Indonesian translation of Indonesia: the Asian Revolution Has Started by Ted Grant and Alan Woods (May 22, 1998)
Berita pengunduran diri Soeharto telah mengguncang dunia layaknya ledakan bom. Selama tiga puluh dua tahun, setelah meraih kekuasaan dengan melangkahi mayat lebih dari sejuta orang, Tiran yang berlumuran darah ini memerintah Indonesia dengan tangan besi. Sekarang ia telah dihempas seperti sehelai daun kering di tengah badai. Gerakan massa yang menakjubkan, yang terdiri atas para mahasiswa dan buruh pekerja, telah meraih kemenangan besar. Sampai menit terakhir, Soeharto masih memegang kukuh kekuasaannya, mengancam akan terjadinya kolam darah jika massa terus tidak mau mematuhinya. Tetapi saat kebenaran muncul, itulah saat seluruh bangunan besar represi runtuh, kolaps seperti rapuhnya rumah-rumahan kartu saat berhadapan dengan kebangkitan rakyat banyak. Ini awal sebuah revolusi. Mirip seperti tahun 1931, saat monarki Spanyol diruntuhkan lalu diproklamasikan berdirinya Republik Spanyol. Hal ini membuka pintu air bagi datangnya banjir bandang revolusi. Indonesia saat ini memasuki jalan yang sama.
Kejadian-kejadian di Indonesia telah menimbulkan kejutan di dunia kapitalisme Internasional. Tepat pada saat semua terlihat indah bagi kaum Borjuis, krisis di Asia menyerang dengan kekuatan menghancurkan dari sebuah puting beliung tropis. Sekarang krisis ekonomi telah menampakkan dirinya dalam wujud sosial dan politik. Seperti biasa, media massa mencoba menutupi keadaan yang sebenarnya dengan melukis gambaran mengenai chaos dan anarki. Tetapi, di antara mereka sendiri, para penyusun strategi kapitalis mengetahui bahwa apa yang muncul di Indonesia bukan semata kerusuhan. Itu awal dari sebuah revolusi. Adalah penting bahwa setiap pekerja dan buruh yang memiliki kesadaran mengetahui benar apa yang tengah terjadi di negara kunci di Asia ini.
Untuk beberapa bidang, kaum borjuis hanya bisa menyalahkan diri mereka sendiri atas apa yang terjadi baru-baru ini. Berpuluh tahun mereka telah menjarah perekonomian Asia, Afrika, dan Amerika Latin, memaksa negara-negara di sana untuk membuka diri terhadap perusahaan-perusahaan raksasa multinasional dan terhadap imperialisme, menurunkan tarif mereka, memaksa mereka menjual industri dan perangkat mereka dengan harga yang menyedihkan. Harga bahan baku yang merupakan ekspor utama negara-negara itu ditekan serendah mungkin sementara harga dari komoditas dan mesin-mesin yang merupakan ekspor negara-negara yang lebih maju dari Dunia Ketiga itu secara konstan terus bertambah. Jumlah hutang negara-negara bekas jajahan telah mencapai posisi melangit dan tak akan pernah dapat dilunasi. Bunga hutang yang mematikan telah menghancurkan perekonomian mereka. Lalu polisi internasional dari dunia kapitalis, yaitu IMF dan Bank Dunia, mengawasi seperti rajawali bertengger untuk memastikan bahwa tiap sen hutang itu terbayar, atas penderitaan akibat sanksi-sanksi yang pedih. Jadi, imperialisme dunia telah menempatkan dua per tiga populasi dunia ke dalam angka-angka kelaparan.
Keserakahan kaum borjuis disertai oleh berlusin-lusin kebodohan. Mereka percaya bahwa pawai gemerlap dari pengerukan uang ini akan berlangsung selamanya. Mereka telah menemukan batuan kimiawi yang bisa merubah logam dasar menjadi emas. Fakta bahwa emas ini terbentuk dari darah, keringat, dan air mata berjuta-juta orang paling miskin dan paling tertindas di muka bumi, adalah hal yang mereka abaikan begitu saja. Para lintah darat ini hanya tertarik untuk meraup keuntungan maksimum dengan bayaran yang minimum, dan peduli setan dengan segala macam konsekuensi. Tetapi kekejaman yang menekan orang-orang di Asia, Afrika, dan Amerika Latin telah membangun kontradiksi-kontradiksi tak terpecahkan selama berpuluh tahun. Kini tibalah saatnya perhitungan dilakukan.
Kejadian-kejadian di Indonesia membuat mereka terlongong bengong. Mereka berusaha membuat diri mereka nyaman dengan pikiran bahwa ini "cuma kerusuhan belaka". Hal itu terpaksa mengingatkan orang kepada raja Perancis tahun 1789, saat ia bertanya pada salah seorang punggawanya apakah yang berada di luar (istananya) adalah suatu kerusuhan dan ia mendapat jawaban, "Bukan, Baginda, itu revolusi." Kedunguan macam itu adalah tipikal dari kelas yang diruntuhkan, yang menolak untuk percaya bahwa demikianlah yang telah dituliskan untuk sistemnya. Di Zimbabwe dan Tanzania telah timbul kerusuhan akibat provokasi tak berperikemanusiaan dari IMF. Itu sudah merupakan sebuah peringatan bahwa kesabaran massa telah mencapai limitnya. Namun kejadian-kejadian di Indonesia berbeda secara kualitatif. Bukan semata kerusuhan-kerusuhan, tetapi awal mula dari sebuah revolusi yang tidak akan terpatahkan dalam bilangan bulan dan tahun, serta akan mengguncang Asia dan dunia. Dalam waktu semalam dunia "menemukan" bahwa Soeharto adalah seorang diktator yang berlumuran darah, yang telah menjagal jutaan orang. Kaum imperialis meremas tangan mereka dan menghimbau untuk adanya demokrasi dan perdamaian, tetapi ini sepenuhnya merupakan lelucon hipokrit. Dunia Barat telah mengetahui siapa Soeharto secara keseluruhan, dan telah pula mendukungnya bermegah-megah. Tahun 1965, ketika Soeharto mencapai kekuasaan dengan melewati timbunan lebih dari sejuta mayat kaum Komunis, publik Barat menoleh ke arah lain, tetapi secara diam-diam memberi selamat terhadap pembantaian itu dan aktiv berpartisipasi di dalamnya. CIA memberikan nama dan alamat semua kaum Komunis dan simpatisannya yang diketahui kepada militer di Indonesia, nama orang-orang yang kemudian dibunuh. Lebih dari tiga puluh tahun Wall Street dan City of London membiayai pembunuhan massal ini tanpa sedikitpun rasa cemas menyusupi nurani mereka. Pemerintahan-pemerintahan Barat --termasuk, alangkah memalukan!, pemerintahan Partai Buruh yang sekarang berkuasa di London-- terus menjual senjata dan perlengkapan keamanan ke Jakarta. Meskipun bantuan militer Amerika Serikat telah dihentikan sejak 1992, Pentagon telah mengadakan latihan bersama dengan pasukan elit militer Indonesia di bawah program JCET (Joint Combined Exchange and Training). Sejak 1993 Angkatan Bersenjata AS telah mengadakan 41 latihan bersama dalam program JCET dengan ABRI, seharga 3,4 juta dolar. Apa hal ini menjadi persoalan selama uang mengalir masuk? Peribahasa Jerman mengatakan, "uang tidak berbau". Soeharto adalah penjaga stabilitas dan stabilitas, sebagaimana setiap orang akan mengatakan kepada Anda, adalah syarat pertama untuk menghasilkan uang secara serius. Pembunuhan terhadap lebih dari sejuta orang, para wanita dan anak-anak hanyalah sebuah detilitas kecil, adalah hal yang lebih jauh dapat dibenarkan dalam lapangan ekonomis. Ini memulihkan martabat "orde", sekalipun orde yang tegak di atas pekuburan. Semua kelihatan menyenangkan bagi hamba-hamba uang di London dan New York. Hingga sekarang.
KAPITALISME KRONI
Ledakan yang terjadi di Indonesia bukanlah sesuatu tanpa asal. Hal itu bahkan bukan merupakan akibat kolaps ekonomi yang baru terjadi di Asia, meskipun krisis Asia tak dapat disangkal telah menjadi katalis yang kuat. Apa yang terjadi di Indonesia merupakan akumulasi dari kontradiksi yang tak terpecahkan selama puluhan tahun. Seperti semua macan ekonomi lain, Indonesia dijadikan contoh cemerlang dari apa yang dapat dicapai oleh kapitalisme terhadap negara yang dulunya terbelakang. Pada kenyataan sesungguhnya, penanaman modal asing dalam jumlah besar tidak memecahkan satupun masalah fundamental dalam masyarakat Indonesia, tetapi malah memperparahnya. Apa yang telah dilakukan modal asing sebenarnya malah memperkuat kelas menengah, yaitu kelas pekerja, satu-satunya kekuatan yang benar-benar dapat menunjukkan jalan keluar dari kebuntuan dan membawa sebuah transformasi masyarakat yang progresif dan menyeluruh.
Sama halnya dengan seluruh kaum borjuis di negara-negara bekas jajahan, kaum borjuis Indonesia pada intinya curang dan korup. Golongan ini telah memperlihatkan ketidakmampuannya untuk mentransformasikan masyarakat Indonesia berdasarkan garis progresif. Setelah setengah abad dari apa yang dinamakan kemerdekaan, kaum ini tidak memecahkan satu pun problem dasar --problem agraria, problem nasional, modernisasi, demokrasi, bahkan kemerdekaan sejati tidak tercapai. Kaum borjuis Indonesia terlambat menapaki tahapan sejarah untuk memainkan sebuah peranan progresif. Lemah dan memburuk keadaannya, mereka hanya dapat memainkan peran pesuruh lokal bagi imperialisme asing. Perwujudan paling jelas dari hal ini adalah perampasan kekayaan negara oleh keluarga Soeharto dan antek-anteknya, yang memiliki dan mengatur sebagian terbesar perekonomian. Dengan demikian, dalam kondisinya yang berkelimpahan sumber daya alam, negara terpadat keempat populasinya di dunia ini telah direduksi untuk mengemis dan bergantung secara memalukan kepada belas kasihan IMF. Inilah hasil akhir dari setengah abad "kemerdekaan" kaum borjuis di Indonesia.
Selama 32 tahun keluarga Soeharto telah memerintah Indonesia seperti sebuah dinasti kerajaan atau, lebih tepatnya, seperti para bangsawan maling. Mereka memiliki bagian terbaik dari ekonomi yang mereka jarah tanpa kendali, memberi sebuah arti yang seluruhnya baru terhadap ungkapan "Keep it in the family". Presiden Soeharto dan keenam anaknya mempunyai jaringan kekayaan yang besarnya diperkirakan mencapai 40 milyar dollar Amerika, sama dengan setengah GNP Indonesia. Pengaruh mereka mencakup hampir semua aspek kehidupan di Indonesia: mereka mengontrol aset minyak dan listrik untuk pesawat terbang, mobil, jalan tol, dan media massa. Sigit Harjojudanto, putra tertua Soeharto, bersama Bambang memiliki sebagian besar sektor petrokimia. Bambang Trihatmojo, putra ketiga, mengontrol bank Andromeda (25 persen saham), memiliki kelompok PT Bimantara Citra yang mengatur stok pasar Jakarta, dan di waktu senggangnya mejadi bendahara Golkar, "partai" yang berkuasa. Dia juga memiliki saham di bidang perkapalan di Osprey Maritime dan memilkiki andil 75 persen saham lahan petrokimia Chandra Asri. Si Bobrok Hutomo (Tommy) Mandala Putra memiliki Bank Utama secara join dengan Siti Hutami, menjalankan proyek mobil nasional Timor dan PT Timor Putra Nasional. Dia juga membangun serta mengontrol Grup Humpuss, dan juga PT Humpuss Intermoda Transportasi. Tambah lagi dia menjalankan perusahaan yang memonopoli cengkeh (sekarang sudah dibubarkan), dan memiliki kompanion Goro. Cukuplah ini dulu bagi para anak lelaki Soeharto. Namun demikian, para anak perempuannya pun tidak terlalu bertindak jelek. Siti Hardijanti Rukmana (Tutut), putri pertama presiden, mengontrol PT Citra Marga Nusaphala Persada yang mengoperasikan jalan tol, memiliki bank Yama, ketua komisi Golkar, sekaligus Menteri Sosial. Tutut membangun Grup Citra Lamtoro Gung dan bersama Sigit ia mempunyai andil atas 30 persen saham Bank Central Asia. Siti Hediati Harijadi Prabowo, puteri tengah memiliki 8 persen saham Bank Industri. Puteri bungsu, Siti Hutami Endang Adiningsih, hanya pemilik join dari Bank Utama, bersama Hutomo.
Inilah "kapitalisme kroni" dalam skala besar, di mana seluruh kekayaan yang amat besar dan potensial dari negara secara sistematis dicukur oleh klik Soeharto dan imperialisme asing. Kemarahan dan ketidakpuasan terhadap situasi negara yang begini perlahan bergolak menjangkiti semua kelas, tidak hanya pada kelas pekerja dan buruh tani, tetapi juga pada sejumlah besar kaum borjuis kecil dan para mahasiswa, menciptakan situasi yang secara potensial bersifat eksplosif. Untuk beberapa waktu lamanya hal ini ditutupi topeng pertumbuhan ekonomi yang menjanjikan prospek yang lebih baik. Tetapi krisis di Asia secara cepat sekali mereduksi mimpi-mimpi ini menjadi abu. Dalam waktu semalam ekonomi Indonesia jatuh ke dalam krisis. Rupiah jatuh hingga angka 11.000 per satu dolar. Bangkrutnya ekonomi secara cepat menjadi dasar kebangkrutan rezim.
Kejadian-kejadian di Indonesia haruslah dilihat dalam konteks keseluruhan krisis di Asia, yang secara khusus telah memukul Indonesia secara telak. Krisis di Asia telah menimbulkan dampak yang menghancurkan pada kerja, upah, dan standar hidup. Banyak buruh diberhentikan dari kerja mereka, sekarang berhadapan dengan prospek kenaikan harga bahan kebutuhan pokok. Juru bicara Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK) Sriwiyanti menandaskan bahwa para pemilik perusahaan menggunakan krisis ekonomi yang memburuk untuk membenarkan gelombang pekerja yang di PHK dan dirumahkan akhir-akhir ini. Dia menambahkan: "Tak usah ditanyakan bahwa krisis ini telah menggiring banyak perusahaan menjadi bangkrut, tetapi banyak perusahaan yang belum terpengaruh parah telah menggunakan isu ini untuk mencoret pekerja atas nama efisiensi," klaimnya. (The Jakarta Post, 5/5/98).
"Kenaikan harga diikuti pemberhentian jutaan pekerja, disebabkan kolapsnya perekonomian dan depresiasi rupiah. Kekacauan berkembang di seluruh negeri begitu pemerintahan Soeharto mengakhiri subsidi terhadap barang-barang kebutuhan pokok sesuai syarat-syarat yang ditetapkan IMF untuk paket bantuan ekonominya. (Sidney Morning Herald, 7/5/98.)
Kejatuhan rupiah sekitar 2.400 level terhadap dolar Juli lalu mendorong Indonesia ke dalam jurang kisis ekonomi terburuk sejak Soeharto mengambil alih kekuasaan pada pertengahan tahun 60-an. Inflasi dan pengangguran melonjak, sebagain besar industri bangkrut secara teknis, perdagangan mengalami kemacetan. Kenaikan harga bahan bakar sebagai bagian perjanjian dengan IMF, jelas menyebabkan terjadinya kesukaran di negara yang bergantung pada transportasi di antara 17.500 pulau yang terbentang sepanjang 5.000 kilometer (3.000 mil) di khatulistiwa. Diukur dalam dolar Amreika, pendapatan per kapita di Indonesia turun setidaknya 60% dalam 6 bulan terakhir. Hal ini tercermin dari makin banyaknya orang yang tak mampu membeli bahan kebutuhan pokok semenjak harga melangit. Harga sembako, termasuk di dalamnya minyak goreng, naik 20%. Penimbunan membuat beberapa jenis barang menjadi langka, termasuk beras. Menghadapi gelombang panik pembelian besar-besaran, pemerintah terpaksa mengumumkan akan mengimpor setengah juta ton beras untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Tidak sepenuhnya benar bahwa yang bertanggungjawab atas ledakan ini adalah tindakan-tindakan IMF. Hal itu hanya letikan yang menyulut tong mesiu. Seperti yang pernah dikatakan Hegel, Keharusan (Necessity) menampilkan diri melalui kebetulan. Dengan atau tanpa syarat-syarat yang diajukan IMF, tetap akan terjadi erupsi. Landasannya telah disiapkan sepanjang periode sebelumnya. Naiknya harga beras, minyak goreng, dan lain-lain kebutuhan dasar adalah sumbu terakhir. Ketika rupiah jatuh pada nilai 10.000 terhadap dolar Amerika, IMF mengambil kesempatan untuk memaksa konsensus lebih lanjut pada pemerintahan Soeharto. Kehabisan akal memperbaiki stabilitas keuangan, Soekarto terpaksa menerima bahkan syarat-syarat yang lebih keras. Nota kesepakatan yang baru, yang ditandatangani IMF dan Soeharto pada tanggal 15 Januari, meningkatkan konsensus dalam dua sektor. Pertama, rezim telah harus setuju mengakhiri subsidi atas listrik dan BBM. Naiknya harga penyelenggaraan energi akan memimpin terjadinya inflasi dalam waktu panjang. Harga bahan bakar rata-rata naik sebesar 47%, dan listrik rata-rata naik sebesar 60%. Badan pengawas kesepakatan mengestimasikan inflasi akan terjadi sekurangnya 20% per tahun untuk beberapa tahun mendatang, meski dalam prakteknya angka itu bisa jadi lebih. Secara tidak proporsional beban terberat akan jatuh pada lapisan termiskin dari masyarakat. Kenaikan harga bahan bakar terutama memukul 50 juta rakyat miskin di Jawa. Sejak pembabatan hutan-hutan di pulau Jawa dan hilangnya kayu bakar, sebagian besar masyarakat bergantung pada minyak tanah untuk keperluan memasak makanan dan minuman.
Senin 4 Mei, terikat tekanan yang datang dari IMF, pemerintah Indonesia mengumumkan kenaikan tarif transportasi umum, hanya beberapa jam setelah sebelumnya mengumumkan kenaikan listrik dan BBM (bahan bakar minyak) sesuai dengan rekomendasi IMF untuk mengurangi subsidi bagi kedua komoditas tersebut. Inflasi tahunan mulai berjalan mendekati 30%, dengan lonjakan harga bulan April 4,7% lebih tingi dari bulan sebelumnya. Beberapa bahan bakar mengalami lonjakan harga hingga 71%, berdampak pada kenaikan tarif kereta api dan transportasi laut berkisar rata-rata 65,61%. Kenaikan tertinggi (100,72%) terjadi pada tarif kereta api kelas ekonomi, sementara tarif bis ekonomi antar-kota mengalami kenaikan sebesar 50%. Tarif bis reguler dan minibus, yang digunakan oleh sebagian besar masyarakat sehari-hari, naik sebesar 66,67% setelah diramalkan 50% --dari 300 rupiah menjadi 500 rupiah untuk bis dan 400 rupiah menjadi 600 rupiah untuk minibus. Tarif kereta api bertenaga diesel naik 72,96% sementara tarif kapal laut --yang sangat penting di negara yang terdiri atas ribuan pulau-- naik 53,33%.
Menteri Pertambangan dan Energi Kuntoro Mangkusubroto mengetahui bahwa lonjakan harga merupakan pukulan bagi publik, tetapi ia mengatakan bahwa keputusan tersebut adalah yang "terbaik" dari daftar pilihan yang "berat dan pahit". Megawati Soekarnoputri, tokoh pemimpin oposisi, menyalahkan pemerintah atas terjadinya lonjakan harga, ia mengatakan bahwa mereka telah menunjukkan bahwa administrasi Soeharto tidak menjangkau rakyat. Sejauh apa hal itu tidak menyentuh rakyat segera terkuak. Pilihan-pilihan yang "keras dan pahit" tadi segera menghasilkan akibat yang tidak bisa diantisipasi baik oleh pemerintah atau penyokong luar negerinya, tidak juga oleh para pemimpin oposisi yang borjuis. Terjadi ledakan spontan dan cepat. Kekerasan meletus segera setelah diumumkannya kenaikan harga bahan bakar dan tarif angkutan umum:
"Sekarang ini semua orang mengeluhkan harga," kata Yayah Syamsiah, 40 tahun, seorang penjual bakmi di Jakarta, ayah dari enam anak. 'Who Will Listen to Us? Ordinary people are Crying' (Associated Press, 5/5/98)
Sekali dimulai, secara cepat pergerakan memperoleh karakternya yang khas Indonesia. Di ibukota Sumatera Utara, Medan, kekacauan pecah hanya beberapa jam setelah pemerintah mengumumkan kenaikan tajam atas bahan bakar dan tarif angkutan, sejalan dengan tuntutan reformasi yang diajukan IMF. Selama terjadinya amuk massa, tercatat 170 toko dihancurkan atau dijarah dan dibakar di Medan, sementara 38 mobil dan 21 sepeda motor juga dibakar. Demikianlah menurut laporan kepolisian Sumatera Utara. Reaksi rezim terhadap kakacauan-kakacauan tersebut adalah memadamkannya dengan kekerasan.
Kedunguan dari para penyusun strategi kapitalis yang berkepala batu, dan ketidakpedulian sepenuhnya atas penderitaan rakyat, secara tajam dapat dilihat dari komentar yang dikeluarkan oleh Direktur Pelaksana IMF, Michael Camdessus, yang berbicara di Melbourne Australia sesaat setelah kerusuhan mulai. Ia menyatakan "keprihatinan mendalam" atas terjadinya kerusuhan tersebut, tetapi dengan kepuasan yang mengherankan ia djuga mengatakan behwa sebab sebenarnya dari ketidakpuasan rakyat adalah bukan kenaikan harga, melainkan problem manajemen ekonomi yang lebih mendalam yang telah menyebabkan terjadinya krisis sedari awal. Masih sama mengherankannya ia menambahkan bahwa kenaikan harga bahan bakar sebesar 71% yang menyebabkan terjadinya kerusuhan di Medan "sangat diperlukan bagi masa depan ekonomi negara", dan dia menandaskan bahwa Jakarta harus tetap melaksanakan program ekonomi ketat yang diajukan oleh IMF. Dia menyampaikan bahwa kenaikan harga bahan bakar adalah bagian dari persetujuan IMF dan Indonesia yang akan membawa perekonomian ke arah yang lebih berimbang. "Meskipun prihatin atas terjadinya (kerusuhan-kerusuhan) ini, kita harus tetap mengingat bahwa bukan program kami yang menjadi sebab sesungguhnya dari persoalan-persoalan ini," kata Camdessus. (Sidney Morning Herald, 6/5/98)
SEBUAH GERAKAN ANTI-CINA?
Satu gambaran yang disorot oleh media massa adalah penyerangan terhadap para pemilik toko etnis Cina. Bukan fenomena baru di Indonesia di mana etnis Cina, yang hanya berjumlah 3% dari penduduk Indonesia yang berjumlah 202 juta jiwa, mendominasi sektor komersil dan menguasai 80% dari 163 perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta. Hal ini telah lama menjadi target diskriminasi yang kadang-kadang meledak jadi kekerasan, diperburuk dengan kenyataan bahwa beberapa pengusaha Cina yang kaya adalah penyokong utama Soeharto. Bagi massa yang terdiri dari pengangguran dan kaum pinggiran kota yang lapar, godaan untuk menjebol toko --yang sebagian besar dimiliki oleh orang Cina-- lalu mengambil makanan dan barang-barang lain, sungguhlah tak dapat ditahan. Tragisnya, yang menjadi korban utama adalah justru para pengusaha kecil etnis Cina.
"Orang-orang Cina-lah yang paling menderita," tulis The Sunday Times, "para pengusaha kecil di Pecinan harus membayar untuk kemarahan rasial yang telah ada selama bergenerasi lamanya dan untuk aliansi yang sekarang terjadi antara keluarga Soeharto dan beberapa hartawan Cina. Mereka adalah target yang jelas bagi kelompok yang dinamakan 'massa membludak' yang telah didepolitisasi selama tiga dekade di bawah pemerintahan rezim Orde Baru pimpinan Soeharto.
"Tentu saja, orang Cina terkaya telah terbang (meninggalkan Indonesia). Kerumunan massa menuju rumah Liem Sioe Liong, seorang imigran pedagang mie dari Fujian yang menjadi milyuner semen. Mereka menyerbu masuk dan lalu membakar rumah itu. Di dinding, seorang menyoretkan tulisan cakar ayam 'Anjing Soeharto'. Liem sendiri tidak berada di rumah --ia telah ke Amerika Serikat." (The Sunday Times 17/5/98).
Sejak awal, media massa Barat telah mencoba menggunakan hal-hal ini untuk menyajikan gambaran yang sepenuhnya terdistorsi atas kejadian-kejadian di Indonesia --seperti yang sebelumnya telah mereka lakukan terhadap Albania. Koran-koran dipenuhi gambar-gambar penjarahan dan pembakaran. Sesungguhnya, bahkan meski membuta, kerusuhan merefleksikan protes menentang kaum yang kaya dan berkuasa, itulah yang terlihat saat para perusuh mengeluarkan mobil dari show room lalu membakarnya ataupun saat mereka menyerang bank-bank. Karena keluarga Soeharto memiliki hak monopoli atas "mobil nasional" dan hal itu secara erat berkaitan dengan perbankan, maka pesan (dari kerusuhan) telah jelas. Koresponden Guardian mengamati bahwa: "Perusahaan-perusahaan yang dimiliki oleh anak-anak Soeharto, yang menimbun harta besar, adalah target utama bagi para perusuh". (The Guardian 6/5/98) Lalu: "Tampaknya kerusuhan Jakarta mulai membongkar istana keluarga ketika kemarin mereka menyerang cabang-cabang Bank Central Asia, bank swasta terbesar di Indonesia, sebagian dimiliki oleh Liem (Sioe Liong) dan kedua anak Soeharto." (The Guardian 15/5/98). Hal yang sama juga ditandaskan The Sunday Times: yang dilawan oleh suara-suara ini adalah yang menjadi kroni-kroni lama presiden, serta anak-anaknya. Puteri tertua presiden, Siti Hardijanti Rukmana atau Tutut, duduk di kabinet sebagai menteri sosial, yang memegang kuasa atas jalan-jalan tol Jakarta, adalah target dari serangan kerusuhan ini. Tommy, putera Soeharto yang memperoleh keuntungan lewat proyek mobil nasional; show room-show roomnya merupakan target utama aksi kekerasan, sama halnya dengan bank-bank yang terkait dengan keluarga ini. (The Sunday Times 17/5/98) Minat para perusuh terungkap dari kutipan berikut, berasal dari artikel yang sama: "Agus, 24, sarjana penganggur, turun ke jalan dan gembira atas perusakan yang terjadi. 'Keluarga Soeharto telah merampas (kekayaan) negeri kami dan sekarang orang-orang merampas dari mereka,' katanya." (The Sunday Times 17/5/98)
Tidaklah penting menjelaskan bahwa pembakaran pertokoan amatlah jauh dari aktivitas revolusioner, dan kerusuhan lebih merupakan ungkapan keputusasaan dan kemarahan kaum yang paling dipinggirkan, mereka inilah yang membalas dendam pada keadaan sosial masyarakat atas kemelaratan mereka. Kenyataan ini bahkan dimengerti oleh kelas menengah yang menjadi korban kemarahan kelas tertindas, seperti komentar pemilik hotel yang hotelnya terbakar habis: "Apa yang Anda harapkan? Orang-orang itu lapar." Elemen-elemen kelas tertindas ini tak diragukan lagi telah ada. Kaum proletar-gelandangan (lumpenproletariat), Marx menyebut mereka sebagai "massa yang membusuk secara pasif", selalu membuat usaha yang menguntungkan diri sendiri di setiap kekacauan, mereka membakar dan menjarah. Sepertinya agen-agen provokasi rezim sengaja memancing elemen-elemen ini dan mengarahkan mereka untuk melawan etnis Cina dengan tujuan membelokkan titik perhatian dari kaum kaya. Tetapi mereka tidak akan berhasil.
Dalam kasus manapun hal ini sepenuhnya dusta --dan sesungguhnya fitnah-- untuk mengidentifikasikan revolusi hanya sebagai kerusuhan sederhana. Selalu ada elemen (lumpenproletariat) yang begini ini dalam setiap revolusi, sampai, dengan amat alamiah, revolusi mengguncang masyarakat hingga ke kedalamannya, membangkitkan bukan hanya kelas pekerja dan buruh, tetapi juga kaum termiskin, lapisan yang paling dipinggirkan dan paling putus asa. Bagaimanapun, elemen ini (yaitu para penjarah) hanyalah suatu kebetulan, dan sama sekali bukanlah esensi gerakan. Bahwa kerusuhan dan penjarahan sepenuhnya terpisah dari demonstrasi politik telah jelas diantara para pemegang otoritas: Komandan Komando Daerah Militer Deli Serdang Letkol B. Sinuhaji menyampaikan pada The Jakarta Post bahwa kerusuhan-kerusuhan adalah isu yang terpisah. "Ini penjarahan. Mereka tak punya kaitan dengan politik atau demonstrasi," katanya. (Kompas, 8/5/98, pilihan penulis)
Dalam tanda kurung dapat kita tambahkan bahwa dalam tiap revolusi terdapat campuran reaksi dari berbagai elemen, termasuk revolusi Rusia, ketika kaum proletar-gelandangan Black Hundred rusuh, digiring oleh polisi Tsarist mereka dituntun untuk melawan kaum Yahudi. Kenyataan tersebut tidak menutupi kesejatian revolusi Rusia sedikitpun. Sekali kaum proletar memegang kendali gerakan, elemen-elemen yang begini segera terdorong ke belakang, sebagaimana biasanya kaum lumpenproletariat digambarkan di bagian belakang gerakan revolusioner kaum pekerja.
MULAINYA REVOLUSI
Gerakan dimulai sebagai gerakan mahasiswa. Tak ada yang luar biasa pada hal tersebut. Meskipun para mahasiswa dan cendekiawan tak dapat memainkan peran independen dalam masyarakat, bagaimanapun juga mereka merepresentasikan barometer yang sangat sensitif yang secara setia merefleksikan animo yang bergerak dalam masyarakat. Dalam tahap-tahap awalnya, revolusi Rusia dimulai sebagai gerakan revolusioner kaum cendekiawan antara 1860-70an. Revolusi Spanyol di awal 1930-an juga dimulai sebagai gerakan mahasiswa, sebagaimana disoroti Trotsky tahun 1930:
"Semangat demontrasi mahasiswa hanya usaha yang dilakukan oleh generasi muda borjuis, khususnya kaum borjuis kecil, untuk menemukan solusi bagi ketidakstabilan yang dialami negara setelah kebebasan semu dari kediktatoran Primo de Rivera, dimana elemen-elemen dasar masih sepenuhnya tersembunji. Ketika kaum borjuis secara sadar dan keras kepala menolak untuk mengatasi persoalan-persoalan yang timbul dari krisis masyarakat borjuis, dan ketika kaum proletar belumlah siap untuk menyandang tugas ini, maka seringkali para mahasiswalah yang tampil ke depan. Selama masa perkembangan revolusi Rusia yang pertama (1905), kami mengamati adanya fenomena yang begini lebih dari satu kali, dan kami selalu mengenali tanda-tanda kemunculannya. Aktivitas mahasiswa yang revolusioner ataupun semi-revolusioner seperti itu mempunyai arti bahwa masyarakat borjuis tengah menghadapi krisis yang amat dalam. Pemuda-pemuda kaum borjuis kecil, merasakan kekuatan eksplosif tengah terbangun di tengah massa, berusaha dengan cara mereka sendiri untuk keluar dari kebuntuan dan untuk mendorong perkembangan politis ke arah yang lebih maju.
"Kaum borjuis menghargai gerakan mahasiswa dengan setengah setuju, setengah memperingatkan; kalau para pemuda mengadakan sedikit guncangan terhadap birokrasi monarkis, hal itu tidak terlalu jelek, selama 'nak-anak itu' tidak bergerak terlalu jauh dan tidak membangkitkan perjuangan keras dari massa.
Dengan menyokong gerakan mahasiswa, kaum pekerja dan buruh Spanyol telah menunjukkan insting revolusioner yang benar. Tentu saja mereka harus bertindak di bawah panji-panji mereka sendiri dan di bawah pimpinan organisasi proletar mereka sendiri. Adalah kaum komunis Spanyol yang harus menjamin proses ini dan untuk itu adanya kebijaksanaan yang tepat tak dapat ditawar lagi. Inilah mengapa munculnya koran kalian, seperti telah saya sebutkan tadi, bertepatan dengan momen kritis dan amat penting dalam perkembangan keseluruhan krisis; tepatnya, (koran kalian) bertepatan dengan momen dimana krisis revolusioner sedang ditransformasikan menjadi sebuah revolusi." (Trotsky, The Spanish Revolution (1931-39), pp.58-9)
Demikian pula halnya di Indonesia, para mahasiswa merasa bahwa mereka merepresentasikan animo umum dari ketidakpuasan dan oposisi dalam masyarakat, dan membangun kekuatan serta keberanian dari kenyataan ini.
"'Banyak orang yang tak dapat secara terbuka mengatakan apa yang dikatakan para mahasiswa, mereka masih takut. Tapi orang-orang ini mendukung para mahasiswa. Mereka gembira mahasiswa mengatakan apa yang mereka tidak bisa (katakan),' kata Ikrar Musabhakti, mahasiswa Institut Ilmu Pengetahuan Indonesia." (The Guardian, 13/5/98)
Secara cepat protes-protes mahasiswa menyebar ke berbagai sektor di Indonesia, mengabaikan peringatan Jenderal Wiranto, Panglima Angkatan Bersenjata yang membawahi juga kepolisian, pada hari Kamis. Elemen terpenting adalah keberanian para mahasiswa yang tak mengenal takut, keteguhan mereka berhadapan dengan pemukulan, pemenjaraan, dan kematian dalam perjuangan, yang sewaktu-waktu dapat menimpa atas alasan apapun. Ketika massa hilang rasa takutnya, itulah saat keruntuhan rezim. Tanpa senjata, organisasi, bahkan juga tanpa sebuah program atau perspektif yang jernih, kaum muda ini siap berkonfrontasi dengan polisi dan militer yang dipersenjatai, bahkan mengadakan perlawanan. Berbagai reportase menyampaikan kesaksian atas fakta bahwa para demonstran mulai merespon kekejaman aparat dengan menggunakan batu-batu dan bom molotov dan bahwa polisi tidak dapat begitu saja melarikan diri, tergambar dalam kutipan berikut:
"Gelombang aksi mahasiswa di seluruh daerah pada hari Kamis diikuti oleh berbagai bentrokan dengan aparat keamanan. Korban jatuh di kedua belah pihak; jumlah mahasiswa yang luka-luka lebih banyak dibandingkan dengan hari sebelumnya, sebagian besar disebabkan oleh pentungan, peluru karet, lemparan batu, dan gebukan.
Bentrokan terburuk terjadi di Universitas Soedirman, Purwokerto, Jawa Tengah, di mana 65 mahasiswa terluka, 28 darinya dilarikan ke rumah sakit. Sebagian besar terluka di kepala akibat peluru karet atau pentungan. Delapan di antaranya luka parah. Sebuah selebaran yang dibuat para mahasiswa melaporkan bahwa sembilan mahasiswa hilang.
Bentrokan terjadi ketika para mahasiswa mulai berjalan secara damai ke gedung DPRD dan mencoba untuk menembus barikade aparat keamanan. Aparat keamanan menggunakan pentungan untuk membubarkan para mahasiswa yang kemudian memberikan perlawanan. Selain memukul dengan pentungan, aparat keamanan menyemprotkan gas air mata. Rektor, Prof. Rubianto Misman mengungkapkan penyesalan atas terjadinya insiden tersebut.
"Di Solo, Jawa Tengah, terjadi hujan batu dan bom molotov, mengakibatkan korban jatuh di kedua belah pihak. Sebelas mahasiswa luka-luka, dua segera dilarikan ke rumah sakit. Aparat keamanan menderita 43 korban. Bentrok terjadi ketika seribu mahasiswa mencoba meninggalkan kampus, mendesak pasukan yang mengepung kampus memaksa mahasiswa kembali masuk. Batu-batu dan bom molotov mulai beterbangan, gas air mata digunakan untuk membubarkam mahasiswa. Tiga belas mahasiswa jatuh karena sesak nafas. Para mahasiswa mendesak untuk turun ke jalan.
"Di Riau, Sumatera, bentrok mengakibatkan 10 mahasiswa menjadi korban, kaca-kaca jendela mobil hancur dan 6 mahasiswa ditahan, tetapi kemudian dibebaskan setelah kerumunan yang terdiri dari 8.000 mahasiswa menuntut mereka dibebaskan. Itu adalah demonstrasi terbesar di Riau selama 10 tahun ini. Ketika para mahasiswa mencoba untuk long march ke kediaman gubernur, mereka dihentikan oleh pasukan keamanan. Para mahasiswa berhasil menembus blokade di 2 tempat, tetapi saat mereka berada sekitar 20 meter dari kediaman gubernur, mereka diserbu oleh ratusan aparat keamanan. Ketika tiga ekor anjing dilepaskan kepada para mahasiswa, dengan cepat mereka tercerai berai. Dalam insiden itu aparat menggunakan gas air mata dan menggebuki para mahasiswa dengan tongkat rotan untuk membubarkannya. (Kompas, 8/5/98)
Dari laporan-laporan ini menjadi jelas bahwa: a) gerakan mahasiswa dimulai sebagai demonstrasi damai, b) polisi berusaha untuk menahan mereka di dalam kampus dan mencegah mereka keluar serta memperluas (jangkauan) perjuangan, c) para mahasiswa bentrok dengan polisi yang menggunakan metode-metode kekerasan, d) jauh dari berhasil mengintimidasi para mahasiswa, tindak represif dari polisi malah membuat mereka lebih marah dan telah meradikalisasi gerakan hingga tak dapat lagi ditahan, dan e) para mahasiswa mengambil langkah mempersenjatai diri mereka untuk melindungi diri dan melakukan serangan dengan menggunakan sembarang benda yang mereka dapat. Detail bahwa para mahasiswa memaksa pembebasan kawannya yang ditahan adalah sebuah testimoni yang mengesankan dari fakta bahwa kekuatan pergerakan mengguncang wibawa dan menciptakan keretakan di dalam aparatus represif sendiri.
Para mahasiswa menunjukkan keberanian dan inisiatif yang dapat dicatat. Di satu daerah mereka bahkan melakukan improvisasi dengan adanya "divisi bermotor" :
"Para mahasiswa dari belasan institusi swasta mengambil bagian dalam aksi di Ujung Pandang, Sulawesi Selatan. Ribuan mahasiswa bersepeda motor dan kendaraan lain berkumpul di lapangan kota, tetapi mereka dipaksa mundur oleh aparat keamanan. mereka menyebar ke segala arah dan mulai berkeliling kota." (Ibid)
Dalam banyak hal, kemiripan dengan revolusi Rusia tahun 1905 sungguh luar biasa. Laporan yang sama menuliskan bahwa "bentrokan serupa pecah di Universitas Gunadarma, Kelapa Dua, Jakarta, dimana ratusan mahasiswa dari beberapa universitas mengadakan mimbar bebas. Masalah muncul ketika mahasiswa-mahasiswa dari Universitas Jayabaya menuju Universitas Gunadarma dan diserang oleh aparat keamanan. Legal Aid Institut belakangan melaporkan bahwa sedikitnya 52 mahasiswa luka-luka di Universitas Sahid, para mahasiswa bergabung dan membawa spanduk-spanduk, mereka dipaksa kembali ke kampus dimana di sana mengadakan forum mimbar bebas." Proses yang benar-benar sama muncul tahun 1905, ketika para mahasiswa Rusia juga mengadakan "mimbar bebas" yang dihadiri oleh para pekerja.
Gerakan meluas ke ibukota, Jakarta, di mana babak akhir dari drama dimainkan.
"Sebuah bentrokan terjadi di Fakultas Teknologi Universitas Jayabaya mengakibatkan 21 mahasiswa luka-luka dan langsung dilarikan ke rumah sakit, 2 mengalami luka tembak di leher dan lengan, sementara yang lain menderita luka akibat pentungan petugas dan iritasi tubuh disebabkan gas air mata. Dari tubuh seorang mahasiswa dikeluarkan sebuah peluru. Rektor mengumumkan bahwa kuliah ditiadakan pada hari Jumat. (Ibid)
PERPECAHAN DALAM REZIM
Sebagaimana terjadi dalam setiap revolusi, karena adanya tekanan dari bawah, rezim mulai pecah. Satu sisi menyarankan penggunaan kekuatan keras untuk memukul oposisi, sementara yang lain menyarankan untuk kompromi. Titik balik dari adanya perpecahan ini adalah terbunuhnya enam mahasiswa di Universitas Trisakti, Jakarta, pada demonstrasi damai tanggal 12 Mei, oleh aparat yang panik atau lebih mungkin akibat kerja dari para provokator, yang berada dalam garis keras pemerintah. Seperti diungkapkan The Economist mengenai tindak aparat:
"Pasukan keamanan mungkin hanya dibekali peluru karet, peluru hampa, dan gas air mata, tetapi tampaknya mereka kehilangan kendali diri sebagaimana juga halnya para demonstran. Hari berikutnya para perusuh menyalakan api unggun besar di tengah pusat bisnis di Jakarta. Gerombolan penjarah, menolak perintah polisi bersenjata yang berpatroli dengan sepeda motor, menyerbu pertokoan dan supermarket. Dilaporkan 12 orang meninggal, kebanyakan mereka berada dalam tempat yang dibakar oleh para perusuh. Emosi aparat memburuk dapat terlihat dari mereka memukuli sembarang orang yang kebetulan lewat melalui jalan-jalan yang mendadak amat berbahaya." (The Economist, 16/5/98)
Menurut The Economist, pembunuhan jang terjadi di Universitas Trisakti adalah "letikan api yang menyebabkan frustasi yang meluas berubah menjadi kemarahan nasional". Sebelum (penembakan) ini terjadi, demonstrasi berjalan damai. Secara signifikan, universitas ini adalah sebuah universitas elit. Seperti yang disorot oleh The Economist (16/5/98):
"Trisakti, universitas yang mahasiswanya terbunuh, difavoritkan oleh kelas menengah yang kaya. Banyak dari mereka yang telah menghentikan dukungan kepada Soeharto, tetapi beberapa dari mereka tetap melihatnya sebagai penengah antara Indonesia dan kondisi chaos. Bisa jadi, kenyataan bahwa anak-anak mereka sendiri ditembak merubah hal itu."
Upacara pemakaman para mahasiswa yang terbunuh berubah menjadi ajang pertemuan kaum oposisi: "hari Rabu, pemakaman para mahasiswa menciptakan gelombang emosi. Orasi-orasi diberikan oleh para pemimpin oposisi seperti Megawati Soekarno Puteri, puteri tertua presiden pertama Indonesia, yang digulingkan oleh Soeharto pada tahun 1966. Meski demikian, tidak ada yang lebih mengherankan bagi para pelayat, daripada Pangdam Jaya, Mayjend Sjafrie Sjamsoeddin, yang memberikan sambutan penuh santun." (The Sunday Times, 17/5/98)
Gentar akibat kebangkitan gerakan massa yang amat cepat, Soeharto mencoba menarik kembali kebijakannya, membatalkan kenaikan harga BBM dan listrik yang merupakan tuntutan IMF. Diktator itu berhadapan dengan (limit) waktu, menawarkan "reformasi" --sebuah langkah yang tidak dapat membodohi siapa pun. ICMI mengatakan bahwa proposal reformasi yang ditawarkan oleh Soeharto "samar, terlalu sempit, dan terlambat." (Agence France Presse, 7/5/98) Tanggal 7 Mei harian The Jakarta Post mengutip Siswono Yudohusodo, mantan menteri dari kabinet sebelumnya, yang menekankan pentingnya reformasi politik dan ekonomi dilakukan segera, mengindikasikan bahwa mungkin saja diperlukan reshuffle kabinet untuk mengatasi krisis nassional. Siswono yang juga pengusaha ini mengingatkan bahwa reformasi ekonomi sudah menjadi sesuatu yang mendesak.
"Dalam bidang-bidang tertentu reformasi adalah suatu keharusan, sebab penundaan dapat menyulut tuntutan untuk mengadakan perubahan drastis yang dapat berubah menjadi revolusi," kutipan pernyataannya. Kata-kata ini merupakan suaatu testimoni tak ternilai harganya atas pikiran yang sesungguhnya dari satu bagian kelas penguasa: kita harus secepatnya melakukan proses reformasi dari atas untuk menghindari revolusi dari bawah. Perasaan bahwa rezim telah sepenuhnya membusuk diungkapkan oleh orang-orang tertentu seperti para pensiunan jenderal:
"'Sistem ini sudah gagal. Setiap orang bisa melihat ia tidak berfungsi. Kita memerlukan sebuah Indonesia yang baru,' kata seorang pensiunan Letnan Jenderal dalam sebuah pertemuan orang-oreng yang dulunya meruupakan pendukung Soeharto jang kemudian berbalik menjadi desiden. 'Kita telah membelanjakan segala kekayaan (negeri ini) untuk pembangunan, tetapi kenyataannya banyak rakyat kita masih miskin. Secara politik kita juga bangkrut.'" (The Guardian 13/5/98) Keretakan dalam rezim tercermin dalam penyeberangan para pendukung Soeharto, bahkan termasuk juga orang-orang yang menjadi suporter sepandjang hidup --contohnya dilakukan oleh ketua MPR: "Dalam sebuah tindak revolusioner yang memecahkan sejarah kepatuhan budak terhadap Soeharto yang telah memerintah lebih dari 30 tahun, ketua MPR, Harmoko, mengatakan bahwa otokrat sepuh tersebut harus 'mundur demi integritas dan kesatuan bangsa'." (The Guardian 19/5/98) Pangab jenderal Wiranto, berusaha mengalihkan aliran gelombang protes, mengatakan kepada para mahasiswa bahwa tuntutan mereka atas reformasi politik telah didengar dan selanjutnya ia minta dengan sangat kepada mereka untuk mengakhiri demonstrasi. Tetapi permohonannya diacuhkan para mahasiswa. Gerakan memperoleh tenaga baru dan kekuatan mental dari setiap langkah mundur yang diambil oleh rezim. Jauh dari harapan pemerintah bahwa mereka mengakhiri perlawanan, tawaran-tawaran konsensus malah makin mengencangkan gerakan mahasiswa. Mereka benar-benar menjadari sepenuhnya bahwa hal itu adalah signal kelemahan pemerintah.
Apa yang luar biasa adalah bukan semata keluasan (area) gerakan, tetapi juga kecepatan pencerahan dimana dengannya kesadaran dibangun, secara cepat gerakan beralih dari sebuah protes elementer melawan standar hidup yang memburuk menjadi protes-protes politik secara terbuka. Sikap para mahasiswa terhadap rezim secara jelas terangkum dalam kejadian berikut:
"Di ibukota, sekitar 500 mahasiswa memulai pertemuan di kampus IKIP Jakarta Timur, membakar patung Soeharto dan menyalahkan pemimpin yang diperanginya itu atas krisis ekonomi yang menghantam negara. Dalam protes tersebut para mahasiswa menyelenggarakan pengadilan di mana di dalamnya sebuah "Pengadilan Rakyat Luar Biasa" mendakwa Soeharto atas pembunuhan massal dan korupsi besar-besaran melalui banyaknya perusahaan keluarga.
"Di dalam drama pengadilan tersebut, para mahasiswa mendakwa Soeharto atas pembunuhan sebanyak 1,5 juta orang selama ia menaiki kekuasaannya di tahun 1965-66, di Timor-Timur pada tahun 1975, di dalam rentetan penembakan misterius pada tahun 1983, dan pada insiden Tanjung Priok tahun 1984. Para mahasiswa memutuskan Soeharto bersalah dan menjatuhkan vonis hukuman mati." (Deutsche Presse-Agentur, 8/5/98)
Para diplomat yang ditempatkan di Jakarta mengatakan bahwa pengadilan tiruan tersebut menandai adanya kenaikan luar biasa pada jumlah pendukung protes anti pemerintah, orang-orang yang di masa lalu menunjukkan respek pada pemimpin berusia 76 tahun ini. Dengan cara yang sama, di Rusia sebelum 1 Januari 1905 massa terperangkap dalam ilusi tentang "Tuhan kecil", yaitu Tsar, yang kemudian dipenggal pada hari yang dikenal sebagai Hari Minggu Berdarah. Dengan cara yang sama, kebodohan aparat meletupkan kemarahan mahasiswa dan hal itu telah sepenuhnja merubah situasi. Kebencian dan kemarahan yang terakumulasi selama bertahun-tahun sekarang terkonsentrasi pada Soeharto. Kemarahan atas pembunuhan yang baru saja terjadi saling berkait dengan ingatan mengenai kekejaman di masa lalu, menghasilkan sebuah adonan yang eksplosif. Ini merupakan ancaman mematikan terhadap imperialisme dan kapitalisme.
Kelas yang berkuasa di Indonesia terbelah. Sebagian ingin membuang Soeharto secepatnya. Bahkan ketua MPR --kroni lama presiden-- menyarankannya untuk mundur. Tetapi sebagian yang lain menolak langkah yang demikian, takut bahwa dalam pemerintahan yang begitu akan timbul gerakan yang tak dapat dikontrol oleh siapapun. Pernyataan-pernyataan yang kontradiktif dari jenderal Wiranto menggarisbawahi perpecahan-perpecahan dan keterombang-ambingan kelas penguasa; hal ini merupakan simptom pertama terjadinya revolusi. Syarat kedua terjadinya revolusi adalah bahwa kaum borjuis kecil, lapisan menengah dari masyarakat, harus berganti arus dari status quo ke revolusi. Nyatanya (di Indonesia), mayoritas kelas menengah telah berbalik dari rezim atau secara aktif memeranginya sebagaimana diperlihatkan oleh gerakan mahasiswa.
Syarat ketiga adalah bahwa kelas pekerja harus disiapkan untuk berjuang bagi perubahan radikal dalam masyarakat. Kelas pekerja Indonesia, seperti akan kita lihat, telah memasuki kancah perjuangan.
Tetapi faktor menentukan yang masih belum ada adalah faktor subjektif --sebuah partai revolusioner dan kepemimpinan yang mampu menyediakan organisasi yang diperlukan, program dan perspektif untuk menyatukan gerakan dan mengarahkannya untuk merebut kekuasaan. Slogan-slogan partai yang demikian ini pastilah jelas sejak awal: Pabrik untuk para pekerja! Tanah untuk para penggarap! Demi tercapainya solusi yang demokratis dan menyeruruh atas problem nasional! Tolak semua hutang asing dan nasionalisasikan semua harta imperialis tanpa kompromi! Sita semua harta hasil korupsi klik Soeharto dan para pendomplengnya! Pemogokan revolusioner menyeluruh untuk menumbangkan rezim! Pembentukan segera Komite Pemilu secara demokratis yang terdiri atas pekerja, petani, tentara, dan mahasiswa agar di tangan mereka dijalankan industri, negara, dan masyarakat! Hanya hukum demokratis dari kelas pekerja yang dapat membersihkan masyarakat Indonesia dari segala akumulasi kotoran dan korupsi masa lalu dan memulai gerakan dengan tujuan terciptanya seebuah masyarakat sosialis.
Sebuah gerakan yang demikian pada akhirnya hanya dapat meraih kemenangan atas basis internasionalisme --penggulingan para tuan tanah dan kapitalisme di seluruh wilayah Asia dan dunia. Namun kemenangan kaum proletar Indonesia akan dengan tjepat merubah situasi seluruh Asia. Malaysia, Thailand, Korea, masih berada di dalam krisis. Dalam event revolusi pekerja dan petani yang berhasil di Indonesia, rezim-rezim kapitalis yang lemah di negara-negara ini akan berhadapan dengan gerakan revolusioner yang perkasa, jalan akan terbuka bagi perpanjangan revolusi ke seluruh Asia.
PERAN KELAS PEKERJA
Masalah yang paling menentukan adalah peran kelas pekerja. Seperti halnya jaman Tsar di Rusia 100 tahun yang lalu, pemasukan investasi asing telah memperkuat kelas pekerja dan meletakkan dasar bagi sebuah lonjakan bagai badai dalam gerakan pemogokan. Pertumbuhan industri telah menciptakan profit yang besar bagi pemilik modal asing dan para boss Indonesia, tetapi tidak membawa perbaikan bagi standar hidup pekerja dan buruh. Jurang antara yang kaya dan yang miskin dapat disoroti dengan munculnya 20-30 keluarga yang luar biasa kaya yang mengendalikan korporasi-korporasi bisnis gigantik, mereka ini dikenal dengan sebutan konglomerat. Yang terbesar dari para konglomerat ini adalah anak-anak Soeharto dan orang-orang yang dekat dengannya serta rekan politiknya. Saat yang bersamaan, upah bagi para pekerja dan buruh di bawah umur hanya sebesar 2-3 dolar per hari, seringkali (mereka ditempatkan) di pabrik dan tempat kerja yang sangat berbahaya. Pada saat yang sama pula petani-petani di Indonesia telah menjadi subjek bagi pajak yang terus meningkat dan lain-lain biaya administrasi. Segala tindakan yang dilakukan oleh para buruh dan kaum tani sebagai protes terhadap upah yang rendah dan korupsi telah dibungkam oleh militer dengan cara represif.
Lonjakan harga bahan bakar, listrik, dan transportasi dibayar dengan munculnya gelombang perlawanan ribuan buruh seluruh Indonesia menuntut kenaikan upah setelah lonjakan harga bahan bakar, listrik dan sembako. Sekitar 4.000 buruh melancarkan demonstrasi di depan dua pabrik keramik di Tangerang, menuntut kenaikan upah yang lebih baik dan transparansi administrasi pembayaran. Seribu lima ratus buruh perusahaan manufaktur kayu di Karawang, Jawa Barat melakukan pemogokan menuntut kenaikan upah pada hari Rabu, demikian harian Pikiran Rakyat melaporkan. "Kami tahu pasti bahwa manajer-manajer tetap mendapatkan untung besar selama krisis ini, sebab produk kami ditujukan untuk ekspor," kata seorang buruh. "Sementara upah kami tetap sama, pengeluaran sehari-hari telah meroket." (Agence France Presse, 7/5/98)
Melalui pengalaman mereka sendiri, para mahasiswa menarik konklusi revolusioner, dan melihat perlunya menarik kelas pekerja. Ryass Rasyid, seorang pengamat politik, mengatakan bahwa tuntutan para mahasiswa dan para pendukungnya telah melampaui apa yang ditawarkan oleh DPR dan sekarang telah meliputi pola tuntutan atas pengunduran diri Soeharto dan pelaksanaan Sidang Istimewa MPR. Dia mengatakan bahwa demonstrasi-demonstrasi mahasiswa hanya dapat dihentikan oleh kekuatan militer atau dengan reformasi politik yang ekstensif dan iapun menambahkan kalimat signifikan berikut:
"Saya telah mendengar usaha-usaha mahasiswa untuk mendapat dukungan dari para buruh," katanya. "Dengan ini sudah sangat mendesak bagi pemerintah untuk mengambil tindakan yang mengakomodasikan aspirasi rakyat." (Sidney Morning Herald, 7/5/98, pilihan penulis.)
Dari awal, para buruh menunjukkan insting revolusioner mereka yang tak pernah meleset, dengan cara mendukung mahasiswa. Banyak sekali reportase menyampaikan kesaksian atas fakta bahwa para buruh berpartisipasi di dalam demonstrasi mahasiswa:
"Ini sudah bukan murni demonstrasi mahasiswa, sebab telah melibatkan masyarakat awam," kata Letkol (pol) Amrin Karim. Ada ribuan rakyat yang marah mencoba membakar rumah-rumah. Mereka membakar rongsokan dan menggulingkan mobil-mobil." Sedikitnya 20 aparat terluka dan 59 orang ditahan pada kerusuhan yang terjadi hari Minggu. (Associated Press, 5/5/98, pilihan penulis.)
"Di Solo, kota di Jawa Tengah, 650 km di tenggara Jakarta, diperkirakan 5.000 mahasiswa dan pelajar bergabung dengan para buruh dan bentrok dengan aparat keamanan mengakibatkan setidaknya 130 orang mengalami luka-luka." (Deutsche Presse-Agentur, 8/5/98, pilihan penulis.)
Sebuah artikel yang ditulis Derwin Pereira dalam The Straits Times tanggal 3 Mei menyoroti kenyataan bahwa buruh ikut berpartisipasi dalam demonstrasi mahasiswa: "Dalam rapat akbar di seluruh Indonesia kemarin, ribuan mahasiswa memprotes keputusan presiden Soeharto untuk memimpin reformasi politik yang akan dijalankan selama 5 tahun ke depan. Sementara, sejak awal para buruh bergabung dengan mereka di beberapa kampus di ibukota untuk 'menunjukkan solidaritas', untuk menekankan bahwa para mahasiswa tidaklah sendirian dalam mengusahakan perubahan terhadap rezim Orde Baru."
Kemudian artikel tersebut mengutip salah seorang buruh: "Abdul Kadir, buruh 30 th, mengatakan bahwa dia dan 300 pekerja pabrik lainnya yang berasal dari Tangerang di Jakarta Timur bergabung dengan demonstrasi di depan Fakultas Kedokteran UI atas undangan pemimpin mahasiswa 'tujuan kami adalah untuk membuat gerakan ini cukup besar hingga dapat melakukan tekanan terhadap pemerintah,' katanya. 'kami tidak bahagia dengan apa yang sekarang terjadi di Indonesia. Pemerintah menindas kami, bukannya menolong kami. Akan lebih banyak lagi dari golongan kami yang akan bergabung dengan mahasiswa.'
"Para pekerja, yang mengenakan kain merah di lengan mereka untuk membedakannya dengan para mahasiswa yang berjaket kuning, bergabung dengan 3.000 mahasiswa dalam suasana yang kadang-kadang mirip karnaval, dengan acara mendendangkan lagu-lagu dan menyanyikan slogan-slogan politik, menyerukan agar Soeharto turun." (The Straits Times 3/5/98)
Fakta berpartisipasinya para pekerja dalam demonstrasi mahasiswa adalah gejala penting yang amat berharga. Hanya gerakan revolusioner dari kaum proletar Indonesia, bersatu dalam perjuangan dengan para mahasiswa, buruh tani, dan kaum tertindas, yang dapat membawa perubahan masyarakat. Kelas pekerja di Indonesia amatlah kuat. Sekali ia terorganisasi untuk berjuang di bawah panji revolusi kaum sosialis ia akan menjadi kekuatan yang tak terbendung. Sesungguhnya, jika ada sebuah partai komunis yang sejati, partai ini tentulah telah bergerak maju memegang tampuk kekuasaan. Hanyalah kekurangan pada faktor subjektif yang menghalangi munculnya bentuk ini.
PRD, yang dapat dikatakan sebagai partai komunis Indonesia, menarik bagi elemen-elemen yang paling revolusioner dan berani di kalangan mahasiswa dan pekerja. Heroisme dan kesetiaan mereka terhadap kepentingan pekerja tidak diragukan. Tetapi untuk mencapai sukses tidaklah cukup hanya keberanian. Diperlukan sebuah program dan perspektif revolusioner yang serius. Program dan kebijakan dari kepimpinan PRD tidak ditujukan untuk pengambilalihan kekuasaan oleh kelas pekerja dalam aliansinya dengan buruh tani, melainkan lebih melihat pada apa yang disebut "borjuis progresif" sebagai sebuah jalan keluar. Sepanjang jalan ini hanya kekalahan dan bencana. Marilah kita mengingat bahwa kebijakan yang persis seperti inilah yang menimbulkan mala petaka di tahun 1965-66. Perlu diambil pelajaran dari masa lalu agar tidak mengulanginya!
Dalam statemen yang disiarkan pada tanggal 31 Juli 1997, PRD menyatakan: "PRD, sebagai penjaga kedaulatan rakyat, sebagai partai kaum tertindas, akan melanjutkan perjuangan dengan segala kekuatan, kemampuan, keteguhan dan stamina untuk melanjutkan lagi perjuangan bagi keadilan sosial, perdamaian, dan demokrasi. Demokrasi adalah jembatan yang dapat membawa kita kepada masyarakat yang lebih beradab, mencerminkan aspirasi-aspirasi rakyat. PRD percaya bahwa "suara rakyat adalah suara Tuhan." Dan di tengah represi yang sekarang terjadi, dengan para pemimpin PRD diburu oleh rezim, di tengah-tengah propaganda rezim, di tengah hipokrasi dari pemerintah asing, PRD akan melanjutkan perjuangan." PRD mempertahankan "nasionalisasi aset-aset ekonomi keluarga Soeharto, kerabat, kroni-kroninya, dan perusahaan-perusahaan multinasional yang telah bekerjasama dengannya mengeksploitasi rakyat Indonesia." Itu sepenuhnya benar! Tetapi untuk mempraktekkan tuntutan yang demikian, keharusan yang pertama adalah memutuskan hubungan dengan kaum borjuis dan lalu memimpin kelas pekerja untuk merebut kekuasaan, pengambilalihan harta kaum imperialis dan mereka yang mendukung Soeharto mempunyai arti, dalam efeknya, pengambilalihan seluruh kepentingan kapitalis-kapitalis raksasa di Indonesia, sebuah pemutusan hubungan yang radikal dengan kapitalisme. Hal ini tidak akan pernah bisa diterima oleh mereka yang dikenal dengan sebutan borjuis "progresif", yang kepada mereka ini PRD bersahabat. Untuk membawa program ini ke dalam praktek perlu mengikutsertakan sebuah kebijakan mengenai independensi kelas. Sahabat yang dibutuhkan oleh kaum proletariat adalah sahabat dalam perjuangan, bukan dalam kata-kata. Mereka adalah buruh tani miskin, kaum urban miskin, dan para mahasiswa, bukan politisi karir dari golongan borjuis yang ingin memanjat kekuasaan dengan menapaki punggung para pekerja. Perjuangan untuk demokrasi hanya dapat dimenangkan dengan cara memerangi imperialisme dan oligarki sampai titik terakhir. Itu berarti bahwa kelas pekerja harus mengambil kekuasaan di tangannya sendiri, mengambil alih (milik) para tuan tanah dan kaum kapitalis, dan membawa sebuah transformasi masyarakat yang revolusioner.
Keutamaan para mahasiswa adalah mereka telah menarik konklusi-konklusi penting dari pengalaman perjuangan mereka. Sebuah laporan dalam mingguan The Australian Green Left (nomor 318), mengutip kata-kata salah seorang mahasiswa: "Akiko menggambarkan bahwa suasana yang berlangsung di Jakarta sekarang sebagai seseorang yang padanya slogan demokrasi sedang digantikan tempatnya (di jalanan) dengan panggilan untuk revolusi, dan orang itu memanggil kita untuk bekerja keras mengganti pemerintah Indonesia dan mengeluarkan para nara pidana." Trend revolusioner di antara para pekerja dan mahasiswa akan tak terelakkan lagi tumbuh makin kuat sejalan dengan tumbuh dan berkembangnya gerakan.
Kaum borjuis berusaha menenangkan diri mereka bahwa sampai sejauh ini hal-hal itu belum mencapai titik serangan gencar yang sepenuhnya revolusioner; "The villages are quiet", dan yang sejenis itu. Jadilah, seorang yang tengah tenggelam berpegang pada akar lapuk. Impuls revolusioner akan tak terelakkan mengkomunikasikan dirinya dari kota-kota ke pedesaan. Akan ada demonstrasi-demonstrasi dan kerusuhan-kerusuhan baru, tidak hanya (dari) kaum pekerja tetapi oleh buruh tani. Semangat memberontak dari para tentara akan tumbuh. Jika ada sebuah partai yang disiapkan untuk mengajukan ikhwal kekuatan pekerja secara sungguh-sungguh dalam agendanya, kemenangan atas angkatan bersenjata akan lebih mudah. Tetapi, seperti ditunjukkan Albania, bahkan tanpa partai yang demikian, di mana massa menunjukkan cukup kebulatan tekad dan keberanian, angkatan bersenjata tak dapat meraih kemenangan selama perjuangan ini. Lebih lanjut, saat para prajurit jadi mengerti bahwa massa sungguh serius, bahwa ini benar-benar bukanlah sebuah kerusuhan melainkan sebuah usaha sungguh-sungguh untuk merubah masyarakat, maka mental para prajurit inipun telah tertransformasi. Daripada memukul dan menembaki para demonstran, mereka menonton, tersenyum, bahkan melambaikan tangan sebagai dukungan. Di pihak mereka, para mahasiswa telah menangkap bunyi insting bagi taktik selanjutnya. Mereka bergaul dengan para prajurit itu. Situasi ini merupakan isyarat pendirian para staf di jajaran jenderal. Pesan-pesan yang berlawanan datang dari atas. Menantu Soeharto, komandan Kopassus, menuntut diambilnya tindakan tegas, sementara jenderal-jenderal lain lebih menginginkan perundingan dan tetap tenang. Meskipun begini, elemen-elemen pro Soeharto bersiap untuk menggunakan kekerasan. Hal ini terlihat dengan kenyataan bahwa pada malam yang direncanakan sebagai demonstrasi massal pada tanggal 20 Mei, unit-unit (pasukan) yang bergaul akrab dengan mahasiswa telah ditarik dari Jakarta kota dan digantikan dengan yang lebih bergaris keras. Mengomentari hal ini, The Sunday Times menyatakan:
"Pergantian unit pasukan ini mencerminkan ketidaksepakatan di antara golongan-golongan (di antara) para petinggi ABRI tentang bagaimana menangani protes-protes menentang rezim yang makin tinggi (frekwensinya).
"'Golongan-golongan itu adalah mereka yang mengetahui bahwa mereka akan jatuh bersama keluarga Soeharto, mereka yang mengharapkan angkatan bersenjata dapat mengatur sebuah transisi yang damai, dan tentu saja mereka yang berambisi untuk menggantinya' kata seorang diplomat asing yang telah berpengalaman lama (di Indonesia)." (The Sunday Times, 17/5/98)
Koran Spanyol El Pams melaporkan sebuah kejadian dimana seorang prajurit yang menembaki para demonstran digebuki oleh prajurit-prajurit lain dan komandannya harus meminta maaf kepada para demonstran. Di bawah kondisi-kondisi yang demikian, satu bentrokan serius antara aparat dan demonstran akan memperlebar keretakan di dalam angkatan bersenjata. Jika massa terorganisasi untuk mengambil kekuasaan, angkatan bersenjata akan terpecah-belah pada ujicoba pertama (di lapangan). Wiranto menyadari hal ini dan menolak sayap lainnya. Hal ini secara langsung mengantarkan kejatuhan Soeharto.
KAUM IMPERIALIS LUMPUH
Tekanan-tekanan IMF yang tak berbelaskasih, menggunakan kekuasaan atas hutang luar negeri Indonesia sebesar 80 miliar dolar telah membuat Indonesia bertekuk lutut. Tetapi sekarang, menghadapi kebahayaan yang makin mendekat dari revolusi, kaum imperialis menunjukkan dirinya lumpuh dan tak mampu bertindak. The London Financial Times mengerang bahwa negara-negara yang tergabung dalam G-8, setelah pertemuannya yang terakhir dilakukan, bahkan belum melakukan pemecatan atas Soeharto. Bagi tuan-tuan yang duduk di dalam kantor-kantor mereka yang nyaman bermil-mil jauhnya (dari Jakarta) masalah ini dapat dengan mudah disepakati! Hanya dengan membuang Soeharto, semuanya akan berjalan dengan baik. Malangnya, persoalan tidak akan dengan mudah dibereskan. Itulah mengapa para pemimpin Kelompok 8 tidak membuat panggilan untuk penghentiannya. Para penasehat mereka, tak usah diragukan lagi, telah memperingatkan mereka bahwa jika Soeharto diganti, hal itu dapat membuka pintu air lebar-lebar dan memindahkan perintang mereka yang terakhir, sekat rapuh antara mereka dan kekacauan. Dilema ini akrab bagi orang-orang yang belajar dari sejarah: reformasi dari atas untuk mencegah revolusi dari bawah paling sering menimbulkan akibat berlawanan. Penghentian Soeharto akan berbahaya, tidak menghentikannya tetap saja lebih berbahaya. Apa pun yang mereka lakukan akan salah. Sementara di depan publik bertindak menghimbau adanya hak-hak asasi di Indonesia, secara rahasia Washington mengulurkan tangan kepada Soeharto hingga saat terakhir, sebagaimana diindikasikan oleh kunjungan menteri pertahanan AS, William Cohen, baru-baru ini ke Jakarta. Cohen mengindikasikan bahwa Amerika akan mengembalikan posisi Soeharto secara politis selama periode ini, dia membuat menjadi jelas "stabilitas struktural" di Asia Tenggara adalah prioritas utama bagi AS dan Indonesia di tempatkan di tengah kerangka kerja ini. Ditanya mengenai kemungkinan Soeharto tetap menduduki kursi presiden, Cohen membalas: "Saya tidak mencoba menutupi aspirasi-aspirasi politiknya. Tetapi dari semua hal yang saya lihat, beliau sangat kuat dan berada pada kesehatan yang sangat prima, hal ini berbeda dengan rumor-rumor yang beredar akhir-akhir ini." Cohen memperkuat komentar ini dengan gestur yang lebih kongkrit berjanji untuk melobi kongres AS untuk memperbaiki partisipasi Indonesia dalam program latihan militer Pentagon. Kongres menangguhkan partisipasi Indonesia menyusul sebuah kampanye yang dilakukan oleh beberapa anggotanya mengenai Timor Timur, pemerkosaan hak-hak buruh, dan dana yang dikeluarkon oleh kroni berbangsa Indonesia untuk kampanye pemilihan presiden dari kubu Partai Demokrat.
Pertemuan antara Cohen dan Menhankam Feisal Tanjung terjadi hanya beberapa hari setelah Tanjung mengatakan, "Angkatan bersenjata tak akan ragu-ragu menindak keras kelompok-kelompok anti pemerintah." Tanjung menambahkan bahwa angkatan bersenjata akan siap menghadapi ancaman keamanan apa pun menjelang Sidang Umum MPR bulan Maret. "Kami akan merobohkan dan membuat tidak berkutik kelompok mana pun, dari kanan atau kiri, yang berani menentang pemerintah," katanya kepada para wartawan. Dia juga mengatakn bahwa Badan Intelijen ABRI tengah mengawasi seluruh kelompok ekstrim yang berencana untuk mengganggu sidang MPR. Dunia barat menginginkan proses berjalan demikian, dengannya kepentingan dunia barat akan tetap terpelihara, yaitu bahwa imperialisme dan kapitalisme tetap mencekik rakyat Indonesia. Tetapi manuver-manuver ini tidak akan menyelasaikan masalah apa pun. Kaum imperialis, bahkan dengan kekuatan ekonomi dan militernya bisa jadi malah terbelah dan tak berdaya menghalangi. Ancaman-ancaman mereka adalah seperti apa yang dikatakan oleh Shakespeare, "lantang dan geram, tak mempunyai arti apa-apa.".
Kakacauan-kakacauan telah melumpuhkan perekonomian secara temporer. Sebuah laporan baru-baru ini menandaskan bahwa:
"Aktivitas di pelabuhan Belawan, Medan, terhenti dengan banyaknya truk pengangkut barang tertahan di jalan-jalan kota disebabkan kerusuhan. Medan, kota ketiga terbesar di Indonesia, pusat perdagangan dengan penghasilan daerah yang utama berupa karet dan kopi. Medan, kota yang berpenduduk 2 juta jiwa adalah pusat perdagangan dan komoditas terpenting Indonesia bagian barat.
"Di Malang, Jawa Timur, mahasiswa dan polisi bentrok di dua tempat terpisah. Menurut harian Jawa Timur, Jawa Pos, 49 polisi dan 30 orang mahasiswa cedera. Baku hantam pecah ketika para mahasiswa dari Universitas Merdeka dan Innnstitut Teknologi Nasional berusaha turun ke jalan pada hari Sabtu. Jawa Pos melaporkan bahwa korban cedera terjadi dalam bentrok dimana aparat keamanan menggunakan gas air mata, semprotan air, dan tembakan peringatan, sementara para mahasiswa melemparkan batu-batu dan pecahan bata." (Kompas, 8/5/98)
Mengetahui bahwa lakon akan segera bangkit, kaum imperialis terbang dari Indonesia seperti tikus-tikus wirog melarikan diri dari kapal yang tenggelam: "Di antara ribuan orang asing yang terbang (meninggalkan Indonesia), banyak yang hengkang secepatnya ini adalah bankir-bankir penanam investasi dan para broker pemberi pinjaman pada perusahaan-perusahaan korup di Indonesia, dimana pinjaman-pinjaman ini telah menggiring krisis keuangan dan chaos di masyarakat. Para birokrat dari IMF dan Bank Dunia yang resepnya mengenai penghematan ekonomi dan kenaikan harga telah membakar kebencian orang banyak, buru-buru meninggalkan negeri itu begitu ibu kota terbakar." (The Sunday Times, 17/5/98.)
Tuan-tuan berjas kelabu yang kemarin menyombongkan keuntungan-keuntungan yang mereka cipta di Asia, kini bergegas minggat. Investor-investor asing telah memasang sumbat ke Indonesia: "Apa yang tengah terjadi di Indonesia di luar jangkauan ilmu ekonomi," kata Walter Cheung, Direktur pelaksana The Canadian Imperial Bank of Commerce. "Saya akan mencoba untuk menjaga jarak dari negara itu." (The Guardian, 7/5/98.)
Selama tiga dekade mereka ini membutakan mata terhadap kediktatoran berdarah dari Soeharto, sebab Soeharto memberi mereka "stabilitas" yang diperlukan untuk merampok dan mengeksploitasi rakyat Indonesia. Sekarang rakyat itu menuntut balas. Tak ada lagi stabilitas. Hukum-hukum tanpa ampun dari imperialisme dan para pencekik lokal telah menarik Indonesia ke dalam krisis. Modal asing telah melayang dan tidak akan kembali hingga --mereka harap-- kembalinya "stabilitas" di bawah rezim baru yang sejenis, dengan tumbal para pekerja dan buruh tani. Ini berarti bahwa rakyat Indonesia akan menghadapi perpanjangan masa kesukaran ekonomi yang sungguh buruk, kemiskinan dan pengangguran, kecuali kelas pekerja mengambil kekuatan ke tangannya sendiri dan untuk selamanya mengakhiri dominasi monopoli modal asing dan agen-agen lokalnya di dalam negeri. Jika revolusi rakyat Indonesia ingin berhasil, maka ia haruslah revolusi nasional yang sejati --dengan kata lain, sebuah revolusi anti-imperialis. Tetapi revolusi nasional di kondisi-kondisi sekarang ini hanya dapat berhasil sebagai sebuah revolusi anti-kapitalis, dimana di dalamnya kaum buruh tani dan seluruh rakyat yang tereksploitasi bersatu di bawah kepemimpinan kaum pekerja. Tugas-tugas utama dari revolusi nasional-demokratik adalah secara langsung membimbing kepada revolusi sosialis. Kaum borjuis tak akan berkutik. Seluruh sejarah Indonesia sejak Perang Dunia II adalah bukti dari hal ini.
MANUVER-MANUVER SOEHARTO
Pengunduran diri Soeharto karena tekanan gerakan massa sejatinya tidak memecahkan masalah apa pun. Pada kesempatan pertama dia telah membuat manuver pertama memasang pengikutnya, wakil presiden Habibie, sebagai penggantinya. Diumumkan adanya pemerintahan transisi yang bertugas menyelenggarakan pemilihan umum dalam waktu 6 bulan. Tetapi 6 bulan terlalu lama untuk kondisi-kondisi demikian. Seluruh negeri telah mendapatkan pijakan. Harapan-harapan tumbuh. Pengunduran diri diktator yang dibenci itu akan menciptakan pada massa perasaan bahwa mereka memiliki kekuatan mereka sendiri. Di sisi lain, krisis ekonomi akan menjadi lebih buruk dan menyakitkan sebagai akibat menghindarnya pemodal asing. Kolapsnya produksi dan perusahaan menciptakan bahaya kelaparan yang nyata. Indonesia diancam mala petaka mengerikan. Para pengekspor dari negara-negara lain tidak disiapkan untuk mengirim bahan makanan, kecuali mereka dibayar tunai. "Dengan krisis finansial Indonesia yang makin dalam dan kelumpuhan sitem finansial, para diplomat mengingatkan adanya problem-problem yang membengkak. Harga daging, beras, dan sayur-mayur di Jakarta naik 10 persen setelah kerusuhan minggu lalu, mempertajam lonjakan harga sejak krisis ekonomi Indonesia mulai terjadi tahun lalu." (Financial Times, 20/5/98.) Dan mereka pun menambahkan: "'Kami menunda pengapalan, kecuali kalau Letters of Credit dijamin oleh institusi-institusi negara ketiga seperti Hongkong dan Singapura' banyak eksportir gula dan beras Thailand menuntut pembayaran tunai." (Ibid)
Hal ini berarti dalam waktu yang amat cepat Indonesia terancam bahaya kelaparan. Kaum imperialis yang telah memeras darah negara-negara dunia ketiga selama bergenerasi lamanya dapat membuka dan menutup keran persediaan tanpa memusingkan akibat-akibatnya. Mereka menginginkan daging empuk sebagai milik mereka, dan hanya tertarik pada kalkulasi-kalkulasi yang sama sekali komersial. Para mahasiswa dan pekerja harus menuntut adanya penyesuaian yang tegas atas harga yang layak, di bawah kontrol para pekerja, buruh tani, mahasiswa; yaitu Dewan. Untuk membayangkan bahwa massa akan menjadi bagian di dalam Dewan yang menyelesaikan problem-problem mereka yang paling mendesak dengan menunggu selama 6 bulan, sama sekali tidak real. Akan terjadi ledakan-ledakan baru. Pertanyaan-pertanyaan mengenai demokrasi akan terpatri dalam pikiran rakyat, bersamaan dengan pikiran tentang ksisis ekonomi sekaligus mereka yang bertanggung jawab atasnya. Akan menjadi jelas kelihatan bahwa Soeharto hanyalah melakukan manuver di belakang skenario ini dengan tujuan untuk melindungi keuntungan usaha keluarganyanya yang diperoleh dengan cara tidak sehat, sementara ia sendiri tetap melanjutkan memerintah melalui kaki tangannya, Habibie, yang bermaksud untuk bertahan hingga tahun 2003!
Berita pengunduran diri Soeharto disambut dengan kegembiraan yang menggila. Para mahasiswa dan oposan-oposan lainnya berjoged di jalanan. Adegan yang demikian telah disaksikan pada permulaan setiap revolusi dalam sejarah. Ini adalah sebuah tahap yang tak bisa dihindari --tahap kegembiraan universal dan ilusi-ilusi demokratis-- seperti bulan Februari 1917 di Rusia dan tahun 1931 di Spanyol. Tetapi setelah pawai inisiasi, masuklah masa penghilangan ilusi, mempersiapkan tahap berikutnya, yaitu radikalisasi massa dan mempertegas polarisasi kanan dan kiri. Dengan adanya kedalaman krisis di Indonesia, tahap kegembiraan tidak akan berlangsung lama. Para mahasiswa telah secara sengit memusuhi Habibie dan memunculkan kritik terhadap para pemimpin oposisi borjuis yang berusaha menyangganya.
Para pemimpin oposisi kaum borjuis menunjukkan warna asli mereka dengan mengakui Habibie secara cepat. Amien Rais menjatuhkan dirinya sendiri dengan pernyataannya yang tergesa-gesa mengakui bahwa pemerintahan Habibie adalah "pemerintahan Indonesia yang sah". Sesungguhnya, "legitimasi" Habibie ada pada kenyataan bahwa secara personal ia ditunjuk oleh sang diktator Soeharto dan disetujui oleh majelis nasional yang jinak. Alasan sesungguhnya mengapa Habibie dan kawan-kawan ingin mengakui (pemerintahan) Habibie adalah karena mereka ngeri bahwa gerakan massa akan melewati batas sistem kaum borjuis. Para mahasiswa telah dan terus menuntut agar Soeharto dan kroni-kroninya diseret ke pengadilan. Tiga organisasi mahasiswa terbesar di Indonesia telah mengutuk suksesi Habibie: "Kami menolak pemilihan Habibie ke kursi kepresidenan karena ia adalah bagian dari rezim yang sama," kata Rama Pratama, ketua Senat Mahasiswa UI Jakarta.
Para petinggi ABRI juga mendukung Habibie. Segera setelah Habibie diambil sumpahnya, Pangab Jenderal Wiranto, "menyatakan pihak militer memberi dukungan kepada presiden baru dan mengatakan bahwa militer akan mencegah kekacauan di masa datang. Ia juga berjanji untuk melindungi Soeharto dan keluarganya yang sama sekali tidak populer (bagi rakyat)" (Financial Times, 5/2/98.)
Wiranto dan militer mimpi menginginkan "orde" --yaitu pengawetan rezim lama yang opresif dalam warna berbeda. Itulah mengapa mereka menyokong Habibie sebagai kandidat "konstitusional" dan mengancam akan menggunakan kekerasan melawan tiap orang yang melawannya (Habibie). Bagaimanapun, ancaman-ancaman Wiranto kosong belaka. Ketidakmungkinan militer melawan massa pada tahapan ini telah diperlihatkan oleh divisi-divisi atasan sebelum kejatuhan Soeharto. Ini menunjukkan bahwa, pada tahap ini, reaksi lumpuh. Jika saja ada sebuah kepemimpinan revolusioner yang sejati, para pekerja dan mahasiswa dapat mengambil kekuasaan secara damai, tanpa perang sipil. Tetapi jika kaum pekerja tidak mengambil kekuasaan, Wiranto akan dipersiapkan untuk mengarungi sungai darah demi mencekik mati revolusi.
Di belakang skenario-skenario ini Wiranto dan jenderal-jenderal reaksioner lain akan menyusun plot dan konspirasi yang akan menyebabkan timbulnya berbagai gejolak lebih lanjut. Lagi-lagi, para pekerja akan bergerak untuk mengubah masyarakat. Gerakan tidak dapat dihentikan, naik turun selama periode beberapa tahun sebelum menemukan solusi final baik dengan melalui jalan revolusi atau pun kontra revolusi. Akan tiba saatnya bagi kekuatan marxisme sejati untuk membangun landasan semangat massa yang diperlukan, di atas basis penjelasan yang sabar mengenai proses. Massa akan belajar melalui sekolah yang keras, yaitu pengalaman. Satu per satu pemimpin-pemimpin yang disebut "demokratik" akan diekspos dan sayap revolusioner akan memperoleh keuntungan dalam hal kekuatan.
Telah dipastikan bahwa Habibie akan bertahan lama. Kondisi massa yang putus asa akan tanpa bisa dicegah berakibat dalam gerakan-gerakan revolusioner yang baru. Meskipun demikian, pemimpin-pemimpin oposisi yang borjuis akan terdorong ke arah pemerintah, di mana kebobrokan politik mereka akan terekspos hingga terlihat oleh semua orang. Para penyusun strategi kapitalis telah mengerti hal ini: "'Tak ada seorang pun yang cukup jelas,' kata Alan Dupont, anggota dari Centre for Security and Defence Studies di Universitas Nasional Australia. Kita dapat melihat dengan baik sebuah pemerintahan persatuan nasional yang di dalamnya termasuk Amien Rais, Try Sutrisno, dan mungkin bahkan Ginanjar'(menteri Ekonomi, Keuangan, dan Industri). 'Siapapun, ia harus didukung oleh angkatan bersenjata.'" (Financial Times, 22/5/98.)
Tuntutan pertama dari sebuah partai revolusionar di Indonesia pastilah pengambilalihan seluruh harta kekayaan Soeharto dan para anteknya. Selama tiga dekade para lintah darat yang kaya raya ini telah menghisap rakyat Indonesia. Belum cukup bahwa Soeharto disuruh pergi (dari kursi kepresidenan). Dia harus ditelanjangi dari segala kekayaan yang diperolehnya secara keji! Semuanya harus dikembalikan kepada rakyat. Soeharto berusaha untuk berpegang kukuh pada kekuasaan sungguh-sungguh karena ia takut bahwa ia akan kehilangan seluruh kekayaan dan harta bendanya. Dia melakukan manuver untuk mempertahankan posisi terhormat keluarganya, sambil mengadakan perubahan kosmetikal yang, essensinya, tidak mengatasi apapun. Sekali massa menyadari kenyataan ini, itu akan memberikan impuls lebih jauh terhadap revolusi dan menanamkan padanya sebuah karakter yang jauh lebih kukuh tak tergoyahkan.
Kebohongan yang dijajakan adalah bahwa tiap orang "mendukung reformasi. Negara dalam persatuan". Bahkan Soeharto "mendukung reformasi", dengan catatan dia sendiri yang menentukan reformasi itu terdiri dari apa saja! Untuk melaksanakan pemilu, kredibilitas apa yang mereka punyai kalau semua mesin negara yang lama tetap utuh? Masalah yang tetap: siapa yang akan memanggil mereka untuk bersidang? Di bawah syarat-syarat apa mereka terpilih? Rakyat Indonesia, setelah 32 tahun, telah amat kenal dengan rezim Soeharto hingga susah untuk menaruh sedikit saja kepercayaan pada janji-janji dan "niat baik"-nya. Jadi masalahnya adalah bukan pemilihan umum dengan utau tanpa Soeharto, melainkan penumbangan rezim Soeharto dan penghapusan revolusioner terhadap rezim korupsi dan penindasan yang melingkupinya. Revolusi yang sekarang terbuka di depan mata kita tidak akan merupakan sebuah aksi tunggal. Ia akan terbuka dalam bilangan bulan dan tahun, dengan segala pasang surutnya. Ia akan berkembang dalam keluasan dan intensitas, bersamaan dengan masuk dan teradikalisasinya para pendukung baru. Diperlukan sebuah pembersihan, dimana dengannya akan dibersihkan keluar setiap perseorangan yang telah terlibat dalam rezim bandit itu. Mereka yang terlibat kejahatan terhadap rakyat harus ditangkap dan dihukum. Di atas semua itu, kekayaan yang dicuri dari rakyat harus disita.
Tindakan-tindakan yang demikian tidak dapat diharapkan datang dari kaum oposisi yang borjuis. Di dunia barat, Amien Rais, Ketua Muhammadiyah, digembar-gemborkan sebagai seorang pemimpin oposisi demokratik, tetapi pada nyatanya dia telah muncul sebagai penentang rezim Soeharto hanya sejak pemilu Mei 1997. Sebelum ini, sementara kadang-kadang kekritisannya amat tajam pada isu-isu spesifik, tetap saja ia bertahan dalam kerangka kerja "oposisi yang loyal pada Baginda Raja". Hanya di bulan-bulan terakhir, merasakan bumi berguncang di bawah kakinya, ia mulai menghimbau Soeharto untuk turun. Bahkan kemudian, pada setiap tahapan, dia telah bertindak sebagai rem bagi pergerakan, melakukan apa saja yang mungkin untuk menghindari suatu konflik terbuka, menyiramkan air dingin di atas pergerakan massa, dan melindungi rezim lama yang --pada dasarnya-- ia termasuk di dalamnya. Kaum borjuis dilumpuhkan rasa takut. Takut kepada massa, militer, gejolak, imperialisme, --takut kepada semua hal. Mereka ngeri menyongsong kekuasaan-- jadilah mereka secara pengecut mendukung Habibie. Sialnya, para pemimpin PRD takut untuk berseberangan dengan kaum liberal borjuis. Tetapi di titik jang paling tertentu, massa akan membawa mereka dengan ancaman sayatan di leher dan mendorong mereka menuju kekuasaan, dimana mereka akan mengalami ujian yang sesungguhnya.
Kenyataan ini menjadi jelas ketika (Amien) Rais yang disebut sebagai oposan muslim mengabaikan semua demagogi anti rezimnya, mengumumkan pembatalan demonstrasi massa besar-besaran yang direncanakan pada tanggal 20 Mei. Tak ada keraguan sedikitpun bahwa, jika sampai terjadi, itu akan merupakan demonstrasi terbesar dalam sejarah Indonesia. Berhadapan dengan gerakan dalam skala yang demikian besarnya, rezim tak akan berdaya. Revolusi dapat dicapai dengan damai. Para pemimpin oposisi yang borjuis mencoba bersembunyi di belakang pembatalan tentang adanya pembelaan tentang adanya resiko terjadinya kekerasan dan perang sipil. Padahal kenyataanya mereka sama takutnya dengan ketakutan pemerintah terhadap massa yang memimpin dirinya sendiri. Untuk membawa pergerakan hingga akhir tujuannya, akan perlu untuk mengesampingkan mereka yang disebut "para pemimpin" ini, yaitu mereka yang hanya memiliki tujuan di dalam hidup ini untuk menyelamatkan sebanyak mungkin rezim lama, sementara mereka mengincar posisi dengan bayaran massa yang atas massa ini mereka bicara dusta, dan massa ini pula yang akan mereka hianati pada kesempatan paling pertama. Tugas pertama bagi siapa pun demokrat yang jujur dan konsisten di Indonesia adalah membuka topeng para pemimpin palsu ini di depan rakyat. Tak ada solusi setengah-setengah dan kompromi yang curang! Perlu sekali untuk terus sampai ke akhir! Untuk tujuan ini, para pekerja, buruh tani, dan mahasiswa harus tidak menaruh kerpercayaan kepada kaum borjuis liberal yang busuk, melainkan percayalah hanya pada diri mereka sendiri, perjuangan mereka, percayalah pada gerakan massa revolusioner.
Para mahasiswa menuntut agar Soeharto diadili. Tentu! Makhluk mengerikan ini membunuh lebih dari sejuta orang. Hal itu tak bisa dilupakan. Tiran ini harus mempertanggungjawabkan kejahatannya yang luar biasa banyak. Rakyat menuntut balas. Jika Soeharto tidak lengser pada waktunya, dia akan mengalami nasib yang sama seperti Ceaucescu yang, dalam banyak hal, merupakan kembarannya. Kelanjutan dari hal-hal dimana rezim ini berlumuran darah, derajat dan kondisi dimana ia telah menjarah negara, berarti bahwa ia (rezim) akan susah untuk menenangkan massa yang bangkit. Waktu bagi kata-kata, janji-janji, dan pidato-pidato, sudah lama lewat. Massa melihat standar hidup mereka terpuruk. sementara harga-harga membumbung tinggi, upah yang sejati terpotong hingga setengah harga semula. Tentu saja, jika kaum imperialis berniat menaruh uang dalam jumlah yang amat besar, bisa jadi semuanya akan menjadi lain. Tapi jelas ini diluar pembicaraan sebab ada terlalu banyak rezim yang berada dalam kesulitan meminta jaminan mereka. Jauh dari pada membantu diktator yang merana itu dengan sedekah yang banyak, dunia Barat menodongkan senjata ke kepalanya dan, sebagai akibatnya, dalam sekejap mendorongnya ke dalam krisis. Tetapi kemudian, tak ada kehormatan di antara sesama maling! Monopoli-monopoli besar dunia Barat menangguhkan investasi-investasi sampai intensi pemerintahan baru menjadi lebih jelas. Mereka menginginkan sebuah signal yang jelas yang dilakukan untuk "reformasi" --yaitu signal-signal tersebut dijalankan untuk melanjutkan kebijaksanaan IMF yang menempatkan beban krisis kepundak pekerja dan buruh tani.
REVOLUSI ASIA TELAH MULAI!
Ini adalah awal revolusi, tidak hanya di Indonesia melainkan di seluruh Asia dan secara potensial berskala dunia. Di mana-mana krisis ekonomi dunia memproduksi suatu intensifikasi dari polarisasi antara kelas. Di Korea, usaha kaum borjuis untuk menempatkan beban krisis di pundak kelas pekerja, bersembunyi di belakang pemerintahan "Kim Dae Jung yang progresif" telah terperosok sebagai lawan para pekerja Korea. Konfederasi serikat buruh memberi respon dengan mengadakan demonstrasi massa dan pemogokan nasional setelah bulan ini. Serikat buruh menginginkan tidak ada yang diistirahatkan ataupun di PHK dan mengajukan tuntutan upah yang lebih baik, pembagian kerja, dan pengurangan jam kerja tanpa harus potong gaji. The Economist menyampaikann, "Kesemuanya ini merupakan suatu reaksi yang sangat berbeda dibanding situasi yang dialami Kim saat pertama kali mengadakan pertemuan kota pada bulan Januari, waktu ia menjadi presiden terpilih. Waktu itu popularitasnya memuncak dengan sembilan dari sepuluh orang Korea mendukungnya. Sekarang ia berhadapan dengan sebuah parlemen yang murka dan para pekerja yang marah... Tanggal 13 Mei, Kim memperingatkan mahasiswa untuk tidak bergabung dengan serikat buruh di jalanan. (The Economist, 16/5/98.)
Hal ini merupakan sebuah peringatan pada para pekerja Indonesia tentang apa yang terjadi saat anda menaruh kepercayaan kepada kaum borjuis "progresif". Dalam perjalanan kolaborasi kelas tidak ada jalan keluar. Jalan yang demikian berarti lebih banyak ketegangan, pengangguran,dan kelaparan, serta makin banyaknya perbudakan di Indonesia, Korea, dan negara-negara lain terhadap imperialisme. Saat ini seluruh Asia merupakan ketel penuh rasa ketidakpuasan yang mendidih. Tanggal 1 Mei, di Jepang, kita lihat demonstrasi kaum pekerja yang terbesar selama bertahun-tahun --dua juta orang menghadiri pertemuan dalam lebih dari 1.000 tempat, menurut kantor berita Kyodo. Para demonstran mencela kebijakan pemerintahan Hashimoto. Pengangguran di Jepang (tercatat 3,9%) merupakan rekor tertinggi sejak 1953.
Bukanlah kebetulan bahwa tepat pada saat ini India meledakkan perangkat nuklirnya yang pertama. Ini diartikan sebagai sebuah diversi, untuk menghadang perkembangan revolusi di India. "India adalah sebuah kekuatan dunia yang besar!" hal ini dimaksudkan sebagai pesan yang akan membuat berjuta-juta orang lupa akan penderitaan dan kelaparan mereka. Secara temporer, ia akan mempunyai beberapa akibat, sebagaimana kibaran bendera orang-orang dari kaum borjuis kecil yang berjoget di jalanan. Tapi tak akan berlangsung lama. Ketika kabut chauvinisme menjernih, para pekerja dan buruh tani India akan sekali lagi bangun untuk bergelut dengan kenyataan-kenyataan hidup. Dalam realitas, seluruh syarat untuk revolusi di India telah matang --tidak kurang dari pada di Indonesia. Satu-satunya yang kurang adalah faktor subjektif. Apa yang disebut partai-partai komunis India memainkan peran tidak terhormat, berakting sebagai selang (pemadam) kebakaran dari pada mempersiapkan massa untuk kekuatan dan kekuasaan.
Potensi revolusioner amatlah besarnya. Tetapi dalam ketiadaan faktor subyektif, juga merupakan faktor kekalahan. Lewat periode dua, tiga, atau lima tahun, masalah power akan bukan masalah bagi kelas pekerja seiring berlalunya waktu. Jika ada, meski kecil, sebuah nukleus revolusioner, seluruh situasi bisa diubah. Tapi dengan ketiadaan hal ini, dan dengan kebijakan-kebijakan menghancurkan yang dilancarkan oleh kepemimpinan partai komunis, revolusi yang luar biasa di Indonesia dapat berakhir lagi dalam kekalahan. Revolusi akan melewati berbagai tahapan, kita sekarang hanya sedang menyaksikan aksi pertamanya. Kemungkinan kemenangan bagi kelas pekerja akan bergantung pada kualitas kepemimpinan. Para mahasiswa dan para pekerja telah memperlihatkan keberanian dan inisiativ yamg hebat. Dipersenjatai dengan sebuah program dan perspektif yang benar, kemenangan akan dipastikan. Tetapi jika kepemimpinan yang dibutuhkan tidak dibangun, situasi chaos kemudian akan berkembang dan bahkan elemen-elemen barbarisme seperti di Uganda dan Somalia muncul memecah Indonesia dan timbul sebuah kediktaktoran yang baru yang bahkan lebih berlumuran darah. Namun jauh sebelum hal itu tiba, kaum proletar Indonesia akan ssudah berhadapan dengan kesempatan untuk memegang kekuasaan, tidak hanya satu kali melainkan berkali-kali. Apakah kemenangan-kemenangan yang paling gemilang ataukah kekalahan-kekalahan yang paling mengerikan --hanya inilah dua pilihan yang dihadapi revolusi rakyat Indonesia.
London, 22 Mei 1998