Pemberontakan popular menentang pemerintahan Hosni Mubarak berlanjut. Pada hari Minggu pagi, matahari terbit kembali di atas hari yang menegangkan menyusul malam pemberontakan massa dan protes anti-pemerintah yang mengubah jam malam menjadi kata-kata hampa. Kenyataan ini dengan jelas mengekspos situasi yang sesungguhnya.
Hari ini (31/1) adalah hari kerja pertama di ibukota Mesir setelah protes-protes memuncak hari Jumat. Namun, dalam kata-kata Dan Nolan dari Al Jazeera, ini jauh hari “bisnis seperti biasa”. Jalan-jalan utama ibukota sekarang telah diblokir oleh tank-tank militer dan mobil-mobil lapis baja. Pengadang-pengadang jalan extra telah didirikan dalam sebuah usaha jelas untuk mengalihkan kendaraan dari Lapangan Tahrir, titik utama demonstrasi. “Situasi masihlah sangat menegangkan dengan begitu banyak militer di ibukota negara,” katanya.
Protes lebih lanjut hari ini, 30 Januari.Presiden Mobarak, yang di atas kertas menikmati kekuatan yang besar, membuat dekrit-dekrit. Tentara diperintahkan untuk menjalankan instruksinya. Mereka yang melanggar jam malam diancam dengan konsekuensi yang berat. Tetapi tak seorangpun mematuhi dan tak ada adapun yang terjadi.
Koresponden BBC di Kairo meringkas situasi yang sesungguhnya. Berdiri di depan sebuah gedung besar yang dilalap api dan berasap, dengan jelas terkejut, dia mengatakan, “Markas partai yang berkuasa terbakar dan tidak ada satupun pemadam kebakaran yang terlihat. Dan tentu saja tidak ada polisi. Negara disini telah lenyap.”
Ini bukan hanya satu-satunya kasus. Beberapa gedung utama pemerintah di ibukota terus terbakar pagi hari ini, bukti jelas bahwa rakyat telah menyerang negara. Sekerumunan orang mencoba menyerang Kementerian Interiro yang dibenci, dimana orang-orang dikirim di sana untuk disiksa. Mereka dihadang oleh polisi penembak jitu dari atap, menyebabkan tiga korban jiwa.
Orang-orang yang tak diketahui dari mana keluar dari gedung kementerian interior dengan sebuah mobil dan membuat sebuah mayat di jalan. Mereka kemudian menembaki orang-orang yang ada di daerah tersebut dan kabur. Tidak ada laporan langsung mengenai korban jiwa dalam serangan tersebut.
Rakyat setiap hari mempertaruhkan nyawa mereka di jalan-jalan. Jumlah korban jiwa sampai sekarang dilaporkan di atas 150, dan setidaknya 4000 orang cedera. Tetapi tak seorangpun yang tahu jumlah yang sesungguhnya. Namun represi sebesar apapun tidak akan mampu menghentikan gerakan ini. Rakyat telah kehilangan rasa takut mereka. Ribuan masih tetap bermukim di Lapangan Tahrir. Mereka tidak takut mati. Ini adalah kekuatan utama mereka, dan kelemahan utama dari kekuatan-kekuatan yang melawan mereka.
Sumber-sumber Al Jazeera telah mengindikasikan bahwa militer sekarang juga telah dikirim ke kota resort Sharm el Shaikh. Sherine Tardos, koresponden Al Jazeera di kota Suez, melaporkan bahwa kota ini telah menyaksikan “malam yang benar-benar kacau”, tetapi jalan-jalan sepi pada pagi harinya. Dia melaporkan absennya polisi dan militer, rakyat “mengambil hukum ke tangan mereka sendiri”, menggunakan “pentungan, baton, golok [dan] pisau” untuk melindungi barang milik mereka.
“Komunitas Internasional”
“Komunitas internasional” ketakutan dengan berkembangnya kejadian ini. Terkejut dengan meledaknya peristiwa ini, AS telah menjadi penonton saja dalam beberapa minggu terakhir ketika rakyat tumpah ruah ke jalanan di Tunisia dan Mesir. Washington paham terlalu baik bahwa kejadian di Mesir akan memiliki implikasi yang luas di negeri-negeri wilayah tersebut.
Amerika dan Eropa sekarang mendesak Mubarak untuk tidak menggunakan kekerasan terhadap para demonstran tak bersenjata dan bekerja menciptakan kondisi untuk pemilu yang bebas dan jujur. Mereka sadar bahwa Mubarak menawarkan terlalu sedikit dan terlalu terlambat. AS mengatakan kepada Mubarak pada hari Sabut bahwa tidak cukup hanya “me-reshuffle kabinet” dan menekannya untuk mengantarkan “reformasi yang sejati”.
“Pemerintah Mesir tidak dapat mengocok ulang kabinet dan kemudian berdiri tenang,” kata jurubicara Departemen Luar Negeri PJ Crowley dalam sebuah pesan di Twitter setelah Mubarak memecat kabinetnya tetapi membuat jelas bahwa dia tidak bermaksud turun.
“Janji-janji Presiden Mubarak untuk menghantarkan reformasi harus diikuti dengan tindakan,” kata Crowley, mengulangi seruan Obama hari Jumat. Kata-kata ini diulangi juga oleh pemerintah-pemerintah utama Eropa. Di sebuah pernyataan yang dirilis di Berlin hari Sabtu, pemimpin-pemimpin Inggris, Prancis, dan Jerman mengatakan bahwa mereka “sangat khawatir akan kejadian di Mesir”.
“Kami menyerukan kepada Presiden Mubarak untuk mengutuk semua kekerasan terhadap rakyat sipil tak bersenjata dan untuk menghargai hak damai para demonstran,” tulis pernyataan bersama tersebut.
“Kami menyerukan kepada Presiden Mubarak untuk memulai sebuah proses transformasi yang harus direfleksikan di dalam sebuah pemerintahan yang representatif, dan juga pemilu yang bebas dan jujur.”
Eropa meminta Mubarak untuk merespon kekecewaan rakyatnya dan mengambil langkah-langkah untuk meningkatkan situasi HAM di negaranya: “HAM dan kebebasan demokrasi harus diakui sepenuhnya, termasuk kebebasan berpendapat dan berkumpul, dan kebebasan menggunakan alat komunikasi seperti telpon dan internet.”
Tetapi mereka meninggalkan satu detil kecil. Satu-satunya “reformasi sejati” yang diinginkan oleh rakyat adalah mundurnya Mubarak dan kroni-kroninya dengan segera. Ini adalah reformasi yang tidak siap dipertimbangkan oleh Mubarak. Dalam semua deklarasinya, kata demokrasi tidak dapat ditemukan. Penekanannya hanyalah stabilitas. Inilah masalah yang sebenarnya.
Amerika dan Eropa tidak punya hak sama sekali untuk berbicara mengenai HAM. Selama berdekade-dekade mereka telah mendukung rejim kejam Hosni Mubarak. Mereka telah membiayai tentara dan polisinya dan memalingkan mata dari penindasan, brutalitas, dan penyiksaan yang terjadi. Sebagai timbal baliknya, Mubarak telah mendukung kebijakan mereka di Timur Tengah. Dia adalah figur utama dalam kebohongan “pembicaraan perdamaian” dan pengkhianatan terhadap rakyat Palestina. Hubungan yang indah ini bukan berdasarkan demokrasi dan HAM tetapi berdasarkan kepentingan pribadi yang sinis.
Selama bertahun-tahun, kaum imperialis ini telah mendikte kebijakan-kebijakan ekonomi dari pemerintahan-pemerintahan yang katanya “mandiri”. Di masa lalu, banyak pemerintahan Arab yang menyebut diri mereka sosialis. Mereka melaksanakan nasionalisasi dan kebijakan-kebijakan untuk kepentingan buruh dan tani. Tetapi selama tiga dekade terakhir, kebijakan-kebijakan ini telah dibalikkan. Pada tahun 1987, di puncak krisis hutang, pemerintahan nasionalis Habib Bourguiba [Tunisia] digantikan oleh sebuah rejim baru, yang berkomitmen melakukan reforma-reforma “pasar bebas”.
Apa yang disebut “reforma pasar” telah menyebabkan membesarnya kesenjangan, kemiskinan, dan pengangguran. Kenaikan harga makanan di Tunisia tidak “didikte” oleh pemerintah Ben Ali. Ini dipaksakan oleh Wall Street dan IMF. Pemerintah Ben Ali dengan patuh melaksanakan obat ekonomi IMF yang mematikan selama periode lebih dari dua puluh tahun. Ini menggoyahkan ekonomi nasional dan membuat miskin populasi Tunisia. Inilah basis sesungguhnya dari Revolusi Tunisia.
Hal yang sama adalah benar di Mesir ketika Sadat membalikkan semua kebijakan Abdel Nasser dan mengubah Mesir menjadi satelit imperialisme AS, terutama setelah reforma ekonomi 1991, yang didikte oleh Amerika. Pemerintahan-pemerintahan ini mematuhi dan secara efektif menjalankan diktat-diktat IMT, sementara melayani kepentingan AS dan Uni Eropa. Pola ini terjadi di banyak negara. Semua ini sekarang terancam.
“Kekhawatiran” sesungguhnya di Washington, London, Paris, dan Berlin adalah bahwa kaum imperialis ini sedang menghadapi bencana runtuhnya semua strategi mereka untuk mengontrol Timur Tengah dan sumber dayanya. Ini jelas dalam pernyataan Eropa: “Kami mengakui peran penyeimbang yang telah dimainkan oleh Presiden Mubarak selama bertahun-tahun di Timur Tengah. Kami memanggil dia untuk mengambil pendekatan moderat yang saya untuk situasi sekarang ini di Mesir.”
“Pendekatan moderat” dan “peran penyeimbang” Hosni Mubarak terdiri dari dukungan telanjang terhadap kebijakan-kebijakan imperialis. Inilah mengapa dia adalah sekutu berharga AS dan Israel. Inilah mengapa mereka mati-matian mendukungnya. Tetapi mereka telah gagal. Tidak ada kekuatan apapun di muka bumi ini yang dapat menyelamatkannya sekarang.
Efek Domino
Rasa takut kaum imperialis dapat dipahami. Revolusi bukanlah sesuatu yang menghormati batas-batas negara. Peristiwa revolusioner di Tunisia dan Mesir sedang menggoncang dunia Arab sampai ke pondasinya. Semenjak hari larinya Ben Ali ke Arab Saudi, pertanyaannya bukan hanya apa yang akan terjadi selanjutnya di Tunisia, tetapi juga apakah pemberontakan popular di sana akan menjadi katalis untuk kegusaran dimana-mana. Sekarang kita sudah punya jawabannya.
Segera menyusul insureksi Tunisia, terjadi demo-demo massa di negara tetangga Aljazair. Terjadi juga demo-demo massa di Yemen dan Yordan. Minggu lalu BBC melaporkan bahwa sekelompok mantan petinggi militer Yordan mengeluarkan sebuah surat terbuka kepada sang raja memintanya untuk memperkenalkan reforma-reforma sebelum sesuatu yang buruk terjadi. Diwawancarai oleh BBC, deputi perdana menteri Yordania menjawab bahwa hanya ada segelintir perwira seperti itu: “tidak lebih dari 150 atau 200”.
Negara-negara minyak korup ini teluk Gulf ini telah duduk di atas kekayaan besar selama berpuluh-puluh tahun sementara jutaan rakyat di dunia Arab menderita kemiskinan parah, pengangguran, dan kesengsaraan. Rejim-rejim busuk ini tidak popular dan mendasarkan diri mereka dengan represi seperti Mubarak. Penumbangannya akan menggoncang satu per satu rejim Arab pro-barat.
Dewan Kerjasama Gulf, sebuah blok ekonomi dan politik yang lepas di Gulf Arab, mengatakan pada hari Minggu bahwa mereka menginginkan sebuah “Mesir yang stabil”.
“Kami mengharapkan sebuah Mesir yang stabil dan berharap hal-hal akan kembali tertib,” ujar Abdulrahman al-Attiyah, sekjen Dewan Kerjasama Gulf, saat ditanya di samping forum investasi Malaysia. Dia juga mengecilkan kekhawatiran mengenai kemungkinan keanjlokan ekonomi akibat gejolak ini.
Pengungkapan baru-baru ini mengenai perjanjian rahasia antara kepemimpinan PLO dan Israel tentu akan menyebabkan krisis di antara rakyat Palestina. Massa dan anggota bawahan PLO akan terkejut dan merasa jijik dengan kolaborasionisme telanjang ini. Apa yang disebut “proses damai” sekarang sudah buntu. Keyakinan rakyat terhadap kepemimpinan PLO akan tergoncang berat. Dalam konteks ini, peristiwa di Tunisia dan Mesir akan memiliki sebuah impak yang serius pada kesadaran rakyat jelata Palestina.
Apa yang disebut taktik perjuangan bersenjata tidak membuahkan hasil. Roket-roket Hammas bahkan tidak memeotkan lapis baja dari negara Israel yang kokoh. Tetapi kebijakan dari mereka yang disebut “kaum moderat” juga telah gagal dengan menyedihkan. Hammas ataupun Abbas tidak memiliki apapun untuk ditawarkan pada rakyat Palestina. Rakyat Palestina harus mempercayai diri mereka sendiri, kekuatan mereka sendiri. Prospek terjadinya intifada yang baru tumbuh semakin besar setiap harinya. Tunisia dan Mesir menyediakan mereka dengan sebuah contoh yang menginspirasi.
Pelajaran ini tidaklah luput dari perhatian lingkaran penguasa Israel. Tidak ada negara yang paling ketakutan akan revolusi Arab daripada Israel. Ketika protes-protes pertama meletus, seorang sumber senior pemerintah Israel menggambarkan peristiwa di Timur Tengah ini sebagai sebuah “gempa bumi”. Israel sedang memonitor situasi di Mesir dengan dekat, dia menambahkan, namun dengan lugu dia percaya bahwa rejim Mubarak cukup kuat untuk menghadapi protes-protes tersebut. “Kami percaya Mesir akan mampu menghadapi gelombang protes ini,” ujarnya. “Tetapi ini mencermikan situasi yang rapuh di wilayah tersebut.”
Mesir adalah salah satu kolaborator Israel terdekat di wilayah ini. Mesir berbagi perbatasan dengan Gaza dan Mubarak secara aktif berkolaborasi dengan Israel dalam mencekik Gaza. Dia telah menyediakan dukungan tak ternilai untuk Abbas dan kepemimpinan sayap-kanan PLO. Kejatuhannya akan menjadi sebuah bencana bagi Israel dan mengubah situasi di seluruh Timur Tengah dan lebih luas. Akan tetapi, Israel tidak bisa mengintervensi. Mereka harus sangat berhati-hati dengan komentarnya mengenai Mesir, karena takut membuat situasi yang lebih buruk ini menjadi lebih buruk (dari sudut pandang mereka).
Benyamin Netanyahu, perdana menteri Israel, mengatakan pada menteri-menteri kabinetnya bahwa Israel sedang “memonitor dengan dekat” peristiwa-peristiwa di Mesir, menambahkan: “Gol kita adalah untuk menjaga stabilitas dan memastikan bahwa perdamaian antara kita dan Mesir terus eksis dengan perkembangan apapun.” Dia melanjutkan:
“Penyebab ketidakstabilan ini … tidak ada sangkut pautnya dengan konflik Israel-Palestina,” tetapi didorong oleh faktor-faktor ekonomi. Protes-protes ini dibakari oleh media sosial, dia mengatakan, “inilah yang menghubungkan semua dot,” lalu dia mengatakan bahwa dulu rejim-rejim Arab mampu mengendalikan berita dan komunikasi dengan ketat. Al Jazeera, katanya, “memainkan peran yang lebih signifikan dibandingkan stasiun TV biasa di Barat”. Ada banyak perbedaan antara Mesir dan Tunisia, dimana protes-protes memaksa presiden dan istrinya melarikan diri. “Rejim Mubarak memiliki akar dalam di militer.”
Klik penguasa Israel tidaklah khawatir akan pembom bunuh diri dan roket-roket Hammas. Sebaliknya, setiap roket yang jatuh ke desa Yahudi, setiap bom yang meledakkan bus adalah berita yang menggembirakan bagi kaum Zionis. Berita ini berfungsi meyakinkan rakyat jelata di Israel bahwa “mereka ingin membunuh kita”, dan mendorong populasi Israel ke belakang pemerintah. Tetapi revolusi ini adalah sesuatu yang berbeda. Gerakan revolusioner massa Arab adalah sebuah ancaman serius bagi mereka.
Apa Sekarang?
Apa yang terjadi ketika sebuah kekuataan yang tak terbendung bertemu dengan objek yang tidak dapat digerakkan? Untuk Mesir tidak ada jalan kembali. Mubarak telah memilih jalan yang sama dan bangkrut untuk menghadapi kebangkitan nasional ini, membuat janji-janji perubahan dan alterasi kosmetik guna tetap berkuasa. Ini tak akan berhasil. Semuanya tergantung pada dua hal: momentum pemberontakan popular ini dan peran militer.
Ada tank-tank di jalan-jalan. Tetapi mereka dikerumuni oleh rakyat revolusioner. Para demonstran naik ke atas tank-tank ini, meminta dukungan para tentara yang sering membalas dengan jempol ke atas.
Di Lapangan Pembebasan, tentara kemarin melepaskan tembakan, kemungkinan di atas kepala orang-orang. Ini adalah tembakan sungguhan. Tetapi rakyat tidak mundur. Sebaliknya, ketika mereka mendengar suara tembakan, orang-orang malah lari menujunya. Dalam kata lain, mereka lari menuju bahaya, dan bukan lari darinya. Detil kecil ini sangatlah penting. Ini menunjukkan batas dari kekuatan militer.
Gerakan ini belum terintimidasi oleh penunjukkan kekuatan. Momentum berlanjut dari pemberontakan ini mengedepankan perlunya menyingkirkan Mubarak, keluarganya, dan kepemimpinan politiknya. Petinggi-petinggi militer akan membuat perhitungan mereka berdasarkan penyeimbangan yang hati-hati. Keperluan mereka untuk menjaga pengaruh dan privilise mereka jauh lebih penting bagi mereka daripada mempertahankan Mubarak.
Pemberontakan ini terus meluas dan mendapatkan momentum di kota-kota besar Mesir dan demonstran menuntut penyingkiran Mubarak dan rejimnya. Massa tahu bahwa posisi rejim lemah. Mereka merasa sudah meraih kemenangan. Di jalan-jalan ada mood kegembiraan, eforia. Eforia ini menjangkiti setiap lapisan masyarakat. Ini adalah stimulan yang lebih kuat daripada anggur.
Seorang bapak tua kelas menengah yang telah mengungsi dari Kairo ditanya oleh BBC apakah dia berpikir bahwa demo-demo ini sudah bergerak terlalu jauh. Dengan suara yang bergetar dengan emosi, dia menjawab: “Demonstrasi ini sangatlah bagus! Saya telah menunggu ini selama hidup saya!”
Peristiwa-peristiwa baru dan dramatis sedang dipersiapkan yang akan menggoncang dunia.
London, 30 Januari 2011
(Diterjemahkan oleh Ted S dari “Egypt – Revolution know no frontiers”, Alan Woods, 30 Januari 2011.)