ikhwanul Muslimin tewas ditembak oleh anggota Ikhwanul Muslimin. Tindak kejahatan ini mengakibatkan ribuan orang membakar markas Ikhwanul Muslimin di kota. Namun semua ini tidak dibahas di media!
Kenyataan di jalan-jalan Mesir jauh dari yang digambarkan media. Sejak Morsi digulingkan, massa rakyat yang menghadapi ancaman-ancaman balas dendam dari Ikhwanul Muslimin, seketika bergerak untuk mempertahankan kemenangan mereka. Selama akhir pekan, ratusan ribu bahkan jutaan massa turun ke jalan di seluruh penjuru Mesir. Demonstrasi-demonstrasi terbesar terjadi pada hari Minggu dimana ratusan ribu orang berkumpul di Alun-alun Tahrir.
Arak-arakan demonstrasi berkumpul di Tahrir dari lingkungan kelas pekerja distrik Shubra, Sayeda Zeinab dan Darb Al-Ahmar serta dari Alun-alun Mustafa Mahmud di Giza. Dari Shubra, terdengar yel-yel bergema “Roti, Kebebasan, dan Keadilan Sosial” serta “Legitimasi datangnya dari rakyat bukan dari Rabaa”. Yel-yel tersebut mengacu pada Alun-alun Rabaa Al-Adawiya di Kota Nasr dimana para pendukung Morsi berdemonstrasi.
Di Alexandria, kota Mesir kedua, massa rakyat beremu di seputar Stasiun Kereta Sidi Gaber untuk memprotes Ikhwanul Muslimin dan mempertahankan aksi revolusioner penggulingan Muhammad Morsi. Puluhan ribu rakyat Alexandria turun dalam tujuh demonstrasi pada sekitar pukul enam petang, serta akhirnya berkumpul di Alun-alun Sidi Gaber, dimana ribuan lainnya juga tengah berunjuk rasa.
Kaum demonstran meneriakkan yel-yel menentang anggapan bahwa penggulingan Morsi merupakan kudeta militer. Mereka juga diselimuti semangat tinggi menentang imperialisme Amerika Serikat (AS) yang dipandang sebagai pembeking utama Morsi dan pemerintahannya. Kejadian-kejadian yang sama juga terlihat di seluruh penjuru Mesir khususnya di jantung hati industri Delta dimana sejumlah demonstrasi yang berujung bentrokan-bentrokan terjadi di Tanta Mansoura, Mahalla, Port Said, dan Ismailia. Bahkan daerah-daerah terpencil di Mesir Utara yang dulunya merupakan benteng pertahanan Ikhwanul Muslimin kini berubah menjadi medan aksi ribuan massa melawan Ikhwanul Muslimin.
Sementara itu Ikhwanul Muslimin tidak mampu memobilisasi massa secara signifikan di luar Kairo dan Alexandria. Di Kairo, arak-arakan mereka memang bisa sebesar puluhan ribu namun mereka terisolasi di lingkungan kelas menengah Kota Nasr, dimana kalangan tenaga profesional, dokter, dan pebisnis kecil hidup dalam kemapanan setinggi menara gading sementara mayoritas massa rakyat Mesir hidup di dasar jurang kesenjangan sosial.
Inilah perimbangan kekuatan sejati antara Revolusi dan Kontra-Revolusi Islamis. Sementara massa yang turun ke jalan beribu dan beratus ribu banyaknya tersebar di seluruh penjuru Mesir, kekuatan Ikhwanul Muslimin terisolasi di dua kota besar bahkan mobilisasi mereka tidak mampu menandingi jumlah lawan-lawannya.
Perang Saudara?
Pada hari Senin dini hari, situasi berkembang lebih jauh. Ikhwanul Muslimin mengadakan aksi pendudukan di depan markas Garda Republik, dimana mereka meyakini Morsi ditawan disana. Aksi ini tiba-tiba pecah menjadi bentrokan bersenjata antara militer dan Ikhwanul Muslimin yang mengakibatkan 54 orang tewas dan ratusan luka-luka. Meskipun masih belum jelas apa penyebab bentrokan namun sudah jelas bahwa bentrokan ini disiapkan berhari-hari sebelumnya.
Hari yang sama Ikhwanul Muslimin juga berusaha memprovokasi bentrokan dengan kaum demonstran anti-Ikhwanul Muslimin di Kairo dengan cara memblokir jalan-jalan utama menuju istana kepresidenan Ittihadiya, yang merupakan tujuan arak-arakan kaum demonstran. Diluar peristiwa ini juga sudah tak terhitung banyaknya serangan yang dilakukan terhadap arak-arakan demonstran anti-Morsi dimana total korban jiwa sudah mencapai 40 orang tewas. Apa yang menjadi sasaran Ikhwanul Muslimin adalah menciptakan bentrokan yang bisa membangkitkan dukungan terhadap Ikhwanul Muslimin.
Hingar bingar kaum “demokrat” borjuis tentang adanya kudeta – yang dengan latah ditirukan juga oleh beberapa kaum kiri – bukanlah pembelaan terhadap demokrasi sama sekali namun merupakan fitnah menjijikkan dan serangan terhadap revolusi itu sendiri. Tindakan ini tidak lain merupakan upaya munafik untuk menyangkal hak-hak rakyat dalam menerapkan perubahan di masyarakat.
Sudah merupakan hal yang masuk akal bahwa media-media yang melacurkan diri kepada kaum borjuis merasa perlu menggunakan argumen “kudeta” untuk mencoba mendiskreditkan gerakan revolusioner dan merendahkan rasa kepercayaan dirinya. Namun mereka yang mengaku sebagai kaum “Kiri” nyatanya malah juga latah membeokan kampanye borjuis yang menyedihkan tersebut sungguh merupakan tindakan yang menjijikkan.
Dalam setiap kesempatan, kaum-kaum “Kiri” demikian telah menjerumuskan diri untuk ikut mengamini dan mengatakan bahwa revolusi telah mati. Sebelumnya mereka juga telah mengatakan hal yang sama saat Morsi berkuasa. Kini mereka juga mengatakan hal yang sama saat Morsi telah digulingkan. Bagi orang-orang demikian, apapun alasannya akan mereka pakai, asalkan bisa menggambarkan Revolusi Mesir secara negatif dan pesimistis.
Legenda Kudeta
Sejak penggulingan Muhammad Morsi, suatu kampanye yang dipimpin oleh media massa di seluruh dunia telah dijalankan untuk mendiskreditkan gelombang manusia revolusioner yang pada pokoknya berada di balik penggulingan ini. Mayoritas kantor berita media borjuis memproklamasikan bahwa peristiwa tersebut tidak lain merupakan kudeta militer melawan pemerintahan yang terpilih secara sah dan demokratis.
Istilah ini mengandung kontradiksi. Kudeta mengandung definisi sebagai perebutan kekuasaan oleh minoritas kecil non-representatif yang bekerja memunggungi massa. Namun di mesir tenaga pendorong perubahan tidak lain dan tidak bukan adalah massa sendiri.
Kaum Marxis memperjuangkan demokrasi dan tidak memperjuangkan mekanisme penyembahan demokrasi borjuis. Bentuk-bentuk pemberhalaan demokrasi demikian telah mengosongkan demokrasi dari kandungan aslinya. Adolf Hitler pun bisa memakai pembenaran bahwa dia meraih kekuasaan dengan restu mayoritas pemilih Jerman meskipun pada kenyataannya mayoritas pemilih tidak memilihnya maupun Partai Nazi-nya.
Apa yang akan kita katakan pada orang yang berpendapat bahwa rakyat pekerja Jerman seharusnya menghormati demokrasi parlementer di tahun 1933; bahwa merupakan tindakan yang salah bagi rakyat pekerja yang ingin mengorganisir pemogokan massa untuk menggulingkam Hitler, bahwa satu-satunya cara adalah dengan menunjukkan kesabaran dan menunggu pemilu berikutnya (yang tak pernah datang)”?
Argumen yang menyatakan bahwa Mesir tengah menempuh jalan menuju demokrasi di bawah rezim Morsi tidak lebih dari sekedar dusta belaka. Mereka yang terus-menerus mengulangi pernyataan ini, telah lalai untuk menyebutkan fakta bahwa ratusan orang telah dibunuh dan ribuan aktivis telah dijebloskan ke dalam penjara. Mereka lalai menyebutkan bahwa kesepakatan-kesepakatan yang dibuat Morsi dengan SCAF dan aparatus keamanan rezim lama, bahkan Morsi juga membebaskan serta membiarkan bebas para pembunuh dan para penyiksa yang sebelumnya bekerja di era Mubarak. Mereka juga lalai menyebutkan bahwa Morsi telah mengerahkan pasukan tentara untuk menyerang aksi mogok kerja para buruh di Port Said. Mereka juga lalai menyebutkan bahwa Morsi mencoba menghadiahi dirinya sendiri dengan kekuasaan semi kediktatoran melalui Dekrit Kepresidenan November.
Morsi membuat legislasi atau undang-undang dengan lagak kediktatoran melalui suatu senat yang hanya dipilih oleh sepuluh persen para pemilih. Dia menjejali jabatan-jabatan publik dengan orang-orang Ikhwanul Muslimin. Aktivis luar negeri yang mempromosikan hak asasi manusia dan demokrasi terus menerus diusik, diperkarakan, dan disanksi hukuman berdasarkan tuntutan-tuntutan yang dibuat-buat. Bahkan para wartawan juga banyak yang dijebloskan ke dalam penjara.
Selain itu Partai Morsi menghalangi undang-undang yang akan memberlakukan penarikan pajak progresif. Mereka menolak hak-hak untuk membentuk serikat-serikat independen melalui pemilihan yang bebas di tempat-tempat kerja. Sebaliknya mereka malah mengajukan usul untuk membuat aturan atau undang-undang yang “menertibkan” aksi-aksi pemogokan dan mendukung kaum majikan. Jelas hal demikian menunjukkan di sisi kelas mana Ikhwanul Muslimin berdiri dan berpihak.
Mereka bahkan berani melanggar undang-undang mereka sendiri demi melaksanakan privatisasi dan penjualan industri nasional Mesir dengan harga yang begitu rendahnya sampai melanggar peraturan legal. Dengan kata lain mereka bertindak sebagai suatu front bagi para pebisnis yang bermaksud untuk merampok negara dan rakyat Mesir.
Lalu ada sedikit masalah menyangkut agama. Dalam suatu demokrasi sejati, agama harus dipisahkan sepenuhnya dari negara. Agama atau kepercayaan relijius seseorang (atau ketidakpercayaan mereka) perlu diperlakukan sebagai suatu permasalahan yang sepenuhnya pribadi di mata hukum dan negara.
Ikhwanul Muslimin dan kaum yang memakai kedok Islam lainnya sepenuhnya reaksioner dalam sikapnya terhadap kaum perempuan dan kaum minoritas. Di bawah rezim Morsi, kebencian dan kekerasan berlabelkan agama sengaja diorganisir dan diarahkan terhadap umat Kristen dan Syiah. Sikap-sikap reaksioner dan anti-demokratis yang sama juga merembes ke gerakan Islamis yang berusaha memaksakan belenggunya ke seluruh masyarakat.
Morsi dan geng Islamisnya telah bertekad, baik secara tersembunyi maupun terang-terangan, untuk mengIslamisasikan seluruh aspek masyarakat. Minoritas Kristen banyak yang menderita serangan-serangan kejam, sebagaimana yang dialami oleh Umat Muslim Syiah. Morsi tetap diam dan membiarkan kaum preman dan kaum bigot yang penuh dengan prasangka buruk berdasarkan keagamaan yang mengancam serta menyerang kaum minoritas keagamaan.
Beban dosa dan tanggung jawab atas semua tindakan kejahatan demikian secara sepenuhnya telah menghilangkan relevansi bahwa rezim Morsi dipilih oleh mayoritas rakyat. Bahkan semakin tidak relevan lagi saat berjuta orang yang dulu memilihnya tahun lalu kini memutuskan melawannya.
Analogi-analogi Historis
Sejarah mengajarkan kita bahwa hak-hak demokratis yang kita miliki harus direbut melalui perjuangan massa. Demokrasi itu sendiri merupakan buah hasil revolusi. Bahkan di Inggris sekalipun demokrasi direbut melalui perjuangan yang melibatkan pemenggalan kepala raja.
Sedangkan di Perancis, demokrasi didirikan melalui kediktatoran revolusioner kaum Jacobin yang memenggal banyak kepala, mempersenjatai rakyat, dan mengalahkan semua pasukan dari setiap monarki di Eropa. Selain itu, di Amerika, kaum tani rendahan dan kaum tukang mengangkat senjata dan menendang keluar pasukan-pasukan kerajaan Inggris dengan kekerasan.
Dalam semua revolusi demokratis ini ada lebih banyak kekerasan daripada semua yang telah kita saksikan di Mesir. Namun hanya segelintir orang yang mempertanyakan apakah peristiwa-peristiwa itu dibenarkan. Tidak ada orang berakal yang akan mengkritik George Washington atau Abraham Lincoln karena melanggar aturan-aturan konstitusional yang sah. Karena tanpa melakukan pelanggaran tersebut mereka tidak akan berhasil.
Perjuangan untuk demokrasi di Mesir hanya bisa berhasil bila massa bertekad untuk bertempur sampai penghabisan. Di hadapan mereka ada musuh-musuh dengan beraneka ragam kekuatan, yang bertekad untuk mempertahankan kekuasaan di tangan segelintir minoritas yang memonopoli hak-hak istimewa. Massa harus berjuang keras untuk melucuti musuh-musuh mereka, menyingkirkan mereka dari kekuasaan, serta memaksa mereka tunduk pada kehendak mayoritas. Tidak ada jalan selain jalan ini karena musuh-musuh rakyat tidak akan menyerahkan kekuasaan mereka dengan suka rela.
Revolusi Perancis di abad ke-18 harus berjuang melawan musuh-musuhnya baik di dalam maupun di luar Perancis. Negara-negara imperial yang kuat melakukan campur tangan terhadap hal yang sesungguhnya merupakan urusan-urusan dalam negeri Perancis, bahkan dengan mengirimkan pasukan-pasukan untuk menghancurkan Revolusi. Rakyat Perancis harus memerangi pasukan-pasukan Austria, Prussia, dan Inggris pada saat yang bersamaan. Berjuang di bawah bendera Revolusi, rakyat Perancis akhirnya berhasil mengalahkan mereka semua.
Namun banyak juga musuh di dalam selimut. Mereka adalah kaum politisi profesional dan kaum “moderat” yang berusaha mencuri Revolusi dan menggunakannya untuk memperkaya diri sendiri. Agar berhasil, Revolusi perlu membersihkan dirinya dari para pengkhianat dan dari elemen-elemen korup.
Di antara sekian musuh-musuh Revolusi yang paling kejam adalah kaum tani dari daerah Vendee di barat daya Perancis. Terbelakang dan abai, massa gelap ini dimanipulasi oleh para pendeta Katolik untuk melawan kaum Revolusioner “tak bertuhan” di Paris. Namun di balik jubah para pendeta fanatis ini berdiri para tuan tanah dan bangsawan yang telah tersapu oleh Revolusi.
Ikhwanul Muslimin mewakili kaum Vendee versi Revolusi Mesir. Kekalahannya diakibatkan oleh majunya gelombang Revolusi. Kekalahan demi kekalahan yang diderita Ikhwanul Muslimin telah mengempeskan moral para aktivisnya yang sebagian besar merupakan borjuis kecil. Selasa kemarin di Alexandria, demonstrasi pro-Morsi hanya mampu menarik beberapa ribu partisipan.
Salah satu narasumber In Defence of Marxism melaporkan pada Selasa 9 Juli lalu: “Kami masih di jalanan setiap hari untuk membela revolusi. Kami masih berjuta-juta meskipun tidak lagi sebanyak 30 Juni. Ikhwanul Muslimin berjumlah puluhan ribu. Di Tanta ribuan orang turun ke jalan setiap harinya sementara Ikhwanul Muslimin hanya berjumlah seratus orang.”
Ada kemungkinan bahwa mereka akan mengerahkan lebih banyak orang dalam mobilisasi-mobilisasi yang lebih besar namun angin telah meninggalkan layar mereka. Tendensi umum tidak sedang naik namun tengah menurun. Mereka mungkin akan memutuskan bergerak di bawah tanah dan beralih pada taktik-taktik teroris namun ini akan menunjukkan tanda-tanda kelemahan. Bagaimanapun juga Revolsui kini tengah menghadapi bahaya dari berbagai sudut.
Ancaman Bonapartis
Dalam setiap revolusi sejati adalah gerakan elemental massa yang menyediakan tenaga pendorong. Meskipun demikian, berbeda dengan kaum anarkis, kaum Marxis tidak menyembah spontanitas, yang memang memiliki kekuatan-kekuatan namun juga memiliki kelemahan-kelemahan. Dengan demikian kita harus memahami batas-batas spontanitas.
Massa yang menduduki jalanan kota-kota Mesir pada 30 Juni bisa saja merebut kekuasaan. Tak ada yang mampu menghentikan mereka. Setiap upaya untuk mengarahkan tentara untuk melawan rakyat akan menyebabkan perpecahan serius di kalangan angkatan bersenjata. Militer akan terpecah belah di tangan para Jenderal. Inilah mengapa para pejabat militer memutuskan mengikuti rakyat. Mereka memutuskan berenang ikut gelombang karena takut akan ditenggelangkam banjir revolusioner.
Bagaimanapun juga Revolusi tidak hanya menghadapi bahaya dari Ikhwanul Muslimin namun juga dari militer itu sendiri. Kaum kontra-revolusioner Ikhwanul Muslimin memang telah disingkirkan dari kursi kekuasaan namun batas-batas akibat watak spontanitas murni (yaitu tak teorganisir) maka Revolusi gagal merebut kekuasaan.
Jalan buntu yang dihadapi oleh kelas-kelas telah menciptakan kondisi-kondisi bagi militer untuk menempatkan diri di atas masyarakat dan sebagai penengah agung alias wasit terhadap takdir Mesir. Rabu, 3 Juli lalu, pimpinan militer, ral Abdul Fattah Al-Sisi, mengumumkan bahwa penundaan konstitusi. Di satu sisi kaum reaksioner Islamis tengah mengorganisir pemberontakan kontrarevolusioner dan mengancam mengobarkan perang saudara. Sedangkan di sisi lain, elemen-elemen borjuis, para jenderal, dan kaum imperialis bermanuver untuk merampas kemenangan massa yang diraih dari cucuran keringat dan darah perjuangan mereka.
Para Jenderal di sisi lain juga berkepentingan untuk mengobarkan rasa bahaya dan perang saudara demi membelokkan gerakan revolusioner. Dengan mengerahkan pasukan-pasukan bersenjata di sepenjuru kota, dengan terbang di atas massa dan mengibarkan bendera-bendera Mesir, dan dengan kampanye nasionalis secara masif yang mereka lakukan dengan berkoordinasi dengan media massa nasional mereka tengah memainkan kartu nasionalis untuk memotong garis kelas yang merupakan landasan nyata revolusi. Melalui cara ini, pada kenyataannya, baik para Jenderal maupun Ikhwanul Muslimin tengah bertumpu pada satu sama lain untuk menyingkirkan gerakan massa.
Hal ini dibuktikan dengan fakta dimana Ikhwanul Muslimin diberi tawaran untuk ikut ambil bagian dalam pemerintahan sementara. Meskipun demikian upaya-upaya ini tidak berhasil. Ikhwanul Muslimin telah menderita kekalahan pasti bukan akibat militer namun akibat rakyat revolusioner Mesir. Terlepas dari semua upaya media Borjuis untuk membangkitkan kembali IM, keberadaan mereka di jalanan telah berkurang secara signifikan.
Kelas penguasa tengah memainkan permainan sinis dalam menentukan bagaimana cara memecahbelah gerakan revolusioner dan menyingkirkan massa dari kekuatannya. Hal ini telah ditampakkan selama beberapa hari terakhir dimana tuntutan-tuntutan revolusi telah dikhianati satu demi satu. Senin lalu, Adly Mansour, Presiden Sementara Mesir mengumumkan deklarasi konstitusional untuk menggantikan konstitusi yang ditulis SCAF pada 2011 dan yang diutak-atik oleh Ikhwanul Muslimin pada tahun 2012.
Namun konstitusi sementara ini hanyalah pengulangan konstitusi lama yang dibenci dan bahkan dalam beberapa hal lebih reaksioner. Kekuasaan presiden dalam konstitusi kurang lebih tak terbatas karena melimpahkannya dengan kekuasaan eksekutif dan legislatif. Hal ini serupa dengan kekuasaan yang dilimpahkan Morsi pada dirinya sendiri melalui dekrit kepresidenan yang kemudian dikalahkan dengan gerakan massa pada Desember 2012. Pada saat yang bersamaan mahkamah militer dinyatakan sepenuhnya tak tersentuh dan diberi wewenang untuk mengadili pihak sipil pula, suatu hak yang tidak diberikan di konstitusi sebelumnya.
Pasal kontroversial lainnya memuat penekanan pada “hukum syariah berasal dari hukum agama Islam Sunni sebagai sumber utama semua undang-undang”. Kebebasan untuk berserikat tidak dibatasi hanya pada mereka “yang tidak menentang sistem masyarakat” suatu pasal yang akan menempatkan Tamarod, organisasi yang mengorganisir gerakan 30 Juni, sebagai suatu organisasi terlarang – sementara kebebasan berpendapat dijamin namun hanya “dalam batas-batas hukum” yang lagi-lagi membuka jalan untuk memberangus hak yang sama.
Gerakan Tamarod menyatakan bahwa dekrit tersebut merupakan pembuka jalan bagi kediktatoran karena memberikan presiden kewenangan untuk “mengambil semua langkah dan tindakan yang diperlukan untuk melindungi negara”, Hal ini berarti “kekuasaan absolut dan tak terbatas”. Mereka mengatakan, “Ini merupakan penjarahan blak-blakan terhadap revolusi dan membawa kita kembali ke 25 Januari 2011,” ke hari demonstrasi anti-Mubarak dimulai, kata Khaled El-Kady, juru bicara Tamarod di Alexandria.
Pada saat yang bersamaan suatu lelucon tengah dimainkan di koridor-koridor seputar posisi Perdana Menteri. Kandidat utama yang diajukan oleh Tamarod adalah borjuis liberal, Muhammad El-Baradei, namun nominasinya diveto oleh kalangan ultra-konservatif Partai Nur Salafi yang menganggapnya terlalu sekuler. Akhirnya ia digantikan oleh pria berumur 76 tahun bernama Hazem El-Beblawi yang sebagaimana dijelaskan oleh Wall Street Journal sebagai juara ekonomi liberal. Meskipun menentang konstitusi sementara, namun El Baradei secara menyedihkan menerima juga jabatan wakil presiden.
Saat media The Guardian meminta komentar Hazem El-Beblawi atas penunjukannya, ternyata El-Beblawi baru saja kembali dari liburannya di Swiss. Orang-orang di atas ini yang tidak punya masalah dalam berbagi hasil jarahan nyatanya memang tidak memiliki ikatan dengan rakyat yang turun ke jalan dan menggulingkan rezim penguasa. Kesamaan yang mereka miliki adalah keinginan bermanuver untuk mengasingkan massa dari kekuasaan. Sinisme mereka bahkan semakin tampak saat mereka mengumumkan bahwa Ikhwanul Muslimin perlu dilibatkan dalam pemerintahan sementara.
Burung-burung nazar sudah terbang melingkari langit Mesir. Pemerintahan baru sudah menerima dua belas milyar dolar dari Arab Saudi dan Uni Emirat Arab untuk memberinya ruang manuver. Washington pun sudah setuju untuk mengirim uang ke militer Mesir sebagai cara mempertahankan pengaruhnya di Kairo.
Para pimpinan gerakan Tamarod mengatakan bahwa rumusan-rumusan konstitusi tersebut merupakan upaya untuk membajak revolusi. Benar. Beberapa posisi memang sudah diberikan kepada para anggota kepemimpinan Tamarod namun ini hanya untuk mendiskreditkan mereka dan membagi tanggung jawab untuk serangan berikutnya terhadap Revolusi, yang dimulai dengan program pemotongan subsidi sesuai pesanan IMF yang dulunya tidak bisa diterapkan oleh Morsi.
Bisakah Mereka Merebut Kekuasaan?
Apakah massa bisa merebut kekuasaan pada akhir Juni? Pertanyaan ini keliru diajukan. Faktanya, massa telah memiliki kekuasaan di tangan mereka namun mereka tidak menyadarinya. Penggulingan Morsi merupakan puncak gerakan massa terbesar yang pernah disaksikan Mesir. Kekuatan berjuta-juta rakyat yang tak terbendung yang memenuhi tiap jalan di Mesir telah melumpuhkan rezim dan angkatan-angkatan bersenjata. Ini sama sekali bukanlah pertempuran antara sekulerisme melawan Islamisme.
Apa yang terjadi adalah letusan kemarahan kaum pekerja dan rakyat miskin melawan kemiskinan, pengangguran, dan kekuasaan tidak demokratis dari kelas penguasa. Pada saat yang bersamaan pemogokan massa yang berkembang hampir memacetkan seluruh penjuru Mesir. Komite-komite revolusioner yang disebut Komite-Komite 30 Juni muncul dan berkembang di tiap kota dan lingkungan. Kekuasaan secara efektif ada di tangan organ-organ perjuangan kerakyatan ini namun sayangnya gerakan tidak tahu harus diapakan kekuasaan ini.
Muhammad Khamis, salah satu aktivis utama dalam gerakan Tamarod, yang secara efektif adalah inti kepemimpinan gerakan massa 30 Juni menjelaskan proses ini:
“Saya tidak menyebut bahwa apa yang terjadi adalah suatu kudeta. Sisi dan militer mengambil sinyal dari rakyat. Sebelumnya mereka telah memiliki kesempatan-kesempatan untuk melakukannya namun tidak mereka lakukan. Namun saat berjuta rakyat turun ke jalan dan mulai meneriakkan yel-yel agar militer bergerak maka mereka menerima perintah dari kami. Militer tidak ingin mengambil alih kekuasaan. Mereka hanyalah rekan dalam perubahan demokratis yang kami inginkan”.
Tidak tahu harus diapakan kekuasaan yang sudah ada di tangan, para pemimpin revolusi menyerahkannya pada “rekan-rekan” mereka di kalangan para pimpinan militer. Namun para pimpinan militer bukanlah “rekan-rekan” atau kawan-kawan revolusi. Mereka adalah orang-orang yang sama yang sebelumnya mendukung Mubarak selama puluhan tahun dan selama beberapa saat menikmati hubungan mesra dengan Morsi. Mereka adalah orang-orang yang sama yang memerintahkan serangan-serangan berdarah terhadap revolusi dalam berbagai kesempatan semenjak tahun 2011. Mereka adalah para perwakilan dari kelas kapitalis Mesir yang tidak memiliki kepentingan sama sekali untuk memberikan konsesi pada massa.
Situasi ini adalah jalan buntu bagi kedua pihak karena tidak satupun yang bisa mengklaim kemenangan sepenuhnya. Inilah yang memungkinkan militer untuk menaikkan dirinya di atas masyarakat dan menampakkan diri sebagai wasit agung atau penengah Negara meskipun pada kenyataannya kekuasaan yang sejati ada di jalanan. Kepercayaan yang ditunjukkan beberapa orang terhadap peran militer menunjukkan kenaifan ekstrim. Bonapartisme merepresentasikan bahaya serius bagi Revolusi Mesir. Kenaifan ini akan terbakar dari kesadaran massa yang ditempa sekolah kehidupan yang keras.
Situasi ini dalam berbagai hal menyerupai Februari 1917 di Rusia. Lenin menunjukkan bahwa satu-satunya alasan mengapa kelas pekerja tidak merebut kekuasaan tidak ada hubungannya dengan kondisi-kondisi obyektif namun sepenuhnya disebabkan oleh faktor subyektif. Mengenai Revolusi Februari, Lenin mengajukan pertanyaan berikut:
“Mengapa mereka tidak merebut kekuasaan? Steklov mengatakan alasannya ini dan itu. Namun hal ini sepenuhnya omong kosong belaka. Faktanya adalah proletar tidak diorganisir dan tidak cukup memiliki kesadaran kelas. Hal ini harus diakui: kekuatan material ada di tangan kelas proletar namun borjuasi jauh lebih siap dan memiliki kesadaran kelas. Ini adalah fakta yang sangat besar dan harus diakui dengan jujur serta terbuka, rakyat harus diberitahu bahwa mereka tidak mengambil alih kekuasaan karena mereka tidak terorganisir dan tidak cukup memiliki kesadaran kelas.” (Lenin, Works, vol. 36, page 437, penekanan dari penulis).
Kelas pekerja Mesir dan kaum pemudanya belajar dengan cepat dalam sekolah Revolusi. Itulah mengapa perlawanan Juni sangatlah meluas, mendalam, cepat, dan lebih sadar daripada Revolusi Pertama yang muncul dua setengah tahun lalu. Namun mereka masih kekurangan pengalaman dan teori revolusioner yang diperlukan untuk memungkinkan agar Revolusi mencapai kemenangan pesat dan mutlaknya.
Revolusi cukup kuat untuk mencapai tujuan-tujuan mendesaknya: Penggulingan Morsi dan Ikhwanul Muslimin. Namun Revolusi tidak cukup kuat untuk mencegah agar buah-buah kemenangannya tidak dicuri oleh para jenderal dan kaum borjuasi. Massa harus menemupuh sekolah keras lainnya untuk menumbuhkan dirinya sampai pada tingkatan yang diperlukan untuk mengubah alur sejarah.
Kalau dua tahun lalu di Mesir ada partai yang setara dengan Partai Bolsheviknya Lenin dan Trotsky, meskipun hanya dengan 8.000 anggota yang dimilikinya pada Februari 1918 maka situasi secara keseluruhan pasti akan sepenuhnya berbeda. Namun sayangnya partai demikian tidak ada. Maka partai demikian haruslah dibangun di tengah bara peristiwa-peristiwa ini.
Malapetaka yang Mengancam
Massa revolusioner harus tetap siaga dan waspada. Segala sesuatu di Mesir masih seburuk dan bahkan dalam beberapa hal lebih buruk dibandingkan saat Hosni Mubarak digulingkan. Dari semua sisi, ketidakadilan, ketidaksetaraan, dan korupsi tengah merajalela. Dua setengah tahun setelah Revolusi Mesir, tak ada permasalahan yang dipecahkan. Elemen-elemen paling sadar memandang para pimpinan militer dan para politisi borjuis tengah bermanuver di balik punggung mereka. Namun massa masih memiliki ilusi-ilusi naif mengenai peran militer. Ilusi-ilusi ini akan dibuyarkan oleh peristiwa-peristiwa sebagaimana ilusi-ilusi terkait Ikhwanul Muslimin yang juga terbuyarkan.
Sebab mendasar Revolusi Mesir adalah situasi mendesak massa. Dua tahun setelah penggulingan kediktatoran Mubarak pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai titik terlemahnya dalam dua puluh tahun sedangkan angka pengangguran mencapai 13,2% (meningkat 9% dari 2011). Angka-angka resmi ini pun sebenarnya menyamarkan kondisi sesungguhnya yang lebih buruk.
Jatuhnya pound Mesir sebesar 30% menunjukkan bahwa inflasi semakin naik. Angka tersebut sangat tinggi khususnya dalam barang-barang pangan yang mayoritas diimpor. Mesir merupakan importir gandum terbesar di dunia. Harga-harga makanan yang naik merupakan permasalahan kritis bagi mayoritas rakyat Mesir saat ini. Beberapa barang malah berlipat harganya sejak musim gugur lalu-ini merupakan malapetaka bagi keluarga-keluarga yang telah menghabiskan 50% pendapatannya untuk makan saja.
Kemiskinan dan kelaparan tengah merajalela dengan kecepatan yang sangat mengerikan. Suatu laporan dari PBB di bulan Mei menyatakan bahwa kelaparan dan kerawanan pangan di Mesir telah melonjak antara tahun 2009 dengan 2011. Pada 2011, 17% populasi berjuang untuk mengamankan cukup makanan (sementara di tahun 2009 hanya sebesar 14%). Tingkat kekurangan gizi bagi balita meningkat mencapai 31% (sementara di tahun 2005 hanya sebesar 23%). Statistik-statistik tersebut belum mencakup peningkatan kemiskinan yang pesat semenjak 2011.
Radwian, seorang Ekonomis, menceritakan kepada The Guardian: “Kalian bicara mengenai setengah populasi tengah berada dalam kemiskinan. Baik kemiskinan absolut maupun kemiskinan sedang yang berarti bahwa dengan kejutan (ekonomi) apapun, seperti inflasi, mereka akan terjerumus ke bawah garis kemiskinan .” Sekarang, ada 23,7% rakyat Mesir yang terkatung-katung tepat di atas garis kemiskinan, menurut angka-angka yang ditunjukkan oleh pemerintah Mesir.
Goma, seorang arsitek di Kairo, menjelaskan pada The Guardian bahwa dia tidak mampu menyediakan makanan untuk anaknya. Enam bulan lalu dia sudah menghabiskan separuh gajinya untuk makan. Kini empat per lima gajinya sudah habis bukan karena upahnya makin rendah namun karena kenaikan harga-harga makanan tidak kunjung menunjukkan tanda-tanda penurunan sama sekali. Akibatnya anak-anaknya semakin tertinggal di sekolah dan mulai muncul kantong hitam di bawah mata mereka.
Ini adalah alasan-alasan nyata dibalik perlawanan menentang Morsi. Faktanya alasan-alasan ini juga alasan-alasan yang sama yang mendorong perlawanan menentang Mubarak. Perbedaan satu-satunya adalah krisis yang kini semakin akut. Dua setengah tahun kemudian pasca revolusi pertama satu-satunya perubahan dalam masyarakat Mesir hanyalah “demokrasi” di kulit yang bahkan tidak berhasil menyembunyikan peningkatan kengerian kapitalisme Mesir.
Ekonomi Mesir tengah menghadapi keruntuhannya. Pound Mesir dan cadangan devisa telah merosot, inflasi terus naik, dan tingkat pengangguran bagi penduduk berusia di bawah 24 tahun meningkat melebihi 40%. Mesir kini tengah menuju ke malapetaka ekonomi dan sosial. IMF menolak memberikan pinjaman besar yang akan membuka jalan pada pinjaman lainnya. Di tengah panas musim panas yang terik ini, rakyat tengah menderita akibat pemotongan listrik dan energi berulang kali. Suplai bahan bakar bermotor (BBM) semakin sedikit dan ada antrian yang sangat panjang untuk membeli bensin. Kaum tani sering tidak dibayar gandumnya. Tindak kriminalitas semakin mewabah dan tidak tampak polisi yang menanggulanginya.
Satu-satunya cara agar Revolusi Mesir berhasil adalah dengan mencabut permasalahan-permasalahan sampai ke akar-akarnya. Hal ini berarti penggulingan, bukan semata-mata penggulingan penguasa tertentu, baik penguasa diktator maupun penguasa “demokrat”, namun penggulingan kediktatoran kelas penguasa Mesir yang korup dan busuk. Tugas ini tidak bisa diserahkan pada para politisi profesional dan para Jenderal karena mereka adalah bagian dari kelas penghisap dan penindas.
Hanya rakyat revolusioner yang mampu memecahkan permasalahan-permasalahan dengan merebut kekuasaan ke tangan mereka. Demi mencapainya, kelas pekerja Mesir – satu-satunya kelas revolusioner di masyarakat – harus menempatkan dirinya sebagai kepala Negara. Mereka yang memproduksi kekayaan masyarakat harus mengambil kendali tenaga-tenaga produksi, tanah, bank, industri dan jasa, serta menjalankannya demi kepentingan rakyat bukan demi kepentingan kaum kaya penghisap darah.
Preseden Berbahaya
“Ini merupakan preseden berbahaya”, rengek media barat secara terus menerus. Benar! Ini adalah preseden yang sangat berbahaya untuk kalian semua yang terpilih untuk menduduki jabatan di balik kedok-kedok palsu yang menjanjikan hidup lebih baik bagi semua orang yang ternyata tidak lebih dari setumpuk dusta belaka. Dan ketika kalian sudah mapan, aman, terpilih (secara “demokratis”) di jabatan-jabatan tinggi, dengan nyamannya kalian melupakan semua yang dulu kalian janjikan dan menjalankan tindakan-tindakan yang sepenuhnya berlawanan.
Maka alternatif apa yang tersisa bagi rakyat, yang telah sekali lagi kalian injak-injak? Satu-satunya alternatif, bilamana kami meyakini demokrasi, adalah dengan cara turun ke jalan, untuk memprotes dan berunjukrasa. “Ya, semua itu sangat baik,” sangat “demokratis”, kata para politisi, “namun demonstrasi tidak boleh kebablasan.”
Apa yang dimaksud dengan “kebablasan”? Maksudnya adalah rakyat tidak boleh sukses. Fungsi sejati demonstrasi di mata demokrasi semu borjuasi adalah untuk membiarkan massa melepaskan “uap” kemarahannya. Fungsi itu adalah katup pengaman yang tidak akan mengakhiri pemerintahan korup yang tidak adil dan anti-rakyat. Sebaliknya malah memberi mereka ruang bernafas, mengalihkan kemarahan massa, atau dengan kata lain: menjaga pemerintahan yang anti-rakyat agar tetap berkuasa.
Namun saat massa berunjukrasa dengan sepenuh hati, saat mereka turun ke jalan dalam jumlah berjuta-juta dan membawa protes mereka ke titik dimana mereka akan menggulingkan pemerintahan maka semua pihak yang mengaku sebagai kaum demokrat langsung mengangkat tangan ketakutan: “Ini adalah anarki! Ini adalah kerusuhan!” teriak mereka sekuat tenaga. Kita katakan: tidak, ini bukan anarki dan bukan kerusuhan namun ini adalah rakyat yang merebut kembali kendali hidup dan takdir mereka dari tangan-tangan politisi profesional yang korup. Inilah hakikat sejati Revolusi.
Di masa lalu yang jauh saat borjuasi masih merupakan kelas revolusioner, mereka memperlakukan demokrasi secara lebih serius. Hingga hari ini Amandemen Kedua Konstitusi Amerika masih membela hak-hak warganegara untuk menggulingkan pemerintahan tirani yang melanggar hak-hak dan kehormatan rakyat.
Itu teorinya. Namun saat rakyat benar-benar mencoba mempraktekkan teori demokratis ini, mereka digonggongi protes dari kaum borjuasi dan media-media bayarannya. Sebagaimana semua hak demokratis lainnya di bawah sistem kapitalisme, hal tersebut tidak lebih dari suatu kepalsuan munafik. Demokrasi formal kaum borjuasi adalah daun ara yang menyembunyikan kenyataan kediktatoran bank-bank besar dan monopoli-monopoli.
Morsi digulingkan oleh massa-beberapa orang menyebutnya sebagai kekuasaan jalanan. The Economist menggambarkannya sebagai “preseden mengerikan bagi Timur Tengah”. Inilah yang ditulis oleh The Economist:
“Preseden dari ditumbangkannya Morsi adalah sangat buruk bagi negara-negara demokrasi lainnya yang goyah. Ini akan mendorong orang-orang yang tidak puas untuk mencoba menumbangkan pemerintahan bukan dengan pemilu tetapi dengan mengganggu kekuasaan mereka. Ini akan menciptakan insentif kepada kaum oposisi [baca rakyat] di seluruh dunia Arab untuk mengejar agenda mereka lewat jalanan, dan bukan lewat parlemen. Oleh karenanya ini akan mengurangi peluang perdamaian dan kemakmuran di seluruh daerah ini.”
Inilah suara kaum borjuis yang tengah ketakutan. Mereka takut bahwa contoh yang diberikan oleh massa Mesir akan meluas tidak saja ke seluruh penjuru kawasan Timur Tengah namun juga menular ke Eropa. Demonstrasi massa dan pemogokan massa yang akhir-akhir ini mengguncang pemerintahan Portugal adalah peringatan yang akan terjadi dari satu negeri ke negeri lainnya di periode mendatang.
Kaum borjuasi “demokratis” ingin memaksa kelas pekerja membayar krisis dengan cara menerapkan kebijakan pengetatan anggaran yang biadab (“devaluasi internal”) yang menjerumuskan Eropa kian dalam ke dalam resesi. Akibatnya, jumlah pengangguran melonjak, ekonomi memburuk, pengembalian pajak mengalami kegagalan, dan defisit terus menerus terjadi.
Namun kesediaan massa untuk terus menerima pengurangan standar dan hajat hidup telah mencapai batasnya. Di Portugal tekanan terus menerus terhadap standar hidup telah memicu tegangan sosial dan politik yang meninggi. Bahaya dari perlawanan spontan massa menentang pengetatan anggaran menampakkan diri dalam wujudnya yang konkret dalam rangakaian peristiwa di Mesir. Inilah yang menjelaskan horor Revolusi Mesir di mata borjuasi seluruh dunia.
20 tahun lalu, kediktatoran Stalinis di Eropa Timur digulingkan oleh gerakan massa di jalanan. Gerakan-gerakan ini meledak dengan kekuatan elemental yang terjadi seketika tanpa peringatan sebelumnya. Di hadapan momen-momen kebenaran demikian semua rezim yang tampaknya kuat satu persatu runtuh seperti sederet kartu domino.
Saat itu kaum borjuasi seluruh dunia bersukacita. Namun kini, dua dekade kemudian, mereka dihantui oleh hantu gerakan-gerakan revolusioner massa yang muncul entah dari mana, dari satu negeri ke negeri lainnya. Negara-negara, militer, kepolisian, kepolisian rahasia, yang tampaknya kuat, tiba-tiba menemukan dirinya tak berdaya dan terkatung-katung tanpa sokongan.
Akankah nasib sama yang menggulingkan rezim-rezim Stalinis yang nampaknya kuat dan menyapu Mubarak serta Morsi dari Istana Kepresidenan juga menunggu kaum Borjuasi. Mereka terus menerus merengek dengan keras bahwa Morsi “dipilih secara demokratis” – “sama seperti kami”. Dan bilamana Morsi “yang dipilih secara demokartis” bisa disapu oleh arus deras revolusi, bisakah hal yang sama juga terjadi disini? Hal demikian telah mengakibatkan kaum borjuasi tidak bisa tidur nyenyak, tidak hanya di Riyadh dan di Lisbon, namun juga di Paris, London, bahkan juga Washington.