Kapitalisme Telah Sampai Pada Jalan Buntu
Pada masa-masa dari 1948 sampai 1973-4, kita menyaksikan satu pertunjukan inovasi teknologi dan industri yang belum pernah kita saksikan sebelumnya. Namun, kesuksesan sistem kapitalis itu sekarang sedang berbalik. Pada saat penulisan buku ini, terdapat jumlah resmi sekitar 22 juta pengangguran di negara-negara kapitalis maju di zona OECD sendiri, bahkan tanpa memandang ratusa juta pengangguran dan setengah-pengangguran di Afrika, Asia dan Amerika Latin. Lebih jauh lagi, ini bukanlah siklus pengangguran yang sementara seperti di masa lalu. Ia adalah kanker yang menggerogoti perut masyarakat. Seperti wabah penyakit yang membawa maut, ia memukul bahkan seksi masyarakat yang sebelumnya percaya bahwa mereka akan selalu aman dari keadaan ini, seperti ketika krisis serupa terjadi di masa lalu.
Sekalipun terjadi kemajuan yang besar dalam ilmu dan teknologi, masyarakat menemukan dirinya berada di bawah kekuatan yang tidak dapat dikendalikannya. Menjelang fajar abad ke-21, orang melihat ke masa depan dengan penuh kekuatiran. Di tempat di mana kepastian pernah meraja, kini ketidakpastian telah mengambil tempatnya. Kegundahan umum ini pertama dan terutama menghantam kelas penguasa dan para ahli strateginya, yang semakin hari semakin sadar bahwa sistem mereka berada dalam kesulitan-kesulitan yang parah. Krisis dalam sistem menemukan cerminannya dalam sebuah krisis ideologis, yang muncul dalam partai-partai politik, gereja-gereja resmi, moralitas, ilmu pengetahuan, dan bahkan apa yang di masa kini disebut filsafat.
Kepemilikan pribadi dan negara-bangsa adalah dua belenggu yang mengganduli perkembangan masyarakat. Dari satu titik pandang yang objektif, kondisi untuk sebuah sosialisme dunia telah hadir selama beberapa dasawarsa. Namun, faktor menentukan yang memungkinkan kapitalisme untuk mengatasi separuh dari kontadiksi-kontradiksi internalnya adalah perkembangan dari pasar dunia. Setelah 1945, dominasi atas dunia oleh Amerika Serikat, didikte oleh kebutuhan untuk mengusir revolusi di Eropa dan Jepang dan untuk memagari Blok Sovyet, memberi mereka kesempatan, melalui perjanjian Bretton-Woods dan GATT, untuk memaksa kekuatan kapitalis lain untuk menurunkan tarif dan menyingkirkan lain-lain halangan bagi aliran pasar bebas.
Ini adalah kebalikan yang paling kontras dari kekacauan perekonomian pada masa-masa di antara dua Perang Dunia ketika intensifikasi dari persaingan nasional memunculkan dirinya melalui perlombaan devaluasi dan perang dagang yang membawa kita pada pencekikan kekuatan produktif di antara dua kekuatan, kepemilikan pribadi dan negara-bangsa. Sebagai akibatnya, masa-masa antar perang adalah masa-masa krisis, revolusi dan kontra-revolusi, yang berpuncak pada pembantaian imperialistik baru di tahun 1939-45.
Di masa-masa pasca perang, kapitalisme berhasil untuk mengatasi sebagian krisis fundamental sistem mereka melalui integrasi pasar dunia, menghasilkan satu pasar dunia yang satu dan berukuran raksasa. Ini menyediakan premis dasar bagi pasang-naik perekonomian yang dahsyat di tahun-tahun 1948-73, yang, pada gilirannya, membawa peningkatan standard hidup, setidaknya untuk seksi-seksi yang cukup besar ukurannya dalam masyarakat kapitalis di negeri-negeri kapitalis maju. Demikianlah, orang yang sekarat, seringkali mengalami ledakan enerji yang besar, yang nampaknya merupakan awal pemulihan seutuhnya, tapi pada kenyataannya hanyalah satu prelude untuk kejatuhan baru yang lebih fatal.
Masa-masa seperti ini bukan hanya dimungkinkan, tapi niscaya, bahkan dalam epos kemunduran kapitalis, jika tatanan sosial yang ada tidak digulingkan. Namun demikian, pertunjukan pertumbuhan ekonomi yang meriah bak pesta kembang api itu, yang mencurahkan bertrilyun dolar selama beberapa dasawarsa, tidaklah dapat mengubah sifat dasar kapitalisme atau menghilangkan kontradiksi di dalamnya. Masa-masa panjang pasang-naik ekonomi dari 1948 sampai 1973 kini usai sudah. Tingkat pengangguran rendah, meningkatnya standard hidup dan negara-kesejahteraan adalah bagian dari masa lalu. Sebagai ganti pertumbuhan kita kini menghadapi satu kemandegan ekonomi, resesi dan krisis kekuatan produktif.
Para pemilik modal kini tidak lagi tertarik untuk menanam modalnya dalam aktivitas produksi. Almarhum Akio Morita, kepala Sony Corporation, berulangkali mengingatkan di tahun 1980-an bahwa sistem kapitalis telah terjerumus ke dalam bahaya dengan kecenderungan untuk bergerak dari industri produktif ke jasa. Sejak 1950-an, Amerika Serikat telah kehilangan lebih dari separuh lapangan kerja di bidang industri manufaktur, sementara tiga perempat dari seluruh lapangan kerja berorientasi ke sektor jasa. Kecenderungan yang sama hadir pula di Inggris, yang kini mengalami degradasi ke divisi tiga dalam liga kompetisi kekuatan kapitalis dunia. Dalam sebuah artikel dalam Director (Februari 1988), Morita menyatakan:
"Apa yang ingin saya nyatakan adalah bahwa kecenderungan ini, bukannya merupakan kemajuan yang dewasa dari sebuah perekonomian yang dewasa dan merupakan sesuatu yang harus digairahkan, melainkan sesuatu yang destruktif. Karena dalam jangka panjang sebuah perekonomian yang telah kehilangan basis manufakturnya berarti telah kehilangan pusat vitalnya. Satu perekonomian yang berbasis jasa tidak memiliki mesin untuk menggerakkannya. Maka, tepukan dada tentang pergerakan dari manufaktur ke stasiun jasa berteknologi tinggi, di mana para pekerja duduk di depan komputer dan saling bertukar informasi sepanjang hari, merupakan satu hal yang sama sekali tidak pada tempatnya.
"Ini karena hanyalah manufaktur yang menghasilkan sesuatu yang baru, yang mengambil bahan mentah dan mengubahnya menjadi produk yang memiliki nilai yang lebih tinggi dari bahan mentah dari mana produk itu berasal. Agaknya sangat jelas bahwa unsur jasa dari sebuah ekonomi merupakan turunan dan bergantung pada sektor manufaktur."
Bukannya menciptakan pekerjaan dan meningkatkan kekayaan masyarakat, para monopolis besar kini mengabdikan segunung sumberdaya dalam spekulasi di pasar uang, mengorganisir pencaplokan perusahaan-perusahaan, dan segala macam aktivitas parasitis lainnya. Morita menunjukkan bahwa "Para pebisnis telah menjadi sangat takjub dengan permainan pasar valuta. Mereka telah menemukan bahwa mereka dapat menciptakan keuntungan cepat tanpa perlu menanamkan uang itu dalam bisnis yang produktif. Bahkan beberapa industri telah berpaling kepada kerajaan bursa efek. Orang-orang yang menghabiskan hidup mereka membungkuk di depan monitor yang menunjukkan transaksi saham paling mutakhir hidup sendirian saja di dunia. Mereka tidak punya kesetiaan. Mereka tidak membuat produk apapun. Mereka tidak menciptakan ide-ide baru. Mereka mendagangkan $200 milyar setiap hari di London, New York dan Tokyo. Ini pertaruhan yang sangat besar, bahkan jauh lebih besar dari nilai barang aktual yang dijualbelikan dalam sehari. "Banyak sekali tersedia air untuk bermain ciprat-cipratan di ruang mesin," tulis Morita.
Morita membandingkan situasi kapitalisme dunia dengan permainan poker di atas sebuah kapal yang sedang tenggelam, dan menyimpulkan:
"Ini permainan yang memabukkan, penuh dengan kegairahan, tapi kemenangan dan kekalahan di meja poker tidak menutup fakta yang mengerikan bahwa kapal itu sedang tenggelam dan tidak ada seorangpun yang menyadarinya."
Sejak Morita menulis baris-baris ini, situasinya telah bertambah buruk. Pasar dunia yang berukuran raksasa itu, di bidang "derivatif", pasar saham, kini telah mencapai total nilai $25 trilyun sehari dan sama sekali di luar kendali. Ini sama saja dengan berjudi pada skala kolosal. Ini membuat rumah judi South Sea Bubble menjadi remeh-temeh saja. Hal ini menunjukkan kerapuhan fundamental dari kapitalisme dunia, yang sangat mungkin akan berakhir pada sebuah crash keuangan baru, jauh lebih buruk dari yang terjadi di tahun 1929.
Kontradiksi itu Tetap Ada
Di tahun 1848, Marx dan Engels telah meramalkan bahwa kapitalisme akan tumbuh menjadi sebuah sistem dunia. Ini telah dibuktikan dengan cara yang hampir-hampir laboratoris di abad ke-20. Dominasi gila-gilaan dari pasar dunia adalah fakta terpenting dari epos ini. Kita mendapati sebuah perekonomian dunia, perpolitikan dunia, diplomasi dunia, kebudayaan dunia, perang dunia - ada dua perang dunia dalam seratus tahun terakhir, dan yang kedua hampir saja memadamkan cahaya peradaban manusia. Namun, globalisasi ekonomi tidaklah berarti pengurangan masalah, tapi, sebaliknya, justru merupakan intensifikasi yang dahsyat atas kontradiksi-kontradiksi yang ada.
Pada dasawarsa terakhir di abad ke-20, sekalipun terdapat berbagai keajaiban ilmu pengetahuan modern, dua pertiga umat manusia hidup dalam ambang batas barbarisme. Wabah seperti diare dan cacar membunuh tujuh juta anak dalam setahun. Hal yang seharusnya dapat dicegah melalui vaksinasi yang sederhana dan murah. Lebih dari 500.000 perempuan meninggal tiap tahun karena komplikasi saat melahirkan, dan mungkin sekitar 200.000 lainnya meninggal ketika aborsi. Negeri-negeri mantan jajahan menghabiskan hanya 4% dari PDB mereka untuk bidang kesehatan - rata-rata $41 per kepala, bandingkan dengan jumlah $1900 per kepala di negeri-negeri kapitalis maju.
Menurut laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa, lebih dari enam milyar orang akan menghuni bumi pada akhir tahun 2000. Sekitar separuh dari mereka akan berusia kurang dari 20. Kebanyakan dari mereka akan menderita karena ketiadaan lapangan pekerjaan, kekurangan pendidikan dasar dan perawatan kesehatan, hidup di lingkungan yang terlampau padat dan berkondisi hidup sangat buruk. Diperkirakan 100 juta anak, dari 6 sampai 11 tahun tidak akan bersekolah. Dua pertiganya adalah perempuan. Kebetulan, bahkan di Amerika Serikat, UNICEF telah memperkirakan bahwa 20% anak hidup di bawah garis kemiskinan nasional. Bagaimanapun, situasi di negeri-negeri Dunia Ketiga telah mencapai satu tingkat yang mengerikan. Sebanyak 100 juta anak hidup di jalanan. Di Brasil, masalah ini kini sedang diupayakan pemecahannya dengan melalui satu kampanye polisi dan pasukan pembunuh, untuk membunuhi anak-anak karena mereka miskin, dan miskin merupakan kejahatan. Kekejaman serupa telah dijalankan juga terhadap para gelandangan di Kolombia. Tidak berapa lama lalu telah ditemukan bahwa sejumlah besar laki-laki, perempuan, dan anak-anak yang menggelandang telah dibunuhi dan jenazah mereka dijual ke Universitas Bogota untuk dijadikan bahan percobaan bagi mahasiswa kedokteran. Kisah-kisah semacam ini mendirikan bulu kuduk mereka yang beradab. Tapi semua itu hanyalah perwujudan paling ekstrim dari moralitas sebuah masyarakat yang memperlakukan manusia sebagai komoditas belaka.
Satu juta telah tewas, empat juta terluka berat, dan lima juta telah menjadi pengungsi atau yatim-piatu sebagai hasil dari perang-perang di dasawarsa lalu. Pada banyak negeri mantan jajahan, kita melihat gejala perburuhan anak, yang hampir-hampir menyerupai perbudakan. Protes-protes munafik dari media Barat tidaklah mencegah hasil-hasil dari perburuhan anak ini untuk mencapai pasar Barat dan meningkatkan isi pundi-pundi dari perusahan-perusahaan "terhormat" di Barat. Satu contoh yang khas adalah apa yang dipublikasikan baru-baru ini tentang sebuah pabrik korek api di mana anak-anak, kebanyakan perrempuan, bekerja enam hari, 60 jam kerja seminggu, dengan bahan kimia beracun, dengan upah tiga dolar seminggu. Sebuah surat pada The Economist tertanggal 15 September 1993 menunjukkan bahwa: "Orang-orang tua memang menyadari nilai pendidikan bagi masa depan anak-anak mereka tapi seringkali kemiskinan mereka telah mencapai tingkat sedemikian rupa sehingga mereka tidak akan dapat bertahan tanpa upah dari anak-anak mereka yang bekerja."
Alasan utama untuk kemiskinan yang menistakan ini di Dunia Ketiga adalah penghisapan berganda yang dilakukan melalui perjanjian perdagangan, dan hutang jutaan dolar yang dimiliki negeri-negeri dunia ketiga terhadap bank-bank besar Barat. Bahkan untuk membayar bunga saja, negeri-negeri ini harus mengekspor makanan yang seharusnya mereka gunakan untuk memberi makan rakyatnya sendiri, dan mengorbankan kesehatan dan pendidikan bagi rakyatnya. Menurut UNICEF, pembayaran hutang telah menghasilkan penghasilan di dunia ketiga jatuh seperempatnya, pengeluaran untuk tunjangan kesehatan jatuh 50% dan pengeluaran untuk pendidikan jatuh 25%. Sekalipun ada teriakan-teriakan protes munafik atas dibabatnya hutan hujan Amazon, para ekonom Brasil telah menunjukkan bahwa motivasi utama untuk pembabatan ini adalah kebutuhan untuk meningkatkan eksport produk pertanian, seperti daging, yang diusahakan di atas tanah yang telah dibuka. Pembiayaan untuk pembabatan hutan ini datang dari Bank Dunia dan lain-lain organisasi keuangan dunia.
Dalam makna kata yang paling eksplisit, umat manusia saat ini berdiri di atas persimpangan. Di satu pihak, semua potensi untuk membangun surga di dunia telah kita miliki. Di pihak lain, unsur-unsur barbarisme mengancam untuk menelan seluruh planet ini. Sebagai tambahan beban, kita tengah diancam juga oleh kerusakan lingkungan. Dalam pengejaran keuntungan yang tergesa-gesa, perusahaan-perusahaan multinasional tengah menghancurkan planet ini. Hutan hujan tropis kini tengah dibabat dengan kecepatan 29.000 mil persegi per tahun [± 74.250 km persegi]. Ini adalah seluas Skotlandia. Orang boleh berspekulasi tentang apa yang menyebabkan kepunahan dinosaurus 65 juta tahun yang lalu. Tapi tidak akan ada keraguan tentang apa yang akan menyebabkan bencana yang sekarang ada di depan mata kita - pengejaran keuntungan yang tak terkendali dan anarki dalam produksi kapitalis.
Bahkan para ilmuwan yang tidak menganut sosialisme telah terdorong menuju kesimpulan (sepenuhnya logis, jika seseorang mau berhenti sejenak untuk berpikir) bahwa satu-satunya jalan keluar adalah sejenis perekonomian dunia yang terencana. Namun, ini tidaklah dimungkinkan bila terus berdasarkan kapitalisme. Empat puluh satu negara secara resmi mendukung "Strategi Pelestarian Dunia". Tapi, dengan tiadanya sebuah Federasi Sosialis Dunia, ini hanya di atas kertas saja. Kepentingan dari monopolis-monopolis besar adalah yang menentukan.
Namun, tidak ada sesuatupun yang niscaya tentang hal ini. Semua ramalan buruk tentang perjalanan umat manusia yang penuh keputusasaan, yang dimulai oleh Malthus, telah terbukti palsu. Potensi untuk perkembangan umat manusia tidaklah terbatas. Bahkan kini kita telah memiliki kemampuan untuk melenyapkan kelaparan dari muka bumi. Di Eropa Barat dan Eropa, produktivitas pertanian telah mencapai tingkat yang demikian tinggi sehingga para petani dibayar untuk tidak menghasilkan produk pertanian. Tanah yang subur diambil dari pengolahnya. Gandum dibuang ke laut atau dicampuri zat pewarna untuk membuatnya tidak dapat dimakan. Ada segunung daging, mentega dan susu bubuk. Tanaman olive di Spanyol dengan sengaja dicabut akarnya. Dan ada 450 juta orang di seluruh dunia yang kekurangan gizi, atau kelaparan.
Pada awal abad mendatang, negeri-negeri Lingkar Pasifik akan menghasilkan separuh dari produksi dunia. Perekonomian dunia akan tumbuh dewasa dan mandiri. Selama berabad-abad, orang-orang Eropa telah menganggap dirinya sebagai poros dari bola dunia. Secara objektif, ini sama tidak berdasarnya dengan ide Ptolomeus bahwa bumi adalah pusat jagad raya. Bahkan sejak tahun 1920-an Trotsky telah meramalkan bahwa pusat gravitasi sejarah dunia akan bergeser dari Atlantik ke Pasifik. Tahapan berikutnya dari sejarah manusia akan mencatat bahwa massa ratusan juta orang di Asia menyadari kekuatan mereka yang sesungguhnya, sebagai bagian dari sebuah Federasi Sosialis Dunia.
Azab Pengangguran
Kerja adalah aktivitas hidup kita yang utama. Sejak usia masih sangat muda, kita telah bersiap-siap untuk itu. Seluruh kegiatan bersekolah kita dirancang untuk itu. Kita menghabiskan seluruh kehidupan aktif kita di dalamnya. Kerja adalah basis yang melandasi seluruh masyarakat. Tanpanya, tidak akan ada makanan, pakaian, rumah, sekolah, kebudayaan, seni maupun ilmu pengetahuan. Dalam makna yang paling nyata, kerja adalah hidup itu sendiri. Penyangkalan atas hak bekerja seseorang berarti penyangkalan atas haknya mendapat standard hidup minimum. Sama saja dengan melucutinya dari harga dirinya, memutusnya dari lingkungan masyarakat beradab, membuat hidupnya sia-sia dan tak bermakna. Ketiadaan lapangan kerja adalah kejahatan terhadap kemanusiaan. Penciptaan satu kelas-bawah di kota-kota Amerika Serikat dan lain-lain negeri adalah satu kutukan yang dilontarkan atas masyarakat modern. Kutipan berikut mengungkapkan ketakutan dari seorang ahli strategi kapitalis terbesar tentang kecenderungan Barat menuju disinetegrasi sosial:
"Konsentrasi pertambahan populasi yang dikecewakan dan termiskinkan di kota-kota, yang bergantung dari infrastruktur yang rapuh merupakan satu hal yang matang bengkak penuh bahaya. Bukan hanya di sini ada satu kemungkinan besar bahwa solidaritas sosial yang mendasari negara-kesejahteraan akan dipatahkan dalam tahun-tahun mendatang. Semakin tingginya biaya untuk menyokong populasi yang bergantung ini akan merupakan cobaan atas kesabaran dari mereka yang lebih berhasil dalam pergulatan ekonomi.... Tapi itu masalah yang akan kita hadapi di abad mendatang.
"Negara-kesejahteraan telah membuat kesalahan yang akan dibayar dalam termin evolusioner. Perempuan kelas-kelas bawah melahirkan 60% lebih banyak anak daripada perempuan kelas menengah - kulit hitam atau putih. Tapi bahkan statistik ini masih kurang memperhitungkan dampaknya atas populasi. Perempuan kelas bawah bukan hanya memiliki lebih banyak anak, mereka juga mulai melahirkan pada usia yang lebih muda, yang membawa kita pada peningkatan deret ukur dari populasi kelas bawah sepanjang waktu."
Rees-Mogg, yang menghibur dirinya dengan khayalan bahwa "Marxisme sudah mati", mendukung politik reaksioner terbuka, yang dengan jelas mengingatkan kita pada ungkapan-ungkapan Kaum Malthusian di jaman Victoria ratusan tahun lalu:
"Mereka (orang-orang miskin) mendapat bantuan untuk menyia-nyiakan hidup mereka melalui satu insentif negatif atas program hak tunjangan yang secara efektif membebani mereka yang meninggalkan program kesejahteraan itu untuk bekerja dengan pajak 100% atau lebih. Dalam banyak kasus, nilai total dari bantuan makanan, subsidi sewa rumah, tunjangan pengangguran, suplemen pendapatan, penyediaan sarana kesehatan gratis dan lain-lain pelayanan melebihi pendapatan setelah pajak yang dapat diraih oleh seorang pekerja tidak terampil. Dan tunjangan kesejahteraan, karena definisinya, dapat diperoleh dengan sedikit atau tanpa usaha sama sekali. Anda tidak perlu bangun pagi-pagi sekali dan berdesak-desakan di angkutan kota untuk menjamin hidup Anda.... Penegakan hukum yang longgar juga membuat kemalasan, ketidakmampuan membaca dan kriminalitas menjadi semakin menarik. Anak-anak yang dapat membuat seratus dolar per jam sebagai pencuri atau pengedar narkoba kecil kemungkinannya untuk terkesan dengan kesulitan untuk belajar membaca atau mencari kerja dengan upah minimum yang mungkin akan dapat menjamin hidupnya kelak."[i]
Di sisi lain Atlantik, perasaan gelap yang sama juga telah menyebar di kalangan ahli strategi kapitalis. Penulis dan ekonom terkenal Amerika, John Kenneth Galbraith, liberal dalam politiknya, tapi tetap saja sampai pada kesimpulan yang mirip. Dalam buku terakhirnya, The Culture of Contentment, ia mengeluarkan satu peringatan keras atas kemungkinan terjadinya satu konflik sosial yang muncul dari pembagian kelas dalam masyarakat Amerika:
"Namun kemungkinan akan terjadinya pemberontakan kelas bawah, yang sangat terganggu kenyamanannya, ada dan semakin hari semakin besar. Telah terjadi beberapa ledakan di masa lalu, khususnya kerusuhan-kerusuhan di kota-kota besar di akhir 1960-an, dan ada beberapa faktor yang mungkin akan membawa pengulangan terhadapnya.
"Secara khusus, telah dijelaskan, kedamaian sangat tergantung pada perbandingan dengan ketidaknyamanan yang sebelumnya. Dengan berjalannya waktu, perbandingan itu memudar, dan juga dengan berlalunya waktu janji-janji masa lalu akan satu pelepasan dari kemiskinan relatif - atau pergerakan sosial ke atas - pudar pula. Hal ini khususnya dapat menjadi akibat dari resesi atau depresi yang berkepanjangan. Gelombang pekerja yang membanjiri pabrik-pabrik mobil dan bengkel-bengkel di Detroit- para pengungsi dari tanah-tanah pertanian Michigan dan Ontario dan kemudian juga orang-orang kulit putih miskin dari Appalachia - semakin hari semakin banyak jumlahnya. Banyak dari mereka yang datang dari Selatan untuk menggantikan mereka kini terdampar dalam pengangguran endemik. Tidak ada yang boleh terkejut jika hal ini akan, satu hari, melahirkan satu reaksi yang penuh kekerasan. Telah selalu menjadi salah satu tenet mendasar dari mereka yang mendapatkan kenyamanan bahwa mereka yang tidak mendapatkan kenyamanan itu menerima nasibnya dengan pasrah. Kepecayaan semacam itu boleh jadi satu hari akan dibuktikan sebaliknya dengan mendadak dan penuh kejutan."[ii]
Keterasingan
"Dunia ini bukanlah sekumpulan individu yang terisolasi; semuanya terhubung satu sama lain dengan satu atau lain cara." (Aristoteles)
"No man is an Island, tiada orang yang sepenuhnya sendirian; tiap orang adalah sekeping tanah dari sebuah Benua, sebagian dari yang keseluruhan. Jika sepotong Semenanjung ditenggelamkan oleh air, Eropa akan menjadi lebih kecil, demikian pula halnya dengan Puncak Gunung, atau Rumah karib Anda atau Anda sendiri; kematian tiap orang mengurangi arti saya sendiri, karena saya terlibat dalam keseluruhan Umat Manusia; dan karenanya tidak akan pernah tahu kapan lonceng maut memanggil; ia berdentang memanggil Anda." (John Donne, Devotion upon Emergent Occasion, no. xvii.)
Manusia menjadi manusia dengan memisahkan diri dari sifat murni kehewanan, yaitu, ketidaksadaran, naluri alamiah semata. Bahkan hewan yang paling kompleks sekalipun tidak dapat menandingi pencapaian umat manusia, yang memungkinkannya bertahan dan menjadi makmur dalam berbagai kondisi dan iklim, di laut, di udara, dan bahkan di antariksa. Umat manusia telah mengangkat dirinya demikian jauh dari keadaan "alami"-nya, keadaan kehewanannya, mereka telah menguasai lingkungan mereka sampai tingkatan yang tak tertandingi. Namun, paradoksnya, manusia masih terus dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan yang membabi-buta di luar kendali mereka. Apa yang disebut "ekonomi pasar" didasarkan pada premis bahwa manusia tidaklah mengendalikan kehidupan dan nasibnya sendiri, tapi merupakan boneka belaka di tangan kekuatan-kekuatan tak kasat mata, yang, seperti seperti dewa-dewa yang rakus dan tak dapat diterka dari jaman dulu, mengatur segala sesuatu tanpa rima atau keteraturan sama sekali. Dewa-dewa ini memiliki pendeta-pendetanya sendiri, yang menghabiskan hidup mereka mengabdi kepadanya. Para pendeta ini mendiami bank-bank dan bursa saham, dengan upacara-upacara mereka yang rumit, dan membuat keuntungan yang menebalkan pundi mereka melalui upacara itu. Tapi, ketika dewa-dewa marah, para pendeta itu panik, seperti sekawanan hewan yang berlarian ketakutan, dan dengan insting yang sama.
Orang-orang Romawi kuno menggambarkan budak sebagai "alat yang dapat berbicara" (instrumentum vocale). Kini, banyak buruh akan merasa bahwa penggambaran ini dapat juga diterapkan pada mereka. Kita seharusnya hidup dalam satu dunia post-modern, post-industrial, post-Fordist. Tapi, sejauh menyangkut kondisi kehidupan rakyat pekerja, apa yang telah berubah? Di mana-mana, keuntungan yang telah didapat di masa lalu sedang mengalami serangan balik. Di Barat, standard hidup, bagi sebagian terbesar rakyat, kini sedang ditekan habis. Negara-kesejahteraan sedang digerogoti, dan ketersediaan lapangan pekerjaan tinggal masa lalu.
Di semua negeri, masyarakat sedang dijangkiti oleh satu perasaan gelap yang berkepanjangan. Perasaan ini dimulai dari atas dan menetes ke bawah sampai tingkatan terendah. Perasaan tidak aman yang dilahirkan oleh pengangguran massal permanen telah menyebar ke seksi-seksi angkatan kerja yang di masa lalu beranggapan bahwa diri mereka kebal terhadapnya - para guru, dokter, perawat, pegawai negeri, manajer pabrik - tidak ada lagi yang aman. Tabungan dari kelas menengah, nilai rumah mereka, juga terancam oleh pergerakan pasar uang dan bursa saham yang tak terkendali. Kehidupan milyaran umat manusia berada dalam genggaman kekuatan membabi-buta yang bekerja dengan satu kengawuran yang akan membuat dewa-dewa masa lalu menjadi sangat rasional bila dibandingkan dengannya.
Beberapa dasawarsa lalu, dengan yakin diramalkan bahwa derap maju ilmu pengetahuan dan teknologi akan menyelesaikan semua masalah yang dihadapi umat manusia. Di masa depan manusia tidak akan lagi risau dengan perjuangan kelas, tapi dengan masalah mengisi waktu luang. Ramalan ini sama sekali bukannya tanpa dasar. Dari sudut pandang yang murni ilmiah, tidak ada alasan mengapa kita tidak seharusnya dimungkinkan mengurangi hari dan jam kerja, sekaligus meningkatkan hasil produksi dan standard hidup, berdasarkan produktivitas tinggi yang didapatkan dari penerapan teknologi baru. Tapi situasi sesungguhnya sangatlah berbeda.
Marx telah menjelaskan jauh-jauh hari bahwa, di bawah kapitalisme, diperkenalkannya mesin, bukannya mengurangi hari kerja, malah cenderung memperpanjangnya. Di semua negeri kapitalis utama, kita melihat satu tekanan tanpa ampun atas kaum pekerja untuk bekerja semakin lama, untuk mendapatkan upah yang semakin rendah. Dalam edisi 24 Otober 1994, Time melaporkan satu peningkatan tajam dari perekonomian Amerika, dengan tingkat keuntungan yang membumbung tinggi:
"Tapi kaum buruh mengeluh bahwa bagi mereka pengembangan usaha berarti kelelahan. Di seluruh industri Amerika, perusahaan-perusahaan menggunakan lembur untuk memeras tetes keringat terakhir dari angkatan kerja Amerika Serikat; minggu kerja pabrik kini mencapai satu rekor 42 jam, termasuk 4,6 jam lembur. 'Orang-orang Amerika,' Audrey Freedman, seorang ekonom buruh dan anggota redaksi Time, mengamati, 'adalah pekerja paling keras di dunia.' Tiga besar produsen mobil telah mendorong kecenderungan ini ke tingkat ekstrim. Para buruh mereka ditempatkan pada 10 jam lembur seminggu dan bekerja delapan jam pada hari Sabtu rata-rata enam hari dalam setahun."
Artikel itu juga mengutip sejumlah besar contoh baik dari kalangan pekerja kerah biru maupun kerah putih dari berbagai industri, yang mengeluh tentang beban kerja yang kronis:
"Saya mengerjakan kerja dari tiga orang," ujar Joseph Kelterborn, 44, yang bekerja untuk perusahaan telepon Nynex di New York City. Departemennya, yang memasang dan memelihara jaringan kabel-optik, telah direduksi dari 27 orang menjadi 20 pada tahun-tahun terakhir, sebagian dengan menggabungkan apa yang tadinya merupakan tiga posisi yang berbeda - operator saklar, operator daya dan operator pengujian - menjadi apa yang kini disebut carrier switchman. Sebagai hasilnya, kata Kelterborn, ia sering bekerja sampai empat jam ekstra seharinya dan satu hari ekstra tiap tiga minggu. 'Pada saat saya sampai di rumah,' keluhnya, 'saya hanya memiliki waktu untuk mandi, makan malam dan tidur sebentar; lalu tiba waktunya untuk kembali dan melakukan semuanya lagi.'"
Seperti yang telah ditunjukkan oleh Marx, peningkatan penggunaan mesin berarti semakin panjang hari kerja bagi mereka yang masih memiliki pekerjaan. Sejak dimulainya pemulihan atas resesi di bulan Maret 1991, perekonomian Amerika Serikat telah menciptakan hampir enam juta lapangan kerja baru, tapi masih juga kurang dua juta dari tingkat ketersediaan lapangan kerja sebelum resesi. Jika perusahaan-perusahaan Amerika Serikat menyewa tenaga kerja dengan tingkat yang sama dengan apa yang terjadi sebelumnya, peningkatan itu seharusnya berjumlah delapan juta atau lebih.
Artikel dalam Time itu menambahkan:
"Terdapat banyak bukti, nyatanya, bahwa Amerika Serikat sedang mengembangkan sejenis masyarakat dua tingkat. Sementara keuntungan perusahaan dan gaji para eksekutif meningkat dengan cepat, upah riil (yakni, setelah memperhitungkan inflasi) sama sekali tidak bergerak. Sungguh, pemerintah telah melaporkan bahwa median penghasilan rumah tangga riil di Amerika Serikat jatuh $312, sementara sekitar sejuta orang jatuh ke bawah garis kemiskinan, mereka yang didefinisikan secara resmi sebagai miskin adalah 15,1% dari populasi Amerika Serikat, bandingkan dengan 14,8% di tahun 1992. Semua itu adalah perkembangan yang mengejutkan di tengah empat tahun pemulihan bisnis yang kini dengan teguh tengah bertambah kuat."
Dalam Communist Manifesto, Marx dan Engels menunjukkan bahwa
"karena penggunaan mesin yang luas dan pembagian kerja, kerja proletariat telah kehilangan seluruh ciri individualitasnya, dan, sebagai akibatnya, semua minat kerja bagi individu. Ia menjadi alat pembantu mesin, dan hanya paling sederhana, paling monoton, dan ketrampilan yang paling mudah dipelajari, yang dibutuhkan darinya. Maka itu, biaya untuk menghasilkan seorang pekerja dibatasi, hampir seluruhnya, sampai di tingkat yang hanya cukup untuk membuatnya bertahan hidup, dan untuk ia berkembang biak. Tapi harga komoditi, dan demikian pula halnya dengan tenaga kerja, adalah sama dengan biaya produksinya. Maka, sebanding dengan semakin menjijikkannya pekerjaan itu, semakin turun pula tingkat upah. Lebih lagi, sebanding dengan meningkatnya penggunaan mesin dan pembagian kerja, meningkat pula beban kerja, baik melalui perpanjangan jam kerja, melalui peningkatan ragam pekerjaan yang dituntut dikerjakan dalam rentang waktu tertentu atau oleh peningkatan kecepatan kerja mesin, dan lain-lain."[iii]
Dalam salah satu film Charlie Chaplin yang paling terkenal Modern Times, kita mendapati satu gambaran kehidupan di jalur produksi sebuah pabrik besar di tahun 1930-an. Pekerjaan monoton yang dilakukan tanpa berpikir lagi, yang diulangi tanpa henti sungguh telah mengubah manusia menjadi alat pembantu mesin, "alat yang dapat berbicara". Sekalipun ada berbagai pembicaraan muluk mengenai "partisipasi", kondisi di kebanyakan pabrik tetap saja sama. Sungguh, tekanan atas buruh telah meningkat dengan pasti di tahun-tahun terakhir. Hal-hal kecil yang dapat membuat hidup ini lebih tertanggungkan telah dengan perlahan tapi pasti disingkirkan. Di Inggris, di mana kekuatan serikat-serikat buruh telah memenangkan berbagai hal di masa lalu, kini jam-makan telah pula disingkirkan. Kanselir Kohl memberi tahu kaum buruh Jerman bahwa mereka harus segera bekerja pada akhir minggu. Gambaran yang sama di mana-mana.
Teknologi yang baru bukannya memperbaiki taraf kehidupan kaum buruh dalam industri, ia malah digunakan untuk memperburuk kondisi dari para buruh kerah putih. Di kebanyakan bank, rumah sakit dan kantor-kantor besar, posisi para pekerja kini semakin mirip dengan apa yang terjadi di pabrik-pabrik. Rasa tidak aman yang sama, tekanan yang tanpa henti atas sistem syaraf, stress yang sama, yang membawa masalah-masalah kesehatan, depresi dan perceraian.
Di tahun-tahun terakhir para ilmuwan telah kembali pada ide "manusia-mesin", dalam hubungannya dengan bidang robotik dan masalah kecerdasan-buatan (AI, Artificial Intelligence). Ide ini bahkan telah merasuki imajinasi populer, seperti yang ditunjukkan oleh kepopuleran film-film sejenis Terminator, di mana manusia dihadapkan melawan mahluk robot yang dirancang dengan demikian jeniusnya. Gejala yang terakhir disebut ini mengungkapkan cukup banyak tentang psikologi yang berkembang saat ini, yang dicirikan dengan dehumanisasi manusia, yang tercampur dengan satu perasaan bahwa umat manusia tidaklah memegang kendali atas nasibnya sendiri, dan ketakutan akan satu kekuatan tak terkendali yang mendominasi kehidupan manusia. Padahal, upaya untuk menciptakan kecerdasan-buatan merupakan satu kemajuan dalam ilmu robotik, yang, dalam sebuah masyarakat rasional yang sejati, membuka satu kemungkinan yang gemilang bagi perkembangan umat manusia.
Penggantian kerja manusia oleh kemajuan permesinan adalah kunci bagi revolusi kebudayaan terbesar dalam sejarah, berdasarkan satu pengurangan umum atas jam kerja. Walau demikian, akan tetap merupakan satu kemustahilan untuk mereproduksi pikiran manusia ke dalam mesin, sekalipun pekerjaan-pekerjaan yang spesifik dapat dikerjakan lebih efisien oleh mereka. Ini bukan karena alasan yang mistik, atau karena sebuah "jiwa yang kekal", yang katanya membuat kita menjadi satu Ciptaan yang unik, tapi karena sifat dari pemikiran itu sendiri, yang tidak dapat dipisahkan dari semua aktivitas tubuh manusia, yang dimulai dengan kerja.
Marx dan Keterasingan
Bahkan bagi mereka yang cukup beruntung untuk memiliki pekerjaan, sembilan dari sepuluh kasus, kerja adalah satu rutinitas yang tak bermakna. Berjam-jam kerja tidaklah dilihat sebagai bagian dari kehidupan seseorang. Kerja tidak memiliki hubungan dengan hakikat kita sebagai manusia. Hasil dari kerja kita dimiliki orang lain, baginya Anda hanyalah sebuah "faktor produksi". Hidup dimulai saat Anda keluar dari tempat kerja, dan berhenti ketika Anda memasukinya. Gejala ini dijelaskan dengan baik oleh Marx dalam bukunya Economic and Philosophic Manuscript of 1844:
"Dengan demikian, terdiri dari apakah keterasingan kaum buruh?
"Pertama, fakta bahwa kerja itu adalah di luar diri pekerja itu, yaitu, tidak termasuk dalam sifat intrinsiknya; bahwa dalam pekerjaannya, ia tidaklah mengafirmasi dirinya sendiri melainkan menyangkalnya, tidak menjadi puas melainkan tidak bahagia, tidak mengembangkan dengan bebas enerji mental dan fisiknya melainkan merusak tubuhnya dan mengganggu otaknya. Si pekerja itu, dengan demikian, hanya menjadi dirinya sendiri di luar pekerjaannya, dan di dalam pekerjaannya merasa bahwa ia bukan dirinya sendiri. Ia merasa nyaman ketika tidak bekerja, dan ketika ia bekerja ia tidak merasa nyaman. Kerjanya, dengan demikian, tidaklah dengan sukarela, tapi karena dipaksa; itulah kerja paksa. Ia hanyalah satu alat untuk memenuhi kepentingan yang diluar dirinya sendiri. Sifatnya yang asing itu muncul jelas dalam fakta bahwa segera setelah tidak ada lagi pemaksaan fisik atau lainnya, kerja disingkirkan seperti wabah.
"Kerja terasing, kerja di mana manusia mengasingkan dirinya sendiri, adalah kerja yang penuh pengorbanan diri, penuh mortifikasi. Yang terakhir, sifat pekerjaan yang terasing bagi pekerja muncul dalam fakta bahwa kerja itu bukanlah miliknya sendiri, tapi milik orang lain, bahwa kerja itu bukan merupakan bagian dari dirinya, atau ia menjadi bagian dari kerja itu, bukan baginya tapi bagi orang lain. Sebagaimana agama merupakan aktivitas spontan dari imajinasi manusia, dari otak dan hati manusia, bagaimana ia bekerja pada seorang individu namun tidak tergantung padanya - yaitu sebagai sesuatu yang berada di luar dirinya, baik ilahi maupun satanik - demikian pula aktivitas seorang pekerja bukanlah aktivitas spontannya. Ia adalah milik orang lain; kerja bermana kehilangan jatidiri pekerja itu sendiri."[iv]
Maka, bagi sebagian terbesar orang, hidup hanya dijalani sebagai sebuah aktivitas yang memiliki sedikit saja makna bagi individu; pada keadaan terbaik, hidup dapat ditoleransi; pada keadaan terburuk, hidup adalah siksaan. Bahkan mereka yang mengerjakan pekerjaan seperti mengajar anak-anak atau mengurus orang sakit, telah mulai merasa bahwa kepuasan mereka mulai dirampas, sejalan dengan semakin merasuknya hukum-hukum pasar ke dalam sekolah dan bangsal-bangsal rumah sakit.
Perasaan bahwa masyarakat telah mencapai titik impas tidaklah terbatas pada "kelas-kelas bawah". Di tengah kelas penguasa juga terdapat perasaan yang semakin menebal akan adanya wabah dan pesismisme tentang masa depan. Omong-kosong besar yang dikumandangkan terus-menerus tentang apa yang disebut keajaiban "perekonomian pasar bebas" semakin hari menjadi semakin kosong maknanya, sejalan dengan orang semakin menyadari situasi sebenarnya - jutaan pengangguran, serangan terhadap standard hidup, kekayaan luar biasa yang dibuat melalui spekulasi, kerakusan dan korupsi.
Sangatlah ironis bahwa para pembela tatanan yang ada saat ini menuduh Marxisme sebagai "materialistis", ketika kaum borjuis itu sendiri mempraktekkan jenis materialisme yang paling vulgar dan mengerikan, makna dalam kamusnya, bukan makna filsafatnya. Pengejaran kekayaan, diangkatnya kerakusan sebagai prinsip yang dominan, itulah pusat dari kebudayaan kita sekarang. Inilah agama mereka yang sebenarnya. Di masa lalu, mereka bersusah-payah untuk menutupi ini sejauh mungkin, bersembunyi di balik segala moral munafik tentang kewajiban, patriotisme, kerja yang jujur, dan segala kepalsuan yang lain. Kini mereka melakukannya secara terbuka. Di setiap negeri kita melihat wabah korupsi yang belum pernah terjadi sebelumnya, penggelapan, kebohongan, penipuan, pencurian - bukan pencurian oleh kriminal kelas teri, tapi penjarahan dalam skala masif, yang dikerjakan oleh para pebisnis, politisi, para kepala polisi dan militer dan para hakim. Dan mengapa tidak? Bukankah sudah kewajiban kita untuk menjadi kaya?
Buaian monetarisme mengangkat egotisme dan kerakusan menjadi sebuah prinsip. Ambil sebanyak yang Anda dapat, dengan cara apapun yang Anda sanggup, dan biarkan setan mengambil yang ketinggalan! Inilah hakikat inti dari kapitalisme. Itulah hukum rimba, yang diterjemahkan ke dalam bahasa mantra-mantra ekonomi. Setidaknya, ia dianugerahi dengan kebersahajaan. Ia mengatakan terus-terang seperti apa sistem ekonomi kapitalis itu sebenarnya.
Tapi, betapa kosongnya filsafat ini! Betapa menyedihkannya pandangan tentang kehidupan manusia ini! Sekalipun mereka tidak mengetahuinya, para penguasa planet ini sebenarnya hanya budak juga, budak bisu-tuli dari kekuatan yang tidak dapat mereka kendalikan. Mereka tidak memiliki kendali sejati atas sistem ini, sebagaimana semut tidak dapat mengendalikan bukit rumah mereka. Pointnya adalah mereka cukup puas dengan keadaan ini, yang memberi mereka posisi, kekuasaan dan kekayaan. Dan mereka dengan garang melawan semua usaha untuk menjalankan perubahan yang radikal di masyarakat.
Jika ada sebuah benang merah dalam sejarah, benang merah itu adalah upaya manusia, laki-laki dan perempuan, untuk meraih kendali atas hidup mereka, untuk menjadi bebas, dalam makna yang paling sejati dari kata itu. Segala kemajuan ilmu dan teknologi, semua yang telah dipelajari umat manusia tentang alam dan dirinya sendiri, berarti bahwa kini ada potensi untuk mengembil kendali penuh atas kondisi yang kita diami. Namun, dalam dasawarsa terakhir dari abad ke-20, dunia ini kelihatannya malah berada dalam cengkeraman satu kegilaan yang aneh. Manusia semakin merasa kehilangan kendali atas takdirnya, kurang dari apa yang dirasanya di masa lalu. Perekonomian, lingkungan hidup, udara yang kita hirup, air yang kita minum, makanan yang kita makan - semua berada di bawah ancaman. Hilang sudah makna rasa aman. Hilang sudah sejarah yang merupakan satu derap maju tanpa henti menuju sesuatu yang lebih baik dari hari ini.
Di bawah keadaan ini, berbagai seksi dalam masyarakat mencari jalan keluar melalui obat-obatan dan alkohol. Ketika masyarakat ini tidak lagi rasional, manusia, laki-laki dan perempuan, lari kepada hal-hal yang tidak rasional untuk mendapatkan penghiburan. Agama, seperti yang dikatakan Marx, adalah candu, dan jika dituruti sampai titik ekstrimnya dampaknya tidaklah lebih berbahaya daripada lain-lain obat-obatan. Kita telah melihat bagaimana ide-ide religius dan mistik telah merasuk, bahkan ke dalam dunia ilmiah. Inilah satu cerminan dari watak jaman yang kini sedang kita lewati.
Moralitas
"Usahakanlah menguatkan komitmen moral dan kepercayaan agama Anda. Baca kembali Sepuluh Perintah Allah dan Kitab-kitab Kebijaksanaan. Injil bukanlah guru sejarah yang buruk dan satu panduan untuk bertahan dalam keadaan yang berat." (Rees-Mogg)
"Siapapun yang tidak peduli akan berpaling pada Musa, Kristus atau Muhamad. Siapa yang tidak puas dengan mantra-mantra eklektik akan mengakui bahwa moralitas hanyalah satu produk dari perkembangan masyarakat; bahwa tidak ada yang tidak dapat berubah padanya; bahwa ia merupakan pelayan dari kepentingan-kepentingan sosial; bahwa kepentingan-kepentingan ini saling berkontradiksi; bahwa moralitas, lebih dari segala bentuk ideologi lainnya, memiliki satu karakter kelas." (Trotsky)
"Marxisme menyangkal moralitas!" Betapa sering kita dengan pernyataan semacam ini, yang sebetulnya hanya menyatakan ketidaktahuan atas ABC-nya Marxisme. Benar, Marxisme menolak keberadaan dari moralitas yang supra-historis. Tapi tidaklah membutuhkan banyak keringat untuk menunjukkan bahwa aturan moral yang telah mengatur kelakuan manusia telah bergeser-geser dengan cukup tajam dari satu masa kesejarahan ke masa yang lain. Pada satu waktu, tidaklah dianggap tidak bermoral jika kita memakan para tawanan perang. Kemudian, kanibalisme dipandang dengan penuh kejijikan, tapi para tawanan perang boleh dijadikan budak. Bahkan Aristoteles yang agung itu siap membela perbudakan, berdasarkan bahwa budak tidaklah memiliki jiwa, dan daripada itu, bukanlah sepenuhnya manusia (argumen yang sama digunakan juga untuk perempuan). Kemudian, dianggap sesuatu yang tidak bermoral jika kita memiliki orang lain sebagai satu harta, tapi sangat dapat diterima jika para penguasa feudal memiliki para hamba yang terikat pada tanahnya dan sepenuhnya merupakan pelayan bagi tuannya, bahkan sampai memberikan para pengantin wanita untuk diperawani oleh sang tuan.[1]
Kini, semua hal ini dianggap sebagai barbar dan tidak bermoral, tapi lembaga kerja-upahan, di mana seorang manusia menjual dirinya sendiri secara ketengan pada seorang pengusaha, yang menggunakan kemampuannya bekerja sebagaimana yang diinginkan si pengusaha itu, tidak pernah dipertanyakan. Bagaimanapun, ini satu kerja bebas. Tidak seperti hamba atau budak, buruh dan pengusaha sampai pada satu persetujuan karena kehendak bebas mereka sendiri. Tidak ada yang mengharuskan seorang pekerja untuk bekerja pada satu majikan tertentu. Jika ia tidak menyukainya, ia boleh pergi dan mencari pekerjaan di tempat lain. Lebih jauh lagi, dalam sebuah perekonomian pasar bebas, hukum berlaku bagi semua orang. Penulis Perancis Anatole France menulis tentang "kesetaraan megah dalam hukum, yang melarang semua orang, tidak peduli kaya atau miskin, untuk tidur di bawah jembatan, untuk mengemis di jalanan, dan untuk mencuri roti."
Dalam masyarakat modern, sebagai ganti bentuk penghisapan terbuka, kita mendapati satu penghisapan yang tersembunyi, yang munafik, di mana hubungan riil antara laki-laki dan perempuan diterjemahkan ke dalam hubungan antar benda - potongan kertas kecil yang memberi pemegangnya kekuatan atas kehidupan dan kematian; yang dapat membuat apa yang buruk menjadi indah, yang lemah menjadi kuat, yang bodoh menjadi cerdas; yang tua menjadi muda.
Trotsky menulis bahwa hubungan uang telah tertanam dalam-dalam di kepala manusia sehingga kita mengatakan bahwa orang itu berharga sekian juta dolar. Uang adalah alat ukur bagi tingkat keterasingan yang hadir dalam masyarakat masa kini sehingga pernyataan seperti itu biasanya dianggap jamak. Maka juga tidak ada orang yang terkejut ketika, sepanjang satu krisis moneter, televisi bicara tentang mata uang layaknya seseorang yang sedang pulih dari sakit tertentu ("Poundsterling/dolar/Deutschmark menguat sedikit hari ini...."). Manusia dianggap sebagai benda, sementara benda, khususnya uang, dipandang dengan ketakjuban yang penuh tahyul, mengingatkan kita pada sikap religius orang-orang liar jaman dulu pada tiang pemujaan dan berhala-berhala mereka. Alasan untuk pemberhalaan komoditi ("fetishism of commodities") dijelaskan oleh Marx dalam jilid pertama Capital.
Pencarian atas moralitas mutlak terbukti sia-sia. Di sini lagi, hukum-hukum kekal logika tidak akan membantu kita sama sekali. Logika formal mendasarkan dirinya pada satu antitesis yang tetap antara kebenaran dan kekeliruan. Satu ide adalah benar atau keliru. Namun kebenaran, seperti yang diungkapkan penyair Jerman Lessing, bukanlah seperti mata uang yang diedarkan siap cetak dan dapat digunakan untuk setiap keadaan. Apa yang benar untuk satu waktu dan satu himpunan keadaan menjadi keliru di waktu dan keadaan lain. Hal yang sama berlaku juga bagi konsep "baik" dan "buruk". Apa yang dianggap "baik" dan terpuji dalam satu masyarakat dapat dianggap menjijikan di masyarakat lainnya. Lebih jauh lagi, dalam masyarakat tertentu, konsep tentang apa yang baik dan buruk seringkali berubah-ubah menurut keadaannya, dan menurut kepentingan dari satu kelas tertentu.
Jika kita mengecualikan incest, hubungan badan antara orang tua dan anak, yang kelihatannya ditabukan dalam hampir tiap masyarakat, hanya sedikit saja keharusan moral yang pada kenyataannya memiliki kemutlakan dan kekekalan. "Jangan mencuri" tidak memiliki banyak makna dalam masyarakat yang tidak berdasarkan kepemilikan pribadi. "Jangan berzinah" hanya memiliki makna dalam masyarakat di mana laki-laki mondominasi perempuan, di mana laki-laki ingin menjamin bahwa kepemilikan pribadi akan diwariskan melalui anak-anak lelaki mereka. "Jangan membunuh" selalu dikelilingi oleh berbagai persyaratan, dan kemudian akan segera berubah menjadi sesuatu yang sangat berbeda, bahkan bertentangan; contohnya, "jangan membunuh" kecuali dalam pertahanan diri; atau "jangan membunuh" kecuali orang itu berasal dari suku/bangsa/agama yang lain.
Dalam tiap perang, para prajurit selalu diberkati terlebih dahulu oleh para pemuka agama sebelum mereka maju bertempur untuk membantai prajurit dari bangsa lain. Perintah moral yang mutlak "jangan membunuh" tiba-tiba berubah menjadi relatif jika dihubungkan dengan pertimbangan lain, yang pada pemeriksaan yang lebih teliti, ternyata berhubungan dengan kepentingan ekonomi, teritorial, politik atau strategis dari negara yang terlibat dalam pertikaian itu. Kemunafikan dari semua ini ternyatakan dengan baik sekali dalam bait singkat karya penyair agung Skotlandia Robert Burns, On Thanksgiving For a National Victory:
"Ye hipocrites! are these your pranks?
To murder men, and give God thanks?
Desist for shame! Proceed no further:
God won't accept your thanks for Murther."["Hai kamu orang-orang munafik! apakah ini sebuah lawakan?
Kamu membunuh orang, dan berterimakasih pada Tuhan?
Hentikan demi rasa malu! Jangan lebih jauh berjalan:
Tuhan tidak akan menerima ucapan terimakasih untuk sebuah Pembunuhan."]
Perang adalah sebuah fakta kehidupan (dan juga kematian). Telah terdapat banyak sekali perang sepanjang sejarah manusia. Fakta ini boleh dipandang dengan jijik, tapi tidak dapat diabaikan. Lebih jauh lagi, seluruh isu yang terpenting di antara bangsa-bangsa selalu diselesaikan melalui perang. Pasifisme tidak pernah menjadi doktrin yang disukai oleh pemerintah-pemerintah, kecuali sebagai taktik diplomasi, yang tujuan satu-satunya adalah untuk menipu semua orang akan niat sejati dari pemerintah yang diwakili sang diplomat. Inilah mengapa kita membayar para diplomat itu. "Jangan bersaksi palsu" sama sekali tidak mereka pedulikan. Seorang komandan tentara yang tidak menggunakan segala yang ada dalam kemampuannya untuk menipu musuhnya akan apa yang sebenarnya diniatkannya akan dianggap seorang tolol, atau yang lebih buruk daripada tolol.[2] Namun demikian, di sini, kebohongan menjadi sesuatu yang terpuji - sebuah kegemilangan militer. Seorang jenderal yang membuka rahasia rencananya pada musuh akan ditembak selaku seorang pengkhianat. Seorang buruh yang mengungkapkan rencana pemogokan pada pengusaha akan dianggap pengkhianat pula oleh rekan-rekan kerjanya.
Dari beberapa contoh sederhana ini, jelaslah bahwa moralitas bukanlah sesuatu abstraksi yang supra-historis, melainkan sesuatu yang ber-evolusi secara historis, dan berubah setiap waktu. Di Abad Pertengahan yang Gelap, Gereja Katolik Roma mengutuk riba sebagai salah satu dosa maut.[3] Kini Vatikan memiliki bank sendiri, dan mendapatkan banyak uang melalui bunga pinjaman. Dengan kata lain, moralitas memiliki basis kelas. Ia mencerminkan nilai, kepentingan dan cara pandang dari kelas sosial yang dominan. Tentu saja ia tidak akan dapat berhasil memelihara satu tingkat kohesi sosial tertentu jika ia tidak diterima oleh sebagian terbesar penduduk. Maka, ia harus menampakkan dirinya sebagai sesuatu yang mutlak, dan kebenaran yang tak terbantahkan, yang bila dilanggar akan membawa keruntuhan pada seluruh tatanan sosial.
Hanya sedikit saja pemandangan yang lebih menjijikkan dari pada melihat orang-orang kaya yang terhormat memberi kotbah tentang pentingnya moralitas, agama, keluarga berencana dan penghematan ekonomi. Orang-orang itu, yang kerakusannya terwujud tiap hari dalam peningkatan raksasa dalam upah bagi para direktur, mengkotbahi kaum buruh tentang pentingnya semangat berkorban. Para spekulator itu, yang tidak pernah ragu untuk menjatuhkan nilai mata uang di negeri mereka sendiri ke dalam kekacauan supaya dapat menggembungkan lebih jauh pundi-pundi mereka yang telah bengkak itu, mengkotbahi kita tentang pentingnya nilai-nilai patriotisme. Para bankir, orang-orang pemerintah, dan para pengusaha multinasional itu, yang tanpa belas-kasihan memeras kering rakyat di Afrika, Asia dan Amerika Latin, menyerukan kengerian mereka melihat kaum buruh dan tani mengangkat senjata untuk mempertahankan hak-hak mereka. Mereka berkotbah tentang pentingnya perdamaian di dunia. Tapi tumpukan senjata pembunuh di gudang mereka, yang mereka jual untuk mendapatkan keuntungan yang gemuk menunjukkan bahwa pasifisme mereka sangat relatif sifatnya. Kekerasan hanya dianggap kejahatan jika dilakukan oleh mereka yang miskin dan tertindas. Seluruh sejarah menunjukkan bahwa kelas penguasa selalu mempertahankan kekuasaan dan kedudukan istimewa mereka dengan jalan yang paling brutal, jika dianggap perlu.
Keluarga, Keteraturan, Kepemilikan Pribadi dan Agama selalu tertulis pada panji-panji kaum konservatif pembela status quo. Namun, dari seluruh institusi yang kelihatannya kokoh ini, hanya satu, kepemilikan pribadi, yang menjadi kepentingan sejati kelas penguasa. Agama adalah, seperti yang dikatakan Rees-Mogg dengan terus-terang, adalah senjata yang perlu untuk mengatur kaum miskin. Sebagian terbesar dari anggota kelas penguasa tidak percaya sepatah katapun tentang agama, atau lebih sering pergi ke Gereja daripada mereka pergi menonton opera, untuk memamerkan pakaian mereka yang terbaru. Pemahaman mereka tentang teologi sama kaburnya dengan apresiasi mereka terhadap komposisi karya Wagner, Ring.[4] Dalam kehidupan pribadi mereka, kaum borjuasi hanya menunjukkan sedikit kepedulian akan "hukum-hukum kekal moralitas". Wabah skandal yang telah mengguncang lembaga-lembaga politik di Italia, Perancis, Spanyol, Inggris, Belgia, Jepang, dan Amerika Serikat adalah sekedar puncak gunung es, yang ketahuan saja. Namun mereka tetap berkeras berkotbah mengenai "kebenaran moral yang kekal" dan terkejut ketika mereka mendapati diri mereka ditertawakan orang.
Apakah ini berarti bahwa moralitas tidak ada? Atau bahwa kaum Marxis tidak memiliki moralitas? Salah besar. Moralitas ada dan memainkan satu peran yang perlu dalam masyarakat. Tiap masyarakat memiliki kode etiknya sendiri, yang berfungsi sebagai ikatan yang kuat, sampai tahap ia dikenali dan dihormati oleh sebagian terbesar anggota komunitas. Pada akhirnya moralitas yang ada dan kode hukum yang berusaha untuk memaksakannya dilakukan secara praktek mendapatkan dukungan penuh dari negara, mencerminkan kepentingan dari kelas atau kasta yang berkuasa, sekalipun hal itu dilakukan dengan cara yang terselubung. Sementara tatanan sosial-ekonomi membawa masyarakat melangkah, nilai, ide dan cara pandang dari lapisan berkuasa diterima tanpa pertanyaan oleh sebagian terbesar anggota masyarakat. Basis kelas dari moralitas dijelaskan oleh Trotsky:
"Kelas penguasa memaksakan tujuan-tujuan-nya kepada masyarakat dan membuat orang terbiasa dengan itu dengan menganggap segala hal yang melawan tujuan-tujuan itu sebagai tidak bermoral. Inilah fungsi utama dari moralitas resmi. Ia mengejar ide tentang 'kebahagiaan tertinggi yang dimungkinkan' bukan bagi mayoritas melainkan bagi minoritas yang kecil, dan semakin mengecil jumlahnya. Rejim semacam itu tidak akan bertahan sampai seminggu sekalipun jika hanya mengandalkan kekuatan kekerasan. Ia memerlukan semen moralitas."[v]
Beberapa gelintir individu yang berani mempertanyakan moralitas selalu dicap sebagai penghujat dan dieksekusi. Mereka dianggap sebagai orang-orang yang "tidak bermoral" - bukan karena mereka tidak memiliki sudut moral tertentu, melainkan karena mereka tidak mau tunduk pada moralitas yang ada. Socrates dinyatakan menularkan pengaruh berbahaya pada kaum muda Athena, sebelum dipaksa meminum racun. Orang-orang Kristen pertama didakwa melakukan segala macam tindak tak bermoral oleh negara perbudakan yang mengeksekusi mereka tanpa ampun sebelum negara itu memutuskan lebih baik mengakui agama baru ini, supaya dapat membujuk para pemimpin Gereja ke dalam korupsi. Luther dinyatakan sebagai titisan setan, ketika ia membuka serangan atas korupsi yang dilakukan oleh Gereja di abad pertengahan.
"Kejahatan" kaum Marxis terletak pada keberanian mereka menunjukkan bahwa masyarakat kapitalis telah memasuki pertentangan dengan kebutuhan-kebutuhan perkembangan sosial; bahwa ia kini adalah satu hambatan yang tak dapat ditoleransi lagi terhadap perkembangan umat manusia; bahwa ia matang biru dengan segala macam kontradiksi; bahwa ia telah bangkrut secara ekonomi, politik, budaya dan moral; dan bahwa semakin lama sistem ini bertahan semakin kita mempertaruhkan keselamatan dari seluruh planet ini. Dari sudut pandang mereka yang memiliki dan mengendalikan kekayaan masyarakat, ide-ide ini tentulah "buruk". Dari sudut pandang apa yang dibutuhkan untuk menemukan jalan keluar dari titik impas ini, ide-ide ini tepat, perlu dan baik.
Krisis kapitalisme yang berkepanjangan ini telah berakibat paling buruk pada moralitas dan kebudayaan. Di mana-mana, gejala disintegrasi sosial nampak mencolok mata. Keluarga borjuis berpecahan di mana-mana, tapi, karena tidak ada yang dapat menggantikannya, hal ini kemudian malah membawa satu mimpi buruk kemiskinan dan penghinaan bagi berjuta keluarga yang membutuhkan. Kota-kota Amerika Serikat dan Eropa yang sedang membusuk, dengan kantung-kantung pengangguran dan kehinaannya, adalah satu ladang pembibitan untuk penyalahgunaan obat, kejahatan dan segala macam mimpi buruk lainnya.
Dalam masyarakat kapitalis, orang dianggap sebagai komoditi yang dapat dibuang sesudah tidak dibutuhkan lagi. Barang yang tidak dapat dijual dibiarkan di gudang sampai membusuk. Mengapa manusia harus diperlakukan berbeda? Cuma, halnya tidak demikian sederhana dengan manusia. Mereka tidak dapat dibiarkan kelaparan dan meninggal dalam jumlah besar, karena penguasa takut akan konsekuensi sosialnya. Jadi, dalam kontradiksi puncak kapitalisme, kaum borjuis diharuskan untuk memberi makan para pengangguran, bukannya diberi makan oleh mereka. Satu keadaan yang benar-benar gila, di mana laki-laki dan perempuan ingin bekerja, untuk menambah kekayaan masyarakat, dan dihalangi untuk itu oleh "hukum-hukum pasar".
Ini adalah masyarakat yang sangat tidak berperikemanusiaan, di mana manusia dianggap lebih rendah daripada benda. Apakah mengherankan bahwa beberapa di antara orang-orang ini berlaku seperti bukan manusia? Tiap hari koran-koran tabloid dipenuhi dengan cerita-cerita horor tentang pelecehan yang mengerikan yang dilakukan terhadap mereka yang paling lemah, seksi masyarakat yang paling tak berdaya - wanita, anak-anak, orang-orang tua. Inilah barometer paling akurat untuk mengukur keadaan moral masyarakat. Hukum kadangkala menghukum pelanggaran-pelanggaran ini, sekalipun secara umum kejahatan terhadap pemilikan (besar) diselidiki secara lebih bersemangat oleh polisi ketimbang kejahatan terhadap orang. Tapi, dalam semua kasus, akar sosial mendasar dari kejahatan selalu berada di luar jangkauan pengadilan dan kepolisian. Pengangguran merupakan induk dari segala jenis pengangguran. Tapi, masih ada faktor-faktor lain yang lebih halus dan tak kasat mata.
Budaya mengagulkan diri sendiri, keserakahan dan ketidakpedulian terhadap kesengsaraan sesama telah berkembang biak dengan pesat, khususnya dalam dua dasawarsa terakhir, ketika budaya ini diberi tanda tangan persetujuan oleh Reagan dan Thatcher, telah memainkan peran yang penting, sekalipun tidak mudah untuk mengkuantifikasinya. Inilah wajah sejati dari kapitalisme, lebih tepatnya, wajah sejati dari kapital monopoli dan kapital keuangan - tanpa belas-kasihan, kasar, rakus, dan kejam. Inilah kapitalisme di masa tuanya yang telah loyo, terus berusaha memulihkan kebugaran masa mudanya. Inilah kapitalisme parasit, dengan kecenderungan yang nyata untuk melakukan spekulasi keuangan dan moneter, bukannya memproduksi kekayaan yang sebenarnya. Ia lebih menyukai "jasa" daripada industri. Ia menutup pabrik-pabrik seperti kotak korek api, dengan keji menghancurkan seluruh komunitas dan industri, dan menganjurkan agar para penambang dan pekerja logam untuk mencari kerja di warung hamburger. "Let them eat cake," abad ke-20 juga mengatakan ini pada mereka.
Agak terpisah dari konsekuensi sosial-ekonomi mengerikan dari doktrin ini, ia juga menyebar racun moral yang mematikan di seluruh bangunan masyarakat. Orang yang tidak memiliki kemungkinan untuk mendapatkan sebuah pekerjaanpun dipaksa berhadapan dengan sebuah pertunjukkan "masyarakat konsumerisme", di mana pencarian dan pembelanjaan uang disajikan sebagai satu-satunya aktivitas yang layak dikerjakan. Orang-orang yang dijadikan teladan dalam masyarakat ini adalah orang-orang yang gemar menyingkirkan sesamanya, orang-orang yang kaya dengan cepat, yang siap menghalalkan segala cara untuk "maju". Inilah wajah sejati dari "kebebasan berusaha", dari reaksi kaum monetaris - inilah wajah dari seorang petualang yang tak punya prinsip, seorang licik dan penipu, seorang yang picik dan dungu, seorang tukang pukul yang memakai jas mahal, personifikasi dari kerakusan dan pengagulan diri. Inilah orang-orang yang bertepuk tangan melihat penutupan sekolah dan rumah sakit, pemotongan dana pensiun dan lain-lain pengeluaran "yang tidak mendatangkan keuntungan", sementara mereka menumpuk harga dengan mengangkat telepon, bahkan tanpa menghasilkan sesuatupun untuk kesejahteraan seluruh masyarakat.
Seringkali dinyatakan bahwa orang "secara alamiah" bertindak menurut kepentingannya sendiri. Lalu hal ini diartikan dengan cara yang sempit, egotisme individualistik. Pengertian semacam itu jelas sesuai dengan para pembela sistem sosial-ekonomi yang sekarang, di mana kerakusan dan pengejaran kepentingan-diri diagulkan sebagai prinsip moral yang mulia, sejajar dengan perwujudan "kebebasan pribadi". Jika demikian halnya, masyarakat manusia tidak akan pernah berkembang. Kata "kepentingan" [interest] itu sendiri datang dari kata Latin "inter-esse" yang berarti "mengambil tempat dalam (suatu hal)". Seluruh basis dari evolusi moral dan kecerdasan seorang anak adalah pergerakan menjauhi "egotisme" dan menuju rasa yang lebih peka atas kebutuhan dan keperluan orang lain. Masyarakat manusia didasarkan pada keperluan untuk produksi sosial, kerja sama dan komunikasi.
Ini semua adalah titik impas kapitalisme yang mengancam mendorong kebudayaan manusia kembali pada tingkat kekanak-kanakan, dalam maknanya yang terburuk - seperti seorang uzur kembali ke mentalitas anak kecil. Sebuah masyarakat yang terbelah dan mementingkan diri sendiri tanpa visi, tanpa moralitas, tanpa filsafat, tanpa jiwa, sebuah masyarakat "tanpa gigi, tanpa mata, tanpa perasaan, tanpa apapun."
Kemungkinan yang Tak Terbatas
Setiap sistem sosial berkhayal bahwa dirinyalah pamungkas dalam perkembangan sejarah. Segala sejarah yang sebelumnya dianggap hanya merupakan satu persiapan bagi cara produksi khusus mereka sendiri, dan semua bentuk kepemilikan yang legal, sistem moral, agama dan filsafat yang menyertainya. Namun tiap sistem masyarakat hanya ada sampai tingkat di mana ia menunjukkan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan populasi, dan memberikan harapan bagi masa depan. Saat ia gagal melakukan itu, ia memasuki satu proses yang tak dapat dibalik, proses kemunduran, bukan hanya secara ekonomi, tapi juga moral, kebudayaan dan dalam tiap aspeknya. Masyarakat seperti itu sudah mati, sekalipun para pembelanya menolak mengakui hal itu.
Sejalan dengan semakin mendekatnya akhir abad ke-20, terdapat satu perasaan keletihan dan kehabisan tenaga yang jelas dan merasuk ke mana-mana di dalam masyarakat kapitalis. Seakan cara hidup yang lama telah menjadi tua dan membusuk. Ini bukanlah apa yang oleh para penulis dirujuk sebagai mal du siecle. Ia adalah satu kesadaran samar bahwa "ekonomi pasar" telah mencapai batasnya. Namun, sekalipun satu bentuk masyarakat tertentu telah hidup lebih lama dari seharusnya, ini tidak berarti bahwa perkembangan umat manusia sama terbatasnya. Sejarah bukan saja belum berakhir. Sejarah malah belum dimulai. Jika kita melihat sejarah sebagai sebuah kalender di mana 1 Januari merupakan awal terbentuknya bumi dan 31 Desember merupakan hari ini, dengan mengambil pembulatan usia bumi 5 milyar tahun, tiap detik akan merupakan 167 tahun, tiap menit 10.000 tahun. Jaman Kambrian Bawah akan dimulai tanggal 18 November. Manusia muncul sekitar pukul 11.50 malam pada tanggal 21 Desember. Seluruh sejarah manusia yang tercatat akan jatuh pada empatpuluh detik terakhir menjelang tengah malam.
Ilya Prigogine telah dengan bijak berkomentar bahwa "Pemahaman ilmiah tentang dunia di sekeliling kita baru saja dimulai." Peradaban manusia, yang bagi kita terlihat sangat tua, sesungguhnya masih sangat muda. Kenyataannya, peradaban yang sejati, dalam makna sebuah masyarakat di mana manusia dengan sadar mengendalikan hidupnya sendiri, dan sanggup hidup dalam satu keberadaan yang sepenuhnya manusiawi, bukannya satu perjuangan saling memangsa yang hewani, belum dimulai sama sekali. Apa yang benar adalah bahwa sebuah bentuk masyarakat tertentu telah menjadi tua dan lelah. Ia bertahan untuk tetap hidup, sekalipun ia tidak memiliki apapun lagi untuk ditawarkan. Pesismisme tentang masa depan, yang tercampur dengan tahyul dan harapan tak berdasar bagi sebuah Penyelamatan, merupakan satu ciri khusus bagi periode semacam itu.
Di tahun 1972, Club of Rome menerbitkan satu laporan yang gelap berjudul The Limits of Growth yang meramalkan bahwa pasokan bahan bakar fosil dunia akan habis dalam beberapa dasawarsa. Hal ini memprovokasi satu kepanikan, melambungnya harga minyak dunia, dan satu pencarian yang tergesa-gesa akan sebuah sumber enerji alternatif. Lebih dari duapuluh tahun kemudian, tidak ada kelangkaan minyak atau gas, dan hanya sedikit saja orang yang sekarang mau repot-repot mencari satu alternatif. Pandangan rabun jauh macam ini adalah salah satu ciri kapitalisme, yang dimotivasi oleh pencarian keuntungan jangka pendek. Tiap orang tahu bahwa cepat atau lambat pasokan bahan bakar fosil akan habis. Satu rencana jangka panjang mutlak perlu untuk menemukan alternatif yang murah dan ramah lingkungan.
Alam menyediakan secara ekplisit sumber enerji yang tak berbatas - matahari, angin, laut, dan di atas segalanya, materi itu sendiri, yang mengandung enerji raksasa yang belum termanfaatkan. Fusi nuklir[5] (bukan seperti fisi nuklir) menyediakan satu potensi untuk enerji yang murah, ramah lingkungan dan tak berbatas. Tapi perkembangan dari bahan bakar alternatif bukanlah satu hal yang sesuai dengan kepentingan perusahaan monopoli minyak. Di sini lagi, kepemilikan pribadi atas alat produksi bertindak sebagai penghalang raksasa bagi perkembangan umat manusia. Masa depan planet ini hanya nomer sekian dibandingkan kepentingan segelintir orang untuk menjadi kaya.
Solusi bagi masalah-masalah mendesak yang dihadapi dunia ini hanya dapat digunakan dalam sebuah sistem ekonomi yang berada di bawah kendali rakyat. Masalahnya bukanlah bahwa terdapat satu batas inheren bagi perkembangan. Masalahnya terletak pada sistem produksi yang kuno dan usang, yang menyia-nyiakan kehidupan dan sumberdaya, merusak lingkungan dan mencegah potensi ilmu pengetahuan dan teknologi untuk berkembang sepenuhnya. "Tidak ada satu hubungan antara ilmu pengetahuan dan kesempatan bisnis," seorang komentator menulis baru-baru ini, "teori relativitas umum masih harus diubah menjadi sumber penghasil uang." (The Economist, 25 Februari 1995.)
Namun, bahkan pada saat ini, kemungkinan yang terkandung dalam teknologi tetaplah menakjubkan. Inovasi teknologi telah membuka pintu pada satu revolusi kebudayaan yang sejati. Televisi interaktif kini telah merupakan satu proposal yang dapat dijalankan. Kemungkinan untuk berpartisipasi aktif dalam pengembangan program televisi memiliki potensi yang amat besar, jauh lebih besar dari sekedar menentukan program mana yang Anda ingin lihat. Ia membuka pintu untuk partisipasi demokratik dalam menjalankan masyarakat dan perekonomian dengan cara yang di masa lalu hanya ada dalam impian.
Kelahiran kapitalisme dicirikan oleh keruntuhan hubungan-hubungan parokial lama, dan kelahiran negara-bangsa. Kini pertumbuhan kekuatan produktif, ilmu dan teknologi telah membuat negara-bangsa itu sendiri menjadi suatu yang redundan, sia-sia. Seperti yang telah diramalkan Marx, negara-bangsa yang paling besar sekalipun diwajibkan untuk turut-serta dalam pasar dunia. Pandangan nasionalis sepihak ini telah menjadi sesuatu yang mustahil.
Back to the Future?
Manusia-manusia pertama terikat sangat erat dengan alam. Ikatan ini secara bertahap dipatahkan dengan perkembangan kehidupan perkotaan, dan pembagian antara kota dan desa, yang telah mencapai proporsi yang mengerikan di bawah kapitalisme. Perceraian antara manusia dan alam telah menciptakan dunia keterasingan yang tidak alamiah. Satu manifestasi lebih jauh dari sini adalah perceraian sepenuhnya antara kerja mental dan fisik, pembelahan sosial yang tidak sehat yang memisahkan kasta-pendeta modern yang menguasai ilmu pengetahuan dari "mereka yang membelah kayu dan memanggul air." Itu bukan sekedar pengasingan manusia dari alam. Ini adalah pengasingan umat manusia dari dirinya sendiri. Keluar dari kondisi ketergantungan sepenuhnya atas alam, mengangkat diri keluar dari kubangan keberadaan hewani, menguasai kesadaran - inilah yang membuat kita menjadi manusia. Tapi kemenangan inipun telah hilang dari tangan kita, dan merupakan satu kehilangan yang semakin lama semakin dirasa sejalan dengan berlalunya waktu. Proses ini telah berjalan demikian jauh sehingga ia telah berubah menjadi kebalikannya. Sejalan dengan bertambah besarnya ukuran kota, semakin padat dan berpolusi, satu mimpi buruk sedang diciptakan. Dalam beberapa dasawarsa mendatang, Shanghai sendirian akan memiliki jumlah penduduk melebihi Inggris Raya, berdasarkan kecenderungan yang sekarang. Perumahan yang buruk, kejahatan, narkoba dan sebuah proses umum dehumanisasi dihadapi oleh jutaan orang menjelang abad ke-21.
Sifat "peradaban" yang sepihak dan artifisial ini menjadi semakin menekan, bahkan bagi mereka yang tidak menderita kondisi yang terburuk. Kerinduan akan bentuk-bentuk kehidupan yang lebih bersahaja, di mana manusia dapat hidup dengan lebih alami, bebas dari segala tekanan persaingan dan konflik mewujud dalam kecenderungan di kalangan muda untuk "drop out" dari masyarakat, dalam sebuah upaya untuk menemukan kembali surga yang hilang itu. Ada satu kesalahpahaman di sini. Pertama-tama, kehidupan orang-orang primitif tidaklah sesantai seperti yang dibayangkan. "Orang barbar yang mulia" selalu menjadi fiksi dari penulis-penulis Romantik, sama sekali tidak ada kemiripannya dengan kenyataan. Nenek-moyang kita sangat dekat dengan alam, hanya karena mereka adalah budak dari alam.
Namun demikian, ada sisi lain dari sini. Orang-orang "primitif" ini hidup cukup bahagia tanpa harus membayar sewa, bunga dan mencari keuntungan. Perempuan tidaklah dianggap sebagai milik pribadi tapi menempati kedudukan yang terhormat dalam masyarakat. Uang tidak dikenal. Demikian pula dengan negara, dengan birokrasinya yang mengerikan itu, dan badan khusus orang-orang bersenjata, polisi, sipir dan para hakim. Dalam komunisme kesukuan primitif, tidak ada negara dalam makna satu alat pemaksa, aparatus koersi, tapi para tetua dihormati semua orang, dan kata-kata mereka adalah hukum. Kemudian, para kepala suku berkuasa melalui penghormatan sukarela dari seluruh komunitas. Koersi tidaklah diperlukan, karena semua orang memiliki kepentingan yang sama. Inilah basis bagi ikatan sosial untuk kerja sama dan persatuan. Tidak satupun penguasa modern yang akan pernah mencicipi penghormatan yang dinikmati para kepala suku kuno, yang dijamin oleh satu rasa identitas dan kewajiban bersama, yang "dikodifikasi" dalam tradisi oral sebagai legenda kesukuan, yang dikenal oleh semua orang dan diterima secara universal. Penghormatan ini pastilah hampir mirip dengan perasaan yang dimiliki seorang anak terhadap orang tuanya.
Dalam jaman yang katanya jaman pencerahan ini, banyak orang, termasuk mereka yang suka berpikir bahwa dirinya terpelajar, berpikir bahwa manusia tidak mungkin pernah bisa melangkah tanpa gejala-gejala yang perlu, semacam uang, polisi, penjara, tentara, perdagangan, pemungut pajak, hakim dan para uskup. Dan kalaupun mereka benar melakukan itu, hal itu hanya dapat dijelaskan melalui fakta bahwa, karena mereka ini "primitif", mereka belum dapat menyadari manfaat yang diberikan oleh lembaga-lembaga ini bagi umat manusia.
Setiap orang yang pernah melihat film tentang suku-suku yang sampai sekarang masih hidup dalam peradaban jaman batu di Amazon mustahil tidak terkesan oleh kealamiahan dan spontanitas mereka, mirip anak-anak, sebelum kedua hal itu diperas keluar dari mereka oleh kehidupan kapitalisme yang penuh persaingan dan perlombaan. Dalam Injil Mateus, Jesus mengatakan, "Sesungguhnya, jika kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil ini, kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga" (Pasal 18:3). Dalam proses pertumbuhan, sesuatu yang penting hilang, tidak akan pernah didapatkan lagi. Inilah runtuhnya keluguan, yang dalam kitab Kejadian digambarkan dengan kisah manusia memperoleh pengetahuan. Masyarakat modern tidak akan pernah dapat kembali pada komunisme kesukuan primitif, seperti seorang dewasa tidak akan menjadi kanak-kanak lagi.
Adalah satu hal yang dianggap tidak alami dan tidak sehat bagi seorang dewasa untuk berkeinginan kembali kepada masa kanak-kanaknya. Dalam kasus apapun, itu keinginan yang sia-sia, karena mustahil. Tapi seiring dengan keluguannya, seorang anak memiliki kualitas yang berbeda - kegembiraan yang spontan dan kealamiahan, yang merupakan satu hal yang asing bagi orang dewasa. Hal yang sama terjadi juga pada orang-orang "primitif", sebelum datangnya masyarakat berkelas, kesepihakan dan pembagian kerja yang membodohkan, yang memuntir dan membalik keberadaan manusia. Artis modern mana yang sanggup menghasilkan lukisan yang memiliki keakraban dan keindahan alami demikian mengagumkan seperti yang dibuat oleh para pelukis gua di Lascaux dan Altamira?
Ini bukan satu masalah bagaimana mundur ke belakang, tapi bagaimana maju ke depan. Bukan satu upaya untuk kembali pada komunisme kesukuan yang primitif, tapi maju ke masa depan persemakmuran sosialis dunia. Negasi atas Negara membawa kita kembali ke titik awal perkembangan umat manusia, tapi hanya dalam penampakannya. Sosialisme di masa depan akan mendasarkan dirinya pada segala penemuan menakjubkan yang sudah dibuat di masa lalu dan kini, dan menempatkan mereka sebagai pembantu umat manusia. Dengan menggunakan istilah Hegel, inilah kasus dari "yang universal, namun dipenuhi dengan kakayaan yang khusus."
Tulis Marx,
"Seorang manusia tidak dapat menjadi kanak-kanak lagi, atau menjadi kekanak-kanakan. Tapi apakah ia tidak menemukan kegembiraan dalam kenaifan seorang anak, dan apakah ia sendiri tidak harus berusaha menghasilkan kembali kegembiraan itu pada tingkat yang lebih tinggi? Apakah ciri sejati dari tiap epos tidak hidup dalam sifat kanak-kanak yang hidup di jamannya? Mengapa masa kanak-kanak dari sejarah manusia, masa perkembangannya yang paling indah itu, sebagai satu tahap yang tidak mungkin kembali, tidak boleh menimbulkan rasa kagum yang kekal? Ada kanak-kanak dan ada kanak-kanak yang telah berkembang sepenuhnya. Banyak orang yang sudah berusia lanjut termasuk kategori ini. Orang-orang Yunani adalah kanak-kanak normal. Pesona seni mereka bagi kita bukanlah satu kontradiksi terhadap tahap masyakarat mereka yang belum berkembang itu. Hasilnya, bukan, dan sebetulnya sangat terikat erat dengan, fakta tentang kondisi sosial yang belum matang yang menghasilkan karya-karya itu, dan satu-satunya kondisi yang dapat melahirkannya, kondisi yang tak akan pernah kembali."[vi]
Sosialisme dan Estetika
Di masyarakat masa kini, arsitektur berada dalam hubungan yang buruk dengan seni. Orang terbiasa hidup dalam lingkungan yang buruk, perumahan yang buruk, dalam kota yang padat, dikepung oleh kebisingan dan polusi. Di akhir pekan, beberapa dari mereka pergi ke balai seni, di mana, untuk beberapa jam, mereka dapat mengagumi lukisan yang tergantung di dinding - pulau keindahan di tengah lautan kejelekan yang menyesakkan. Keindahan hidup sudah masuk kotak, satu mimpi yang tak mungkin terwujud, sebuah fiksi, sama jauhnya dari kenyataan dengan galaksi yang terjauh dari bumi. Demikian jauhnya ia telah terpisah dari kehidupan sehingga banyak orang mengaggapnya sesuatu yang tidak relevan dan tidak berguna. Rasa permusuhan terhadap seni, yang dilihat sebagai hak istimewa dari kelas menengah, adalah satu konsekuensi lebih jauh dari pembagian ekstrim antara kerja mental dan kerja fisik. Kondisi yang barbar melahirkan sikap yang barbar.
Keadaannya tidaklah selalu demikian. Dalam masyarakat manusia yang awal, musik, puisi yang epik dan perbincangan yang halus merupakan milik bersama dari semua laki-laki dan perempuan. Monopoli atas kebudayaan oleh minoritas kecil adalah produk dari masyarakat berkelas, yang melucuti mayoritas besar, bukan hanya dari kepemilikannya, tapi juga dari hak untuk mendapatkan perkembangan yang bebas atas pikiran dan kepribadiannya. Namun, jika kita berhenti dan berpikir tentang apa yang ada di balik permukaan ini, kita akan menemukan keinginan yang kuat untuk belajar, untuk mengalami ide-ide baru, untuk mencari cakrawala yang lebih luas. Kehausan massa akan budaya, yang tertindas jauh di bawah kondisi "normal", muncul ke permukaan dalam tiap revolusi.
Revolusi Rusia 1917, yang katanya merupakan tindakan yang barbar, pada kenyataannya merupakan satu titik awal bagi lompatan besar dalam kebudayaan, puisi, seni dan musik. Hal ini tidak dapat disangkal sekalipun kemudian dirusak kembangnya di bawah sepatu lars Stalinisme. Dalam revolusi Spanyol 1931-37, terdapat pencerahan seni yang serupa - puisi-puisi Lorca, Machado, Alberti dan di atas semuanya, Miguel Hernandez, diilhami oleh perjuangan itu, dan pada gilirannya didengarkan dengan perhatian yang kuat oleh jutaan orang yang sebelumnya tidak memiliki akses pada dunia seni dan budaya yang indah gilang-gemilang itu.
Dalam sebuah revolusi, orang-orang biasa, laki-laki dan perempuan mulai melihat diri mereka sendiri sebagai manusia, sanggup mengendalikan takdir mereka sendiri, bukan sekedar "alat yang dapat berbicara". Dengan kemanusiaan yang sejati muncullah harga diri; satu rasa penghormatan terhadap diri sendiri dan rekannya yang setia, penghormatan terhadap orang lain. Para pelayan menempelkan catatan di restoran-restoran Barcelona di tahun 1936, yang menyatakan: "Hanya karena seseorang harus bekerja di sini, itu tidak berarti Anda harus menghinanya dengan menawarkan tips." Inilah kelahiran kebudayaan - kebudayaan manusia yang sejati, yang merupakan bagian dari hidup itu sendiri. Gejala yang sama, dalam bentuk benih, dapat terlihat dalam berbagai pemogokan, di mana manusia, laki-laki dan perempuan, mengungkapkan kualitas yang mereka tidak pernah mimpi untuk miliki. Tentu, jika pergerakan itu tidak membawa satu perubahan yang menyeluruh dalam masyarakat, beban berat dari kebiasaan dan rutinitas akan sekali lagi berdominasi. Kondisi material menentukan kesadaran. Namun, sebuah masyarakat sosialis yang berdasarkan teknologi dan budaya tinggi akan sepenuhnya mengubah cara pandang orang.
Seringkali dikatakan oleh para ahli logika dan matematika bahwa jenis simetri sempurna yang mereka kagumi mengandung satu nilai estetik yang intrinsik. Beberapa orang bahkan melangkah demikian jauh dengan mengklaim bahwa hal yang paling penting dari sebuah persamaan bukanlah apakah mereka menggambarkan realitas, tapi apakah mereka menyenangkan secara estetik. Walaupun tidak akan ada yang menyangkal bahwa simetri adalah indah, tapi terdapatlah simetri dan "simetri". Bangunan-bangunan serasi dari Athena klasik dianggap banyak orang sebagai titik tinggi dalam sejarah arsitektur. Tentu di sini terdapat satu simetri yang menyenangkan di sini, dan satu simetri yang mengingatkan kita pada hubungan linear geometri Euclides. Makna penting arsitektur di Athena pada jaman Pericles adalah satu ekspresi grafik dari cara pandang demokrasi Athena yang bersemangat publik (yang didasarkan, tentu saja, pada kerja kaum budak, yang sepenuhnya berada di luar demokrasi itu). Bangunan-bangunan besar di Acropolis dan Athena, tanpa kecuali, adalah bangunan umum, bukan kediaman pribadi. Di jaman kita sekarang, kemegahan semacam itu sangatlah jarang terdapat. Prioritas rendah yang diberikan pada arsitektur dibandingkan dengan seni lain bukanlah satu kebetulan.
Atas nama "nilai guna", yang merupakan sinonim sopan atas kata kebosanan, manusia dipaksa untuk hidup dalam kotak-kotak beton yang menjulang tinggi, yang tidak memiliki nilai artistik atau kehangatan manusiawi sama sekali. Kengerian semacam ini didesain oleh para arsitek, yang diilhami oleh prinsip-prinsip geometris yang ketat. Namun mereka sendiri lebih suka tinggal di vila mereka di luar kota, yang didesain a la abad ke-15, jauh dari mimpi buruk perkotaan yang mereka ciptakan sendiri. Manusia pada umumnya tidak suka hidup dalam kotak-kotak. Dan alam mengenal simetri yang sama sekali bukan berbentuk garis lurus atau lingkaran-lingkaran sempurna.
Semua itu hanyalah sisi lain dari koin keidiotan mekanik dari jalur produksi itu, di mana, mengutip Marx, manusia diperlakukan sebagai sekedar tambahan bagi mesin. Lalu mengapa orang-orang itu tidak kita giring saja untuk hidup bersama-sama kita dalam bangunan beton kotak itu, yang dibangun dengan prinsip-prinsip "industrial" yang sama kokohnya? Reduksionisme yang sama keringnya, formalisme yang sama kosongnya, pendekatan yang sama linearnya telah menjadi watak arsitektur di abad ini. Di sini keterasingan dalam masyarakat kapitalis lanjut mewujudkan dirinya dalam perlakuan tanpa jiwa atas kebutuhan manusia yang paling dasar, untuk satu lingkungan hidup yang bersih, indah dan sepenuhnya manusiawi. Ketika hidup ini telah dilucuti dari seluruh kemanusiaannya, ketika ia dibuat tidak alamiah dengan seribu satu macam cara, bagaimana mungkin kita terkejut ketika beberapa di antara lingkungan itu menghasilkan produk yang berlaku dengan cara-cara yang tidak alamiah dan tidak manusiawi?
Di sini juga, kita menyaksikan satu pemberontakan terhadap ketundukan dan kekakuan yang tidak berjiwa. Blok-blok dan pencakar langit yang menjulang itu, yang dengan tepat digambarkan oleh seorang penulis Inggris sebagai "menara keidiotan yang telanjang", semakin hari semakin tak disukai. Dan tidak mengherankan. Itu semua adalah monumen atas keterasingan pada skala yang masif, satu kemerosotan progresif ke dalam kondisi hidup yang tidak manusiawi, yang melahirkan segala macam kengerian dari rahimnya.
Fisikawan Jerman Gert Ellenberger bertanya,
"Mengapa siluet dari sebuah pohon yang telah dirontokkan oleh badai, berlatarbelakangkan langit malam di musim dingin dianggap sebagai satu keindahan, tapi siluet dari sebuah bangunan serba-guna universitas tidak, bagaimanapun kerasnya para arsiteknya berusaha? Jawabannya kelihatannya bagi saya, bahkan jika kedengarannya agak spekulatif, dapat ditemukan pada pemahaman baru kita tentang sistem-sistem dinamis. Perasaan kita akan keindahan diilhami oleh pengaturan yang serasi atas keteraturan dan ketidakteraturan seperti yang terdapat dalam objek-objek alamiah - di awan, pepohonan, pegunungan atau kristal salju, dan kombinasi tertentu atas keteraturan dan ketidakteraturan yang khas bagi mereka."
Seperti yang diamati dengan tepat oleh James Gleick,
"Bentuk-bentuk yang sederhana tidaklah manusiawi. Mereka tidak akan beresonansi dengan cara alam mengorganisir diri sendiri, atau dengan cara manusia melihat dunia."[vii]
Jauh-jauh hari Karl Marx telah menunjuk pada konsekuensi berbahaya dari pemisahan kerja yang ekstrim antara kota dan desa. Ini bukan masalah "kembali ke alam", dalam makna yang dianjurkan oleh beberapa ahli ekologi, yang bermimpi melarikan diri dari kejelekan masa kini dengan mundur ke dalam apa yang disebut pesona surga pedesaan dari sebuah masa lalu yang mistik. Tidak ada jalan untuk kembali. Ini bukan persoalan menyangkal teknologi, tapi perjuangan melawan penyalahgunaan teknologi demi keuntungan pribadi, yang menghancurkan lingkungan dan menciptakan neraka di dunia, di mana seharusnya sebuah surga ada di sana. Inilah tugas sentral yang dihadapi umat manusia dalam dasawarsa terakhir abad ke-20 ini.
"Pemikir" dan "Pekerja"
"Nec manus, nisi intellectus, sibi permissus, multum valent." (Baik tangan, maupun nalar, jika dipisahkan satu sama lain, tidak akan bernilai apa-apa.)
- Francis Bacon.
Perceraian total antara teori dan praktek di masyarakat masa kini telah menjadi sangat berbahaya. Watak yang semakin lama semakin fantastik dari "teori-teori" yang diedarkan oleh beberapa kosmolog dan fisikawan teoritik tertentu jelas meupakan sebuah konsekuensi dari fakta ini. Setelah dibebaskan dari keharuskan untuk memperlengkapi teori mereka dengan bukti kongkrit, dan semakin bersandar pada persamaan yang rumit dan interpretasi yang ajaib dari teori relativitas, hasil dari pemikiran yang sepenuhnya spekulatif ini semakin hari semakin mengejutkan.
Telah tiba waktunya untuk memeriksa kembali seluruh sistem pendidikan, dan sistem masyarakat berkelas yang menjadi sandarannya. Tiba waktunya untuk menimbang kembali kesahihan dari pembagian umat manusia menjadi "pemikir" dan "pekerja", bukan dari sudut pandang keadilan moral, melainkan sekedar karena ia kini telah menjadi satu penghalang bagi perkembangan kebudayaan dan masyarakat. Perkembangan umat manusia di masa datang tidak dapat didasarkan pada pembagian kaku macam ini. Teknologi baru yang kompleks menuntut satu angkatan kerja yang terdidik, yang mampu melakukan pendekatan yang kreatif terhadap pekerjaannya. Hal ini tidak akan pernah tercapai dalam masyarakat yang terpecah di tengah oleh pembedaan kelas. Dalam sebuah kutipan yang sangat perseptif, Margaret Donaldson menunjukkan situasi yang tidak memuaskan yang ada di universitas-universitas kita saat ini:
"Lihatlah fakultas teknik di universitas kita. Mereka mengajarkan matematika dan fisika, dan mereka memang harus mengajarkan itu. Tapi mereka tidak mengajarkan orang untuk membuat sesuatu. Anda dapat lulus dari teknik mesin tanpa pernah menggunakan mesin giling. Hal-hal ini hanya dianggap cocok untuk para teknisi. Dan bagi kebanyakan dari mereka, di pihak lain, matematika dan fisika yang lebih tinggi dari level dasar biasanya jauh dari jangkauan."
Filsuf dan ahli pendidikan Inggris Alfred North Whitehead sangat kuatir dengan situasi macam ini, dan, dalam artikelnya Technical Education and its Relation to Science and Literature, menulis bahwa "dalam mengajar, Anda akan segera sampai pada kegalauan segera setelah Anda melupakan bahwa murid-murid Anda memiliki tubuh," dan menambahkan: "Adalah satu point yang dapat diperdebatkan apakah tangan manusia telah menciptakan otak yang kini dimilikinya, atau otak itu yang menciptakan tangan. Yang jelas hubungannya sangat erat dan dua-arah."
Donaldson dengan tepat menunjukkan bahwa, walaupun pemikiran abstrak (ia menyebutnya "pemikiran tanpa tubuh") menuntut kemampuan untuk keluar dari kehidupan, ia akan membuahkan hasil terbaik jika terkait dengan pekerjaan. Seluruh sejarah Pencerahan adalah bukti dari pernyataan ini. Benar, bidang-bidang ilmu pengetahuan modern telah berkembang jauh lebih luas daripada apa yang ada masa itu, tapi apakah itu berarti bahwa mustahil bagi para ilmuwan untuk belajar dari disiplin yang lain? Ketimbang merupakan satu hasil dari semakin rumitnya subjek penelitian, bukankah keadaan pembedaan intelektual yang terjadi sekarang merupakan hsil dari cara masyarakat masa kini disusun, dan sikap, prasangka, dan kepentingan material yang mengalir dari susunan itu, dan berusaha dengan segala cara untuk memerrptahankan dirinya?
Kaum reaksioner berusaha membenarkan keadaan yang sekarang terjadi ini dengan apa yang kini menjadi rujukan wajib, determinisme genetik: jika beberapa dari "kami" pintar, dan memiliki pekerjaan yang baik dan gaji yang tinggi, itu karena kami dilahirkan di bawah bintang keberuntungan (baca: "dengan gen yang tepat" - sama saja hasilnya). Fakta bahwa sebagian besar umat manusia tidaklah sedemikian beruntung pastilah karena ada sesuatu yang salah dengan gen mereka. Menjawab sampah ini, Donaldson menulis:
"Apakah hanya beberapa dari kita yang mampu bergerak keluar dari ikatan indera manusia dan bekerja dengan sukses dari sana? Saya meragukan hal itu. walaupun mungkin masuk nalar jika kita mempostulatkan bahwa kita masing-masing memiliki satu 'potensi intelektual' yang ditentukan secara genetik, di mana satu orang pasti akan berbeda dengan yang lain, tidak ada alasan untuk menganggap bahwa kebanyakan dari kita - atau siapapun dari kita - tidak akan dapat mewujudkan apa yang sebenarnya kita mampu lakukan. Dan bahkan tidaklah pasti bahwa akan masuk nalar jika kita berpikir mengenai sebuah limit atas apapun. Karena, seperti yang ditunjukkan Jerome Bruner, terdapatlah alat-alat bagi otak sebagaimana alat-alat bagi tangan - dan dalam tiap kasus perkembangan dari alat baru yang kuat akan membawa satu kemungkinan untuk menyingkirkan batas-batas itu. Dengan cara yang mirip, David Olson mengatakan: 'Kecerdasan bukanlah satu milik kita yang tidak dapat berubah; itu adalah sesuatu yang kita pelihara dengan bekerja melalui teknologi, atau sesuatu yang dapat kita ciptakan dengan menciptakan teknologi baru."[viii]
Ahli pendidikan besar Sovyet, Vygotsky, tidak percaya bahwa para guru harus menerapkan kontrol yang ketat tentang apa persisnya yang harus dipelajari anak. Seperti Piaget, ia menganggap aktivitas seorang anak sebagai titik pusat pendidikan. Bukannya merantai anak pada meja belajar, mereka secara mekanik dilewatkan pada gerak pembelajaran atas hal-hal yang tidak mereka pahami. Vygotsky menekankan kebutuhan untuk sebuah perkembangan intelektual yang sejati. Namun, hal ini tidak dapat dianggap terjadi dalam satu kehampaan sosial. Dalam sebuah masyarakat sosialis yang sejati, pendidikan akan dihubungkan dengan aktivitas praktis yang kreatif sejak awalnya, dengan demikian meruntuhkan tembok pembodohan yang memisahkan kerja mental dan manual. Dalam banyak cara, Vygotsky berada jauh di depan masanya. Metode pendidikannya menunjukkan imajinasi yang luar biasa, contohnya, dalam mengijinkan anak belajar dari satu sama lain:
"Vygotsky menganjurkan penggunaan seorang anak yang lebih maju untuk membantu anak yang kurang maju. Untuk waktu yang lama, metode ini digunakan sebagai basis pendidikan egalitarian Marxis di Uni Sovyet. Dasar pemikiran sosialisnya adalah bahwa semua anak bekerja bersama untuk kebaikan bersama, bukan seperti di bawah masyarakat kapitalis di mana tiap anak saling bersaing untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya dari sekolah tanpa memberikan sesuatupun kepadanya. Anak yang lebih cerdas membantu masyarakat dengan membantu anak yang kurang cerdas, karena yang disebut belakangan ini akan (diharapkan demikian) lebih menjadi aset bagi masyarakat jika ia menjadi seorang dewasa yang berpendidikan ketimbang yang tidak berpendidikan. Vygotsky berpendapat bahwa tindakan ini tidak perlu merupakan tindakan pengorbanan diri dari anak yang lebih maju itu. Dengan menjelaskan dan membantu anak lain, ia mungkin mendapatkan pemahaman eksplisit yang lebih besar akan apa yang telah ia pelajari sendiri, sejalan dengan jalur metakognitifnya. Dan, dengan mengajarkan satu topik, ia mengkonsolidasikan hasil pembelajarannya sendiri."[ix]
Satu masyarakat yang sosialis dan demokratik akan menghilangkan pembedaan antara kerja mental dan kerja manual melalui peningkatan umum atas tingkat kebudayaan masyarakat. Hal ini terkait erat dengan pengurangan hari dan jam kerja sebagai konsekuensi dari satu perencanaan produksi yang rasional. Pendidikan akan diubah dengan mengkombinasikan antara pembelajaran dengan aktivitas kreatif dan permainan. Perkembangan segala jenis teknologi baru akan digunakan sepenuhnya. Virtual reality, yang pada saat ini baru merupakan satu khayalan, memiliki potensi yang amat besar, bukan hanya untuk produksi dan desain, melainkan juga bagi pendidikan. Alat ini akan membuat pelajaran menjadi hidup, merangsang imajinasi dan kreativias anak, bukan hanya dapat mengalami sendiri pelajaran dari sejarah, tapi juga untuk mempelajari teknik mesin, atau bagaimana melukis dan memainkan instrumen musik. Kebebasan dari perjuangan yang memalukan untuk memenuhi kebutuhan hidup, akses terhadap kebudayaan dan waktu untuk mengambangkan diri menjadi manusia sepenuhnya, ini adalah dasar di mana umat manusia dan masyarakatnya, pada akhirnya, akan dapat mewujudkan potensinya yang sejati.
Umat Manusia dan Jagad Raya
"Ia mengatakan, 'Apa itu waktu? Biarkan Masa Kini dimakan anjing dan kera! Manusia memiliki Selama-lamanya.'" (Robert Browning, A Grammarian's Funeral.)
Pencapaian-pencapaian dari program antariksa Sovyet dan Amerika telah menunjukkan secuil saja dari apa yang mungkin kita lakukan kelak. Tapi program antariksa dari kedua adidaya ini sesungguhnya adalah hasil dari perlombaan senjata sepanjang Perang Dingin. Sejak keruntuhan Uni Sovyet, masalah perjalanan antariksa tidak lagi menempati pusat panggung, sekalipun tetap ada kemungkinan untuk membangun satu stasiun antariksa yang mengorbit bumi, yang akan membuat perjalanan ke bulan lebih mudah. Di masa datang, di tengah persemakmuran sosialis dunia, perjalanan antariksa akan melompat keluar dari buku-buku fiksi ilmiah ke dunia nyata, sama jamaknya dengan perjalanan udara saat ini. Penjelajahan tata-surya, dan kelak mungkin atas galaksi lain, akan merupakan sejenis tantangan dan rangsangan bagi umat manusia sejajar dengan yang pernah terjadi di Eropa sejak ditemukannya benua Amerika.
Kemungkinan perjalanan antariksa jarak jauh di luar batasan tata surya kita sendiri tidak akan selamanya terpenjara di buku-buku fiksi ilmiah. Janganlah kita lupakan bahwa hanya seratus tahun lalu ide tentang perjalanan yang lebih cepat daripada suara hanyalah sesuatu yang tidak dapat dipercaya, apalagi terbang ke bulan. Sejarah umat manusia secara umum, dan yang terjadi 40 tahun terakhir khususnya, menunjukkan bahwa tidak ada masalah yang terlalu besar sehingga tidak dapat diselesaikan manusia, cepat atau lambat.
Dalam waktu sekitar empat milyar tahun dari sekarang, matahari kita akan mulai membengkak, sejalan dengan menyusutnya inti helium di dalamnya. Planet-planet di dekatnya akan diterpa oleh panas yang luar biasa. Kehidupan di bumi akan mustahil, karena laut akan mendidih, dan atmosfer dihancurkan. Namun, akhir dari kehidupan di satu sudut jagad bukanlah berarti kata tamat telah ditorehkan. Bahkan ketika matahari kita mati, lain-lain bintang akan dilahirkan. Di antara milyaran galaksi di jagad teramati, terdapat sejumlah besar matahari dan planet seperti tata surya kita yang memiliki kondisi yang tepat untuk berkembangnya kehidupan. Tidak diragukan lagi, banyak di antaranya yang dihuni oleh bentuk-bentuk kehidupan yang maju, termasuk mahluk yang dapat berpikir seperti kita. Hanya sedikit ilmuwan yang meragukan hal ini sekarang, dan lebih sedikit lagi setelah ditemukan bahwa molekul-molekul rumit yang dibutuhkan untuk menciptakan organisme hidup ternyata terdapat pula di antariksa itu sendiri.
Pada bagian akhir Dialectics of Nature, Engels menyatakan satu optimisme yang berkobar-kobar mengenai masa depan kehidupan:
"Kehidupan adalah satu siklus kekal di mana materi bergerak, satu siklus yang baru menyelesaikan orbitnya dalam rentang waktu di mana tahun kita bukan merupakan alat yang cukup untuk mengukurnya, satu siklus di mana waktu untuk perkembangan yang tertinggi, waktu untuk kehidupan organik dan terlebih lagi waktu untuk mahluk hidup yang dapat menyadari alam dan dirinya sendiri, menemukan perwujudannya; satu siklus di mana tiap cara mengada materi yang bersifat berhingga, apakah itu matahari atau gas nebular, seekor hewan atau satu genus hewan, senyawa kimia atau penguraiannya, sama-sama bersifat sementara, dan di mana tidak ada yang kekal kecuali materi itu sendiri, yang selamanya berubah, selamanya bergerak dan hukum-hukum yang mengatur pergerakan dan perubahan itu.
"Namun, berapa seringpun, dan berapa teguhpun, siklus ini dijalankan dalam ruang dan waktu; berapa milyarpun matahari-matahari dan bumi-bumi yang lahir dan mati, berapa lamapun mereka ada sebelum, dalam satu tata surya dan satu planet tertentu, muncul satu kondisi untuk berkembangnya satu kehidupan organik; betapa banyakpun mahluk organik yang bangkit dan punah sebelum hewan dengan otak yang sanggup berpikir muncul dari tengah mereka, dan untuk rentang waktu yang singkat menemukan kondisi yang cocok untuk hidupnya, sebelum dimusnahkan tanpa ampun pula di kemudian hari - kita memiliki kepastian bahwa materi akan tetap sama dalam tiap perubahan yang dialaminya, bahwa tidak satupun dari ciri-ciri yang dikandungnya akan hilang, dan dengan demikian, juga, dengan hukum besi yang sama, pasti akan menghasilkan lagi, di lain tempat dan di lain waktu, satu siklus yang sama."[x]
Namun, kini kita diwajibkan untuk melangkah lebih maju daripada ini. Kemajuan ilmu pengetahuan yang menakjubkan seratus tahun setelah wafatnya Engels berarti bahwa kematian matahari tidaklah harus berarti kematian umat manusia. Perkembangan pesawat antariksa yang kokoh, yang mampu melakukan perjalanan dengan kecepatan yang kini masih dianggap mustahil, dapat menyiapkan landasan bagi petualangan terakhir umat manusia, termasuk emigrasi ke bagian lain tata surya, dan akhirnya, lain galaksi. Bahkan dengan kecepatan satu persen kecepatan cahaya - satu hal yang sangat mungkin dicapai - akan dimungkinkan untuk mencapai planet yang dapat dihuni dalam rentang beberapa ratus tahun.
Jika ini dirasa sebagai waktu yang sangat lama, kita harus ingat bahwa manusia-manusia pertama membutuhkan jutaan tahun untuk mengkolonisasi seluruh dunia, berangkat dari Afrika. Lebih jauh lagi, perjalanan ini mungkin akan berlangsung dalam beberapa tahapan, membangun koloni-koloni dan pos perhentian di sepanjang jalan, seperti para pelayar Polinesia mengkolonisasi Pasifik, pulau demi pulau, selama beberapa abad. Masalah teknologinya akan sangat besar, tapi kita memiliki setidaknya tiga milyar tahun untuk memecahkan hal itu. Jika kita mengingat bahwa Homo sapiens baru ada sekitar 100.000 tahun, bahwa peradaban baru berumur 5.000 tahun, dan bahwa kecepatan perkembangan teknologi selalu cenderung meningkat semakin lama semakin cepat, tidak ada alasan apapun untuk menarik kesimpulan-kesimpulan pesimistik tentang masa depan umat manusia - dengan satu syarat: bahwa penguasaan kelas, sisa barbarisme yang menjijikkan itu, digantikan oleh sistem kerja sama dan perencanaan, yang akan menyatukan seluruh sumberdaya yang ada bumi bagi satu tujuan bersama.
Engels menggambarkan sosialisme sebagai lompatan umat manusia dari alam keharusan ke dalam alam kebebasan. Untuk pertama kalinya, akan dimungkinkan bagi mayoritas umat manusia untuk meloloskan diri dari perjuangan yang memalukan sekedar untuk bertahan hidup, dan mengangkat pandangan mereka ke tingkat yang lebih tinggi. Pelenyapan penyakit, kebutahurufan, dan kegelandangan, yang dengan sendirinya merupakan tujuan yang penting, hanyalah akan menjadi titik berangkat bagi umat manusia. Dengan menggabungkan seluruh sumberdaya di planet ini, yang kini tanpa tahu malu disia-siakan oleh kaum kapitalis, umat manusia akan secara eksplisit menggapai bintang-bintang.
Last, but not least, umat manusia akan pada akhirnya menjadi tuan atas dirinya sendiri, kehidupannya, nasibnya, bahkan susunan genetiknya. Hubungan antara laki-laki dan perempuan akan menjadi hubungan di antara manusia bebas, bukan budak. Aristoteles menunjukkan bahwa manusia akan mulai berfilsafat ketika kebutuhan hidupnya telah terpenuhi. Pemikir besar itu paham bahwa perkembangan kebudayaan sangat terkait erat dengan kondisi material kehidupan. Dalam sebuah kutipan yang benar-benar luar biasa, ia menunjukkan bagaimana laki-laki dan perempuan mulai berfilsafat, mengabdikan hidup mereka untuk mengejar pengetahuan demi manfaat mereka sendiri, hanya bila mereka dibebaskan dari kebutuhan untuk berjuang memenuhi kebutuhan dasar hidup mereka:
"Hal ini ditunjukkan oleh jalannya peristiwa yang benar terjadi: karena filsafat hanya muncul ketika keperluan dan kenyamanan mental dan fisik dari kehidupan telah terpenuhi. Jelas bahwa dengan demikian Kebijaksanaan dicari bukan untuk keuntungan yang intrinsik terkandung di dalam dirinya sendiri, karena sebagaimana kita dapat menyebut seeseorang sebagai orang yang bebas jika ia ada untuk dirinya sendiri dan bukan untuk kepentingan orang lain, demikian juga hanya filsafatlah ilmu yang bebas karena hanya ia yang dicari untuk kepentingannya sendiri."[xi]
Selama seluruh sejarah peradaban sampai hari ini, kebudayaan telah menjadi monopoli dari minoritas kecil. Dalam sebuah masyarakat sosialis yang demokratik sepenuhnya, akan dimungkinkan untuk menjamin satu pengurangan umum hari dan jam kerja, dan peningkatan standard hidup bagi tiap orang berdasarkan peningkatan produksi secara besar-besaran. Setelah dibebaskan dari tekanan kebutuhan hidup, manusia, laki-laki dan perempuan akan dapat mengabdikan dirinya pada perkembangan sepenuhnya dan seluruhnya atas kepribadian mereka, intelektual maupun fisik. Seni, sastra, musik, ilmu pengetahuan dan filsafat akan menempati posisi yang sejajar dengan partai politik pada saat ini.
Berdasarkan perekonomian terencana yang dijalankan secara demokratik sepenuhnya, potensi raksas dari ilmu dan teknologi dapat ditempatkan sebagai alat bantu bagi manusia. Pada seratus tahun terakhir, perbaikan gizi dan pelayanan kesehatan telah menggandakan angka harapan hidup di banyak negeri industri maju. Perkembangan lebih lanjut atas gaya hidup dapat memperpanjang usia lebih jauh lagi. Mengalami kehidupan aktif lebih dari seratus tahun akan menjadi satu hal yang jamak. Penggunaan yang tepat atas rekayasa genetika mungkin malah akan dapat memungkinkan para ilmuwan untuk melawan proses penuaan itu sendiri dan memperpanjang hidup jauh di luar apa yang dianggap "rentang usia alami manusia". Kemungkinan yang terbuka bagi masa depan manusia tidaklah terbatas.
"Unsur membabi-buta telah memancangkan dirinya paling kukuh dalam hubungan-hubungan ekonomi, tapi manusia juga sedang mengusir unsur itu keluar dari sana, melalui organisasi Sosialis yang mengatur kehidupan ekonomi. Hal ini memungkinkan untuk merekontruksi secara mendasar kehidupan berkeluarga. Akhirnya, 'sifat dasar manusia' itu sendiri akan dibuang ke wilayah kesadaran yang paling dalam dan gelap, di paling dasar, di bawah tanah. Apakah bukan sesuatu yang self-evident bahwa upaya-upaya terbesar dalam pemikiran investigatif dan inisiatif kreatif akan menuju ke arah sana? Umat manusia tidak akan lagi diharuskan untuk merangkak di depan Tuhan, atau raja, atau kapital, untuk sekedar menyerah dengan pasrah di hadapan hukum-hukum gelap hereditas dan seleksi seksual yang membabi-buta! Manusia yang terberdayakan akan butuh untuk mendapatkan satu kesetimbangan yang lebih tinggi dalam kerja-kerja organ tubuhnya dan satu perkembangan dan keausan yang lebih seimbang atas urat tubuhnya, supaya dapat mereduksi ketakutan akan kematian menjadi sekedar reaksi alami dari satu organisme terhadap satu bahaya. Tidak ada keraguan bahwa ketidakharmonisan yang ekstrim dari fisiologi dan anatomi manusia, yaitu ketidakseimbangan yang ekstrim antara pertumbuhan dan keausan urat tubuh, memberi satu nasluri dalam bentuk ketakutan yang menekan, gelap dan histeris, yang memenjarakan nalar dan yang merupakan bahan bakar bagi khayalan-khayalan memalukan dan bodoh mengenai kehidupan setelah kematian.
"Manusia akan menetapkan penguasaan terhadap perasaannya sendiri sebagai tujuannya, untuk meningkatkan nalurinya ke ketinggian kesadaran, untuk membuat mereka menjadi tembus pandang, untuk memperluas jangkauan kemauannya sampai menerobos celah-celah yang tersembunyi, dan dengan demikian mengangkat dirinya ke ketinggian yang baru, untuk menciptakan jenis sosio-biologis yang baru, atau jika Anda suka, seorang superman.
"Sangat sulit untuk meramalkan jangkauan dari self-government yang kelak akan dicapai manusia atau ketinggian tingkat teknologinya. Bangunan sosial dan pendidikan fisik dan kejiwaannya akan menjadi dua aspek dari proses yang satu dan sama. Semua seni - sasra, drama, lukisan, musik dan arsitektur akan memberi bentuk yang indah bagi proses ini. Lebih tepatnya, kerangka yang akan membungkus bangunan sosial dan pendidikan masyarakat Sosialis, akan mengembangkan semua unsur vital dari seni kontemporer sampai tingkatannya yang tertinggi. Manusia akan menjadi lebih serasai, pergerakannya lebih berirama, suaranya lebih musikal. Bentuk-bentuk kehidupan akan menjadi dinamis secara dramatik. Jenis manusia rata-rata akan dapat mencapai tingkatan seorang Aristoteles, seorang Goethe, atau seorang Marx. Dan di atas batas baru ini, puncak-puncak yang baru juga akan bermunculan."[xii]
[1] Primae noctis - secara harafiah berarti "malam pertama", adalah satu hak dari para penguasa feudal untuk menjadi orang pertama yang tidur dengan pengantin perempuan dari seorang hambanya yang baru menikah. Apakah pengantin perempuan itu berasal dari luar tanahnya atau bukan, itu bukan masalah, karena toh, setelah ia menikah perempuan itu akan menjadi milik suaminya. Dan suaminya adalah milik sang tuan. Jika ada perempuan hamba dari tanah itu yang menikah dengan hamba dari penguasa feudal lain, hak primae noctis jatuh pada penguasa lain itu. Pemahaman atas hak ini mulai tumbuh subur di Eropa setelah dinasti Karolingia, di awal Abad Pertengahan. Mengenai asal-usul hak ini, bacalah karya Engels, The Origin of Family, Private Property and State. [Penerjemah.]
[2] Belakangan ini banyak sekali buku yang beredar di pasaran, yang menyejajarkan bisnis dengan kemiliteran, seperti yang menerangkan bagaimana menerapkan taktik Sun-Tzu dalam bisnis. Nampak jelas bahwa kebohongan juga telah dianggap sebagai semacam seni di dunia bisnis. [Penerjemah.]
[3] Gereja Katolik Abad Pertengahan (bahkan sampai saat ini) mengenal tradisi "Tujuh Dosa Maut" - the seven deadly sin, yang katanya tidak akan terampuni sampai akhir jaman. Kalau seseorang melakukan salah satu dari dosa-dosa ini, Tuhan tidak akan mempedulikan semua kebaikan yang pernah dibuatnya, melainkan akan langsung memasukkannya ke dalam neraka. [Penerjemah.]
[4] The Ring of Niebelungen - salah satu komposisi opera ciptaan Wagner, yang dianggap sebagai salah satu karya musik terumit yang pernah diciptakan manusia. Ring mengambil suasana Nordik kuno sebagai latar belakang musik dan liriknya. Telah banyak orkestra yang mencoba membawakan komposisi ini, dan selalu ini mereka anggap sebagai salah satu puncak pembuktian kemampuan mereka sebagai musisi, tapi juga selalu para kritikus menemukan ketidakpuasan atas interpretasi yang telah dibuat atas karya ini. [Penerjemah.]
[5] Fusi nuklir adalah sebuah proses digabungkannya dua inti atom radioaktif. Dalam peleburan ini, massa dari atom hasil penggabungan selalu lebih kecil dari total massa kedua atom yang digabungkan. Selisih massa itu berubah menjadi enerji. Contoh dari reaksi fusi adalah penggabungan deuterium dan tritium. Jika satu ton deuterium dileburkan dengan satu ton tritium, enerji yang akan dihasilkan adalah 8.4 x 1020 joules. Ini setara dengan enerji yang dihasilkan oleh pembakaran 29.000.000.000 ton batu bara. Proses fusi nuklir adalah sumber enerji yang menghidupi bintang-bintang, termasuk matahari kita. [Penerjemah.]
[i] W. Rees-Mogg dan J. Davidson, The Great Reckoning, How the World Will Change in the Depression of the 1900s, pp. 294-5, 183 dan 273.
[ii] J. K. Galbraith, The Culture Contentment, pp. 170-1.
[iii] MESW, Vol. 1, pp. 114-5.
[iv] MECW, Vol. 4, p. 274.
[v] Trotsky, Their Morals and Ours, p. 13.
[vi] Marx, Grundrisse, p. 111.
[vii] Dikutip dalam Gleick, op. cit., pp. 116-7.
[viii] M. Donaldson, Children's Minds, pp. 83 dan 85.
[ix] P. Sutherland, Cognitive Development Today: Piaget and his Critics, p. 45.
[x] Engels, The Dialectics of Nature, p. 54.
[xi] Aristoteles, op. cit., p. 55.
[xii] Trotsky, Literature and Revolution, p. 255-6.