Sumber : Leon Trotsky: Communist Policy Toward Art
Penterjemah : Dewey Setiawan
Versi Online : Indomarxist.Net, Februari 2005
----
Adalah salah bahwa seni revolusioner hanya bisa diciptakan oleh para pekerja saja. Karena revolusi saat ini adalah revolusi kelas pekerja, maka revolusi hanya akan menyita–mengulangi apa yang sudah disebutkan sebelumnya –sedikit energi kelas pekerja untuk bidang seni. Selama berlangsungnya revolusi Prancis, karya terbesar yang mencerminkan secara langsung atau tidak revolusi ini bukanlah datang dari seniman-seniman Prancis, tapi seniman-seniman Jerman, Inggris, dan negara-negara lain. Borjuis Prancis, yang langsung berurusan dengan jalannya revolusi, hanya menyediakan sedikit kekuatannya untuk mengkreasi kembali dan mengabadikan jejak langkahnya dalam karya seni. Tidaklah salah pendapat yang menyatakan bahwa kaum proletar, yang memiliki budaya tersendiri dalam segi politik, kekurangan karakter budaya yang khas dalam bidang seni. Kaum intelektual, disamping diuntungkan dengan kualifikasinya yang baik tentang bentuk, memiliki privilese dengan pengambilan posisi politiknya yang pasif, yang salah satunya ditandai dengan adanya dukungan dan penentangan mereka dalam tingkatan besar maupun kecil terhadap revolusi Oktober.
Karenanya tidak mengejutkan bahwa kaum intelektual kontemplatif mampu untuk memberi, dan memberi, sebuah reproduksi artistik yang lebih baik dibanding kaum proletariat yang melaksanakan revolusi, meski re-kreasi kaum intelektual tersebut sedikit banyak tidak sesuai. Kita mengetahui dengan baik batasan-batasan politik, instabilitas dan ketidakteguhan saudara petualang kita ini. Tapi jika kita harus menghapus Pilnyak dengan The Naked Year-nya, "Serapion Fraternity" oleh Vsevolod Ivanoy, Tikhonoy, dan Polonskaya, jika kita harus mengeliminasi Mayakovsky dan Eannin, adakah yang masih tersisa bagi kita selain beberapa lembar cek tak terbayar tentang sastra proletariat masa depan? Atau Demyan Byedny, yang tak bisa dimasukkan dalam kalangan petualang tersebut dan, seperti harapan kita, yang juga tak cocok untuk dihubungkan dengan sastra revolusioner, dalam pengertian seperti yang didefinisikan oleh manifesto Kuznitsa. Lalu apa lagi yang tersisa?
Tidakkah itu berarti bahwa partai, cukup bertentangan dengan sifatnya selama ini, mengambil posisi eklektik murni dalam lapangan seni? Argumen ini, yang semula mungkin terasa mengena, dalam kenyataannya benar-benar kekanak-kanakan. Metode Marxis memberikan sebuah kesempatan untuk mengestimasi perkembangan seni baru, untuk menelusuri semua sumber-sumbernya, dan membantu kecenderungan-kecenderungan paling progresif melalui pencerahan kritisnya, tapi partai tak perlu berbuat lebih dari itu. Seni harus menciptakan jalannya sendiri, dan melalui alat-alatnya sendiri. Metode Marxis tidaklah sama dengan metode artistik. Partai memimpin kaum proletariat tapi bukannya proses historis sejarah. Ada wilayah dimana partai harus memimpin, secara langsung dan imperatif. Ada wilayah dimana partai hanya bekerja sama saja. Dan pada akhirnya, ada wilayah dimana partai hanya mengorientasikan dirinya. Wilayah seni bukanlah wilayah dimana partai terpanggil untuk memberikan komando. Partai memang harus melindungi dan membantu seni, tapi partai seyogyanya sebatas memimpin secara tidak langung. Partai dapat dan harus memberikan bantuan pendukung melalui kepercayaannya terhadap kelompok-kelompok seni yang beragam, yang sedang berjuang secara jujur untuk melakukan penelaahan atas revolusi dan membantu formulasi artistik revolusi. Dan pada tingkatan apapun, partai tidak bisa dan tidak seharusnya mengambil posisi pada lingkaran sastra yang sedang berjuang dan berkompetisi melawan lingkaran sastra yang lain.
Partai berdiri untuk menjaga kepentingan-kepentingan historis kelas pekerja secara menyeluruh. Karena partai secara sadar dan selangkah demi selangkah menyiapkan dasar bagi sebuah budaya baru dan juga seni baru, partai sewajarnya menganggap saudara sastrawan petualangnya itu bukan sebagai kompetitor kelas pekerja, tetapi sebagai penolong yang nyata dan potensial bagi kelas pekerja dalam kerja agung rekonstuksi. Partai memahami karakter episodik kelompok-kelompok sastra dalam sebuah periode transisi dan memperhitungkan mereka, bukan dari sudut pandang paspor kelas tuan sastrawan individu itu, tapi dari sudut pandang apa yang kelompok-kelompok tersebut tangani dan mampu tangani dalam mempersiapkan budaya sosialis. Karena mustahil untuk menentukan tempat dari sebuah kelompok tertentu saat ini, partai komunis, sebagai partai, akan menunggu dengan sabar dan elegan. Kritikus individu boleh-boleh saja bersimpati lebih dulu dengan satu kelompok atau lainnya. Partai, secara keseluruhan, melindungi kepentingan-kepentingan historis kelas pekerja dan harus lebih obyektif dan bijaksana. Perhatiannya harus berbilah dua. Kalaupun partai tidak memberikan stempel persetujuan atas Kuznitsa, atas dasar tulisan pekerja tentangnya, partai hendaknya tidak meminggirkan kelompok sastra apapun, bahkan dari kalangan kaum intelektual, hingga tingkatan dimana kelompok tersebut mencoba untuk menelaah revolusi dan memperkuat satu dari hubungan-hubungannya– sebuah jaringan selalu merupakan sebuah titik lemah –antara kota dan desa, atau antara anggota partai dan kaum non-partisan, atau antara kaum intelektual dan pekerja.
Tidakkah kebijakan seperti itu berarti, bagaimanapun juga, bahwa partai akan kurang terproteksi pada sayap seninya? Ini hanyalah pembesar-besaran masalah belaka. Partai tetap akan menghancurkan kecenderungan-kecenderungan seni yang memecah belah dan jelas-jelas beracun, dan akan membimbing dirinya sendiri dengan standar-standar politik yang dimilikinya. Adalah benar bahwa partai kurang terproteksi sayap seninya seperti seperti halnya front politiknya. Tapi bukankah ini masalah kebenaran ilmu pengetahuan juga? Apa yang para kaum metafisik ilmu pengetahuan proletar murni akan katakan mengenai teori relatifitas? Dapatkah ini didamaikan dengan materialisme, atau memang tak bisa? Sudahkan pertanyaan ini terjawab? Dimana, kapan dan oleh siapa? Jelas bagi semua orang, bahkan bagi yang tak berpengetahuan, bahwa karya dari fisiologis kita, Pavlov, seluruhnya berada dalam jalur-jalur materialis. Tapi bagaimana dengan teori psikoanalisa Freud? Dapatkah ini didamaikan dengan materialisme seperti yang, misalnya, Karl Radek (dan saya juga) pikirkan, atau ini memang bertentangan dengan materialisme? Pertanyaan yang sama dapat diterapkan juga pada semua teori-teori baru tentang struktur atom, dan sebagainya. Bukanlah suatu masalah jika ada seorang ilmuwan mencoba mengembangkannya, sehingga dapat menguasai seluruh semua generalisasi baru ini secara metodologis dan memperkenalkannya pada konsepsi materialis dialektis dunia. Dia karenanya akan mampu, pada waktu yang bersamaan, menguji coba teori-teori baru tersebut serta mengembangkan metode dialektik secara lebih mendalam. Namun saya begitu khawatir bahwa karya ini–yang tentunya bukan berupa koran atau artikel jurnalistik saja, tapi lebih menyerupai tonggak filosofis dan ilmiah, seperti halnya Origin of Species dan Capital-tidak akan tercipta baik hari ini maupun besok, atau lebih tepatnya, jika masa penyusunan buku tersebut dimulai hari ini, karya ini akan beresiko tetap tak terselesaikan sampai saat kaum proletar sudah menurunkan perlawanannya.
Tapi tidakkah kerja penguasaan budaya, yaitu, kerja penguasaan ABC dari budaya pra-proletariat, mengasumsikan kritisisme, seleksi, dan sebuah standar kelas? Tentu saja iya. Tapi standar yang dimaksud adalah standar politis dan bukannya standar budaya yang abstrak. Standar politik bersesuaian dengan standar budaya hanya dalam pengertian luas bahwa revolusi menciptakan kondisi untuk lahirnya budaya baru. Tapi ini bukannya berarti bahwa kesesuaian tersebut dapat dijamin dalam setiap kasus-kasus. Jika revolusi mempunyai hak untuk menghancurkan jembatan-jembatan dan monumen-monumen seni kapanpun diperlukan, revolusi juga akan tetap menghela perlawanan atas kecenderungan dalam seni yang, tak peduli seberapa besar pencapaiannya dalam bentuk, mengancam persatuan yang ada dalam lingkungan revolusioner atau membangkitkan kekuatan-kekuatan internal revolusi, yaitu, kaum proletariat, petani dan kaum inteletual dalam pertentangan satu sama lain. Standar kita dalam konteks ini jelas-jelas bersifat politis, imperatif, dan tanpa toleransi. Untuk persoalan ini, revolusi harus menentukan batasan-batasan dari aktivitasnya secara jelas. Dalam ekspresi yang lebih tajam, saya menyatakan: kita harus mempunyai sistem sensor revolusioner yang selalu siaga, serta kebijakan fleksibel dan luas dalam lapangan seni, bebas dari kedengkian partisan yang sempit. . . .
Saat kaum futuris berusaha untuk membuang jauh sastra individualisme kuno, tidak hanya karena sastra ini kadaluwarsa dalam soal bentuk, tapi karena bertentangan dengan sifat kolektif kaum proletar, kaum ini menunjukkan pemahaman yang sangat dangkal mengenai sifat dialektis dari pertentangan antara individualisme dan kolektivisme. Tidak ada kebenaran-kebenaran teoritis didalamnya. Beragam jenis individualisme mempengaruhi pemahaman mereka. Karena terlalu individualis, sebagian dari kaum intelektual pra-revolutioner menjatuhkan dirinya sendiri dalam mistisisme, tapi bagian yang lain bergerak dalam jalur-jalur kacau futurisme dan, terperosok dalam revolusi–demi kehormatannya dikatakan-mengarah menjadi proletar. Tapi saat mereka, yang mengklaim dirinya proletar karena gigi-gigi mereka diompongi oleh individualisme, membawa perasaannya ke kaum proletar, mereka memperlihatkan egosentrisme, individualisme ekstrim. Masalahnya adalah kaum proletar sejati umumnya tidak mempunyai kualitas seperti ini. Dalam massa, individualitas proletar belum sepenuhnya terbentuk dan dapat dibedakan dengan lainnya.
Hanya peningkatan kualitas obyektif serta kesadaran subyektif dari individu sajalah sumbangan paling berharga dari kemajuan budaya pada ambang pintu mana kita berdiri saat ini. Adalah kekanak-kanakan untuk berfikir bahwa belles lettres borjuis mampu merusak solidaritas kelas. Apa yang para pekerja akan bisa ambil dari Shakespeare, Goethe, Pushkin, atau Dostoyevsky adalah sebuah ide yang lebih kompleks tentang personalitas manusia, tentang gairah-gairah dan perasaan-perasaannya, sebuah pemahaman yang lebih dalam dan luas tentang kekuatan-kekuatan psikis dan peran dari kebawahsadaran, dan seterusnya. Pada analisa akhirnya, kaum pekerja akan menjadi semakin kaya. Pada awalnya, Gorky dipenuhi dengan individualisme romantik petualang. Akan tetapi, dia menghantarkan masa semi revolusionisme awal kaum proletar pada 1905, karena dia membantu membangkitkan individu-individu dalam kelas tersebut, yang mana individu tersebut, setelah terbangkitkan, berusaha mencari kontak dengan individu-individu terbangkitkan lainnya. Kaum proletariat berada dalam kebutuhan akan makanan artistik dan pendidikan, tapi itu bukan berarti bahwa kaum proletar adalah semata-mata tanah liat yang seniman-seniman, baik yang telah pergi maupun akan datang, bisa bentuk menurut gambar dan rupa mereka sendiri.
Meski kaum proletar secara spritual, dan karenanya, secara artistik, sangat sensitif, mereka belumlah terdidik secara estetik. Sangat beralasan untuk berfikir bahwa ini bisa dimulai pada titik dimana kaum intelektual borjuis menyingkir dalam kekelaman katastrofi. Seperti halnya seorang individu melewati secara biologis dan psikologis sejarah ras manusia dan, untuk beberapa segi, dunia binatang dalam perkembangannya dari embrio, begitu juga, untuk beberapa segi, mayoritas terbesar dari sebuah kelas baru yang baru saja keluar dari masa pra historis harus melewati keseluruhan sejarah budaya artistik. Kelas ini tidak bisa memulai pembangunan sebuah budaya baru tanpa menyerap dan mengasimilasi elemen-elemen budaya lama. Ini bukan berarti kita perlu melewati seluruh sejarah masa lalu seni selangkah demi selangkah, secara lambat dan sistematis. Sejauh ini menyangkut sebuah kelas sosial dan bukannya individu biologis, proses penyerapan dan tansformasi ini akan berjalan secara lebih sadar dan bebas. Tapi sebuah kelas baru tak bisa bergerak maju tanpa menaruh perhatian atas capaian-capaian terpenting masa lalu. . . .
Seni Revolusioner dan Sosialis
Belum ada seni revolusioner sampai saat ini. Memang ada elemen-elemen dari seni ini, indikasi-indikasi serta usaha-usaha atasnya, dan, yang terpenting adalah, manusia revolusioner, yang sedang membentuk generasi baru menurut rupa dan gambar dirinya sendiri dan yang semakin berada dalam kebutuhan akan seni revolusioner. Barapa lama waktu yang dibutuhkan seni ini untuk menampilkan dirinya secara jelas? Sulit untuk menebaknya, karena proses tersebut tidak bisa diraba dan dikalkulasi, dan kita mempunyai keterbatasan dalam hal kerja-kerja pemprakiraan, bahkan pada saat kita mencoba untuk mengkalkulasi waktu proses-proses sosial lain yang lebih bisa dibaca. Tetapi kenapa seni ini, setidaknya gelombang besar pertamanya, tidak datang secepatnya sebagai ekspresi seni dari generasi baru yang lahir dalam dan melaksanakan revolusi?
Seni revolusioner, yang tidak bisa ditolak merefleksikan semua kontradiksi dalam sebuah sebuah sistem sosial yang revolusioner, tidak bisa dicampur-adukkan dengan seni sosialis yang baginya belum tercipta dasar sama sekali. Pada pihak lain, tidak boleh dilupakan bahwa seni sosialis akan tumbuh dari seni yang ada dalam periode transisi ini.
Dalam menyatakan perbedaan itu, kita tidak dituntun oleh pertimbangan sok ilmiah dari sebuah program yang kabur. Bukannya tanpa alasan jika Engels membicarakan revolusi sosialis sebagai sebuah lompatan dari ranah kebutuhan ke ranah kemerdekaan. Revolusi kita sampai saat ini belum sampai ke ranah kebebasan. Sebaliknya, revolusi ini sedang mengembangkan segi-segi kebutuhan menuju ke tingkatannya yang tertinggi. Sosialisme akan menghapus pertentangan kelas, dan kelas, tetapi revolusi menghantar perjuangan kelas sampai pada tensinya yang paling tinggi. Selama periode revolusi, hanya sastra yang menganjurkan konsolidasi pekerja dalam perjuangan mereka melawan para penghisaplah yang dibutuhkan dan bersifat progresif. Sastra revolusioner tidak bisa tidak dibumbui dengan semangat kebencian sosial, yang merupakan faktor historis kreatif dalam sebuah periode kediktatoran proletariat. Dibawah sosialisme, solidaritas akan menjadi dasar dari masyarakat. Sastra dan seni akan dirubah ke kunci yang berbeda. Semua emosi yang kita kaum revolusioner, pada saat ini, gelisahkan—banyak dari mereka dirusak oleh kemunafikan dan kevulgaran—seperti persahabatan yang tulus, cinta pada tetangga, simpati, akan menjadi kunci nada-kunci nada perkasa dari puisi sosialis.
Tetapi, tidakkah ekses solidaritas, seperti kaum Nietzscheans takutkan, akan membawa ancaman dalam bentuk degenarasi manusia menjadi binatang berkelompok yang pasif dan sentimentil? Tidak sama sekali. Kekuatan luar biasa dari kompetisi, yang dalam masyarakat borjuis berkarakter kompetisi pasar, akan, menggunakan bahasa psikoanalisa, tersublimkan, dengan kata lain, akan mengasumsikan kelahiran bentuk seni yang lebih subur dan tinggi. Akan terjadi perjuangan demi pemenangan opini, proyek, dan selera oleh suatu pihak. Pada tingkatan di mana perjuangan-perjuangan politik akan dieliminasi—dan dalam sebuah masyarakat yang tak mempunyai kelas, tak akan terjadi perjuangan-perjuangan seperti itu–gairah yang termerdekakan akan terkanalisasi ke dalam tekhnik, dalam konstruksi yang meliputi juga seni. Seni dengan demikian akan menjadi lebih umum, dewasa, akan menjadi berwatak, dan akan menjadi metode tersempurna dari pembangunan progresif kehidupan dalam semua bidang. Tak hanya sekedar ‘indah’ tanpa mempunyai hubungan sama sekali dengan hal yang lain.
Semua bentuk kehidupan, seperti halnya pengolahan tanah, perencanaan habitasi manusia, pembangunan teater-teater, metode-metode mendidik anak secara sosial, solusi-solusi atas masalah-masalah seni, penciptaan gaya-gaya baru, secara vital menyerap semua hal dan semua orang. Orang-orang akan terbagi dalam ‘partai-partai’ dalam menyikapi pertanyaan-pertanyaan tentang sebuah kanal raksasa baru, atau distribusi oase-oase di Sahara (pertanyaan seperti ini akan muncul juga di suatu masa), mengenai regulasi cuaca dan iklim, teater baru, hipotesa-hipotesa kimia, dua tendensi yang bersaing dalam musik, dan sistem terbaik bagi olahraga. Partai-partai itu tidak akan diracuni oleh ketamakan kelas atau kasta. Semuanya akan secara seimbang tertarik untuk berbuat demi kepentingan keseluruhan. Perjuangannya akan memiliki sifat ideologis murni. Perjuangan tersebut tak memiliki harapan akan keuntungan, kekotoran, pengkhianatan, korupsi, tak satupun segi yang membentuk jiwa ‘kompetisi dalam sebuah masyarakat yang terbagi dalam kelas-kelas. Namun ini tak akan menghalangi perjuangan dari usaha-usaha untuk menjadikannya menarik, dramatik dan menggairahkan.
Dan saat semua masalah dalam sebuah masyarakat sosialis–masalah-masalah kehidupan yang sebelumnya diselesaikan secara spontan dan otomatis, dan masalah-masalah seni yang dulunya berada dalam penanganan kasta-kasta relijius istimewa—akan menjadi masalah semua orang, seseorang dapat secara pasti mengatakan bahwa kepentingan-kepentingan serta gairah-gairah kolektif dan kompetisi individual akan memiliki lingkup terluas dan kesempatan yang paling tak berbatas. Seni, dengan demikian, tak akan pernah menderita kekurangan ledakan-ledakan kolektif seperti yang dikhawatirkan, gangguan energi, dan getaran-getaran psikis kolektif yang menggiring pada penciptaan tendensi-tendensi artistik baru serta perubahan-perubahan dalam gaya. Ini akan menjadi mahzab-mahzab estetik yang dari sekitarnya ‘partai-partai’ akan mengumpulkan hubungan-hubungan watak, selera dan bingkai pemikiran. Dalam perjuangan yang tulus dan melelahkan itu, perjuangan yang akan hadir dalam budaya yang fondasinya secara progresif mulai bangkit saat ini, personalitas manusia, dengan sifat dasarnya yang tak ternilai, akan tumbuh dan menjadi terkilapkan pada seluruh titik-titiknya. Kebenarannya adalah kita tak memiliki alasan untuk mengkhawatirkan bahwa akan terjadi sebuah penurunan individualitas serta pemiskinan seni dalam sebuah masyarakat sosialis. . . .