Berikut adalah (draf) dokumen Perspektif Dunia 2021 yang memaparkan proses-proses fundamental ekonomi, sosial dan politik yang tengah berlangsung di dunia, guna mempersiapkan kaum revolusioner dalam kerja mereka. Dokumen ini akan diterbitkan dalam 6 bagian:
1) Dunia dalam Krisis tanpa Preseden
2) Amerika Serikat: Prospek Revolusi Mulai Terbuka
3) Eropa & Rusia: Ketidakstabilan di Mana-Mana
4) Asia: Badai Pandemi India & Perang Dagang China
5) Apakah Pemulihan Ekonomi Mungkin?
6) Perjuangan Kelas dan Tugas Kita
Bagian 1. Dunia dalam Krisis tanpa Preseden
Watak Perspektif
Dokumen ini, yang perlu dibaca bersamaan dengan dokumen yang kami terbitkan pada September 2020, akan sedikit berbeda dengan dokumen-dokumen perspektif dunia yang telah kami terbitkan sebelumnya.
Di periode sebelumnya, ketika peristiwa bergulir dengan lebih santai, kita dapat memaparkan, setidaknya secara garis besar, apa yang terjadi di berbagai negeri. Akan tetapi sekarang, peristiwa telah bergerak dengan kecepatan yang begitu pesat sehingga untuk bisa mengupasnya kita harus menulis sebuah buku. Tujuan dokumen perspektif bukanlah sebagai katalog lengkap peristiwa-peristiwa revolusioner, tetapi untuk mengungkapkan proses-proses fundamental yang melatarbelakanginya.
Seperti yang dijelaskan oleh Hegel dalam Introduction to the Philosophy of History: “Sesungguhnya, hasrat untuk memperoleh wawasan yang rasional, dan bukannya ambisi untuk mengumpulkan setumpuk pengetahuan, yang seharusnya memenuhi benak setiap orang yang ingin mempelajari ilmu sains.”
Di sini kita tengah berurusan dengan proses-proses umum, dan hanya dapat meninjau beberapa negeri yang paling mewakili proses-proses tersebut pada tahapan ini. Negeri-negeri lain tentu saja akan ditinjau dalam artikel terpisah.
Peristiwa-peristiwa dramatis
Tahun 2021 dimulai dengan peristiwa-peristiwa dramatis. Krisis kapitalisme dunia menyebar bagai ombak dari negeri ke negeri, dari benua ke benua. Dari semua sisi, kita temui lukisan kekacauan, dislokasi ekonomi, dan polarisasi kelas yang sama.
Tahun baru dibuka dengan penyerbuan Gedung US Capitol di Washington oleh massa kanan-ekstrem, yang diprovokasi oleh mantan Presiden AS Donald Trump. Ini membuat pusat imperialisme Barat tampak seperti negara gagal.
Peristiwa ini, dan juga gerakan protes Black Lives Matter yang jauh lebih masif pada musim panas tahun lalu, menunjukkan betapa dalamnya polarisasi dalam masyarakat AS.
Di ujung dunia lainnya, demo-demo besar di India dan Rusia menunjukkan proses serupa: kebencian massa yang terus tumbuh, dan kelas penguasa yang sudah tidak bisa lagi memerintah seperti dulu kala.
Krisis global tanpa preseden
Perspektif dunia ini tidak seperti yang telah kami analisa sebelumnya. Perspektif ini dibuat bahkan lebih rumit oleh pandemi yang menggantung seperti awan hitam di seluruh dunia, yang menyebabkan kesengsaraan, penderitaan, dan kematian bagi jutaan rakyat.
Pandemi ini masih membabi buta. Saat dokumen ini ditulis, sudah ada lebih dari 100 juta kasus Covid-19 di seluruh dunia, dengan hampir tiga juta korban jiwa. Tidak akan kita temui angka seperti ini selain selama Perang Dunia. Dan angka ini terus bertambah tanpa henti. [Catatan penerjemah: Per tanggal 17 Mei, jumlah kasus telah menembus 160 juta dan jumlah kematian 3,4 juta jiwa. Tetapi, berdasarkan estimasi jumlah kematian ekses yang dianalisa majalah The Economist, jumlah kematian sesungguhnya dari Covid-19 mencapai antara 7-13 juta jiwa.]
Bencana ini memiliki dampak yang mengerikan di negeri-negeri miskin di seluruh dunia dan telah berdampak serius di sejumlah negeri terkaya lainnya.
Di AS, ada lebih dari 30 juta kasus, dan jumlah yang meninggal telah melampaui setengah juta jiwa. Dan Inggris memiliki tingkat kematian tertinggi, dengan lebih dari 4 juta kasus, dan lebih dari 100,000 kematian.
Krisis hari ini oleh karenanya tidak seperti krisis ekonomi seperti biasanya. Ini secara harfiah adalah situasi hidup-atau-mati bagi jutaan rakyat. Banyak dari kematian ini yang seharusnya bisa dihindari bila saja kebijakan yang tepat diambil sejak awal.
Kapitalisme tidak bisa menyelesaikan problem ini
Kapitalisme tidak bisa menyelesaikan problem ini, karena ia sendirilah yang merupakan sumber problem ini.
Pada akhirnya, pandemi Covid-19 disebabkan oleh penghancuran lingkungan hidup oleh kapitalisme. Pembabatan hutan yang tak terkendali dan agrikultur kapitalis skala-besar telah menciptakan kondisi-kondisi yang meningkatkan risiko pandemi, dengan melompatnya virus dari hewan liar ke manusia. Seperti yang Engels camkan: “Jangan kita terlalu memuji diri sendiri hanya karena manusia telah menaklukkan alam. Karena untuk setiap penaklukan ini, alam akan membalas dendam.”
Pandemi ini mengekspos ketidaksetaraan yang tak tertanggungkan antara yang kaya dan yang miskin. Ini telah mengungkapkan garis keretakan yang dalam yang memisahkan masyarakat kita; garis yang memisahkan orang yang jatuh sakit dan mati, dan mereka yang selamat.
Pandemi ini menunjukkan betapa borosnya kapitalisme, betapa kacau dan tidak efisiennya sistem ini, dan tengah mempersiapkan perjuangan kelas di semua negeri di muka bumi.
Para politisi borjuis gemar menggunakan analogi militer ketika berbicara mengenai situasi hari ini. Mereka mengatakan bahwa kita tengah berperang melawan musuh yang tak kasat mata, yaitu virus yang ganas ini. Mereka menyimpulkan, semua kelas dan partai harus bersatu mendukung pemerintahan yang ada. Tetapi ada jurang besar yang memisahkan perkataan dari perbuatan.
Diperlukannya ekonomi terencana secara internasional sudah menjadi fakta tak terbantahkan. Krisis ini mendunia. Virus korona tidak mengenal batas negara ataupun pengendalian perbatasan. Situasi ini menuntut tanggapan internasional, dengan menghimpun seluruh pengetahuan ilmiah dan memobilisasi seluruh sumber daya planet ini untuk mengkoordinasi rencana aksi yang sungguh global.
Alih-alih, kita disuguhkan dengan percekcokan antara Inggris dan Uni Eropa yang berebutan vaksin, sementara sejumlah negeri-negeri termiskin tidak bisa mengakses suplai vaksin sama sekali.
Tetapi, mengapa ada kelangkaan vaksin? Masalah produksi vaksin – sebagai contoh saja – merefleksikan kontradiksi antara kebutuhan mendesak masyarakat dan mekanisme ekonomi pasar.
Bila kita sungguh-sungguh tengah berperang melawan virus, pemerintah akan memobilisasi seluruh sumber daya mereka untuk tugas ini. Dari sudut pandang yang murni rasional, kebijakan terbaik adalah menggenjot produksi secepat mungkin.
Kapasitas produksi harus diperbesar, yang hanya bisa dilakukan dengan membangun pabrik-pabrik baru. Tetapi perusahaan manufaktur vaksin swasta tidak berkepentingan untuk memperluas produksi secara masif karena ini dapat merugikan mereka.
Bila mereka meningkatkan kapasitas produksi sehingga seluruh dunia mendapat vaksin dalam waktu 6 bulan, pabrik-pabrik yang baru dibangun ini akan langsung menganggur setelah itu. Ini akan memangkas profit mereka, dibandingkan dengan skenario sekarang dimana pabrik-pabrik yang ada beroperasi penuh untuk bertahun-tahun mendatang.
Satu lagi halangan untuk produksi vaksin secara massal adalah penolakan perusahaan farmasi raksasa untuk melepaskan hak cipta vaksin “milik mereka” (yang dalam kebanyakan kasus dikembangkan dengan sokongan dana besar dari pemerintah) agar perusahaan-perusahaan lain dapat memproduksi vaksin ini dengan murah.
Perusahaan-perusahaan farmasi meraup untung puluhan miliar dolar, tetapi karena adanya problem produksi dan suplai di mana-mana, ada kelangkaan di banyak tempat. Sementara, jutaan jiwa terancam.
Nyawa buruh terancam
Dalam ketergesa-gesaan mereka untuk memulai kembali produksi (dan dengan demikian laba mereka), para politisi dan kapitalis melakukan penghematan yang membahayakan. Buruh dikirim kembali ke tempat-tempat kerja yang berdesakan tanpa perlindungan yang memadai. Ini sama saja seperti hukuman mati bagi kebanyakan buruh dan keluarga mereka.
Semua harapan para politisi borjuis ini bertumpu pada vaksin baru. Tetapi distribusi vaksin sarat dengan kekacauan, dan kegagalan untuk mengendalikan penyebaran virus korona – yang meningkatkan risiko bermutasinya varian virus yang kebal vaksin – telah memiliki implikasi yang serius, tidak hanya bagi nyawa dan kesehatan manusia, tetapi juga bagi ekonomi.
Krisis Ekonomi
Krisis ekonomi sekarang adalah yang terburuk dalam 300 tahun, menurut Bank of England. Pada 2020, 225 juta pekerjaan raib di seluruh dunia, empat kali lipat lebih banyak dibandingkan 2009.
Apa yang disebut negeri-negeri berkembang kini terseret mundur seperti negeri-negeri lainnya. India, Brasil, Rusia, dan Turki ada dalam krisis. Untuk pertama kalinya dalam 22 tahun perekonomian Korea Selatan menyusut pada tahun lalu. Ini terjadi kendati dana subsidi pemerintah sebesar $283 miliar. Di Afrika Selatan, tingkat pengangguran mencapai 32,5 persen dan GDP menyusut 7,2 persen pada 2020. Penyusutan ini jauh lebih besar dibandingkan 1931 selama Depresi Hebat, kendati telah menggelontorkan paket stimulus fiskal yang setara dengan 10% PDB.
Krisis ini mendorong jutaan rakyat lebih dalam ke jurang kemiskinan. Pada Januari 2021, Bank Dunia memperkirakan 90 juta orang akan terdorong ke dalam kemiskinan ekstrem. Majalah The Economist pada 26 September 2020 menulis: “Perserikatan Bangsa-Bangsa bahkan lebih muram. PBB mendefinisikan orang miskin bila mereka tidak memiliki akses ke air bersih, listrik, pangan yang mencukupi dan sekolah untuk anak-anak mereka.
“Bekerja sama dengan sekelompok peneliti dari Oxford University, PBB menyimpulkan bahwa pandemi ini akan menciptakan 490 juta orang miskin di 70 negeri, dan memutar balik pencapaian selama satu dekade terakhir.”
World Food Programme (WFP) dari PBB melaporakan: “Di 79 negeri dimana WFP berada dan datanya tersedia, sampai 270 juta orang diperkirakan rentan-pangan atau berisiko tinggi rentan-pangan pada 2021, peningkatan tanpa-preseden sebesar 82 persen dari level sebelum pandemi.”
Ini sendiri saja memberi kita gambaran akan skala mendunia dari krisis ini.
Ketidakstabilan yang secara umum kita saksikan di seluruh dunia terhubungkan secara organik dengan tingkat kemiskinan yang meningkat ini, yang menjadi sebab dan juga akibat. Ini merupakan faktor yang paling fundamental yang memicu perang dan perang sipil di banyak tempat. Ethiopia adalah satu contoh saja.
Ethiopia sebelumnya dianggap sebagai teladan. Selama periode 2004-2014, ekonominya tumbuh 11% per tahun, dan dilirik sebagai lokasi investasi yang baik. Sekarang, negeri ini terlempar ke dalam kekacauan dengan pecahnya perang di provinsi Tigray, dimana 3 juta warga membutuhkan bantuan pangan darurat.
Ini bukanlah kasus terisolasi. Daftar negeri-negeri yang terimbas perang selama periode terakhir sangatlah panjang, dan katalog penderitaan manusia ini sungguh memuakkan:
Afghanistan: 2 juta kematian; Yemen: 100.000 mati; perang narkoba Meksiko menelan korban jiwa 250.000; perang terhadap rakyat Kurdi di Turki: 45.000 mati; Somalia: 500.000 mati; Irak, setidaknya satu juta korban jiwa; Sudan Selatan sekitar 400.000 kematian.
Di Suriah, PBB memperkirakan jumlah kematian 400.000, tetapi ini estimasi rendahnya. Angka kematian yang sesungguhnya tidak akan pernah bisa diketahui secara persis, tetapi jelas setidaknya mencapai 600.000. Dalam perang-perang sipil yang mengerikan di Kongo, mungkin lebih dari 4 juta jiwa melayang. Tetapi sekali lagi, tidak ada yang tahu jumlah korban yang sesungguhnya. Baru-baru ini kita saksikan konflik di Nagorno-Karabakh.
Dan daftar ini terus memanjang. Berita-berita ini sudah tidak lagi dianggap layak untuk dimuat di halaman depan koran. Tetapi mereka mengekspresikan apa yang Lenin pernah katakan: Kapitalisme adalah horor tanpa akhir. Keberlanjutan kapitalisme mengancam menciptakan kondisi barbarisme di banyak negeri.
Krisis rejim
Dari sudut pandang Marxis, studi ekonomi bukanlah masalah akademis yang abstrak. Ekonomi memiliki dampak yang dalam terhadap perkembangan kesadaran semua kelas.
Di mana-mana kita melayangkan mata kita, kita akan temui krisis, dan bukan hanya krisis ekonomi, tetapi krisis dalam rejim yang berkuasa. Ada indikasi-indikasi jelas bahwa krisis ini telah menjadi begitu parah, begitu dalam, sehingga kelas penguasa telah kehilangan kendali mereka atas instrumen-instrumen tradisional yang telah mereka gunakan di masa lalu untuk menguasai masyarakat.
Sebagai akibatnya, kelas penguasa menemukan diri mereka tidak mampu mengendalikan jalannya peristiwa-peristiwa. Ini terutama jelas dalam kasus Amerika Serikat. Tetapi ini juga berlaku di banyak negeri lainnya. Kita cukup menyebut nama Trump, Boris Johnson, dan Bolsonaro untuk menggarisbawahi poin ini.
(Bersambung ke bagian 2)