Tigapuluh dua tahun yang lalu, pada peralihan malam tanggal 3 dan 4 April 1979, Zulfiqar Ali Bhutto dibunuh di tiang gantungan di penjara Rawalpindi. Mungkin ini merupakan pembunuhan politik yang paling signifikan dalam sejarah Pakistan. Sebuah negara yang dicekam ketakutan, Pakistan dipimpin oleh diktator yang paling brutal dan ganas, Jenderal Zia ul Haq, yang mengambil tindakan-tindakan yang mengerikan.
Klas penguasa dan imperialisme secara diam-diam bekerjasama dengan jenderal despotis itu untuk melenyapkan Bhutto. Mereka menggulingkan Bhutto melalui kudeta militer pada tahun 1977. Setelah itu mereka menaruhnya dalam tahanan. Di sana Bhutto mengalami siksaan fisik dan psikologis, hujatan dan penghinaan. Tapi mereka masih menganggapnya sebagai ancaman terhadap negara dan sistem. Karena itu mereka memutuskan untuk melenyapkannya dari muka bumi.
Setelah kelas penguasa terpaksa menyerahkan kekuasaan kepadanya pada bulan Desember 1971, Bhutto menjalankan reforma-reforma yang paling radikal di dalam sejarah Pakistan. Tindakan-tindakannya telah mengusik kepentingan-kepentingan para kapitalis, tuan-tuan tanah, dan imperialisme. Kemudian kaum elit itu menghantamnya dengan sebuah pembalasan yang kejam.
Bhutto mungkin telah dihilangkan secara fisik namun warisan perjuangannya tetap merupakan suatu faktor yang vital dalam politik Pakistan. Akan tetapi, warisan-perjuangan itu telah dinodai dan diputarbalikkan oleh klik yang duduk pada pucuk pimpinan partainya dan berkuasa dengan mengatasnamakan warisan perjuangannya.
Seperti setiap individu, kehidupan politik Bhutto menjalani sejumlah fase. Beberapa di antara fase-fase itu memiliki watak yang kontradiktif. Dalam sebuah wawancara yang baru-baru ini disiarkan di televisi, salah seorang yang paling dekat dengannya, Abdul Hafeez Pirzada, meringkaskan kontradiksi tersebut dengan perkataan berikut: “Cacat utama dari doktrin kebijakan Bhutto adalah bahwa [doktrin] itu didasarkan pada dua fondasi ideologis yang berkontradiksi dan tidak terdamaikan, Sosialisme dan nasionalisme.”
Bhutto mengalami perkembangan dan perubahan semasa perjalanan politiknya. Mula-mula ia tergerak oleh pergolakan-pergolakan pasca Perang Dunia II, khususnya di dunia eks-kolonial semasa tahun-tahun kemahasiswaannya. Ia semakin teradikalisasi saat menempuh studi di Harvard, yakni ketika membaca salah satu buku yang dikirim ayahnya, Manifesto Komunis, yang ditulis Karl Marx dan Fredrick Engels.
Kembali ke Pakistan, ia segera masuk ke lingkungan politik kaum elit. Ia bergabung dengan pemerintahan Sikandre Mirza, kemudian rezim militer Ayub Khan. Ia menjadi menteri luar negeri. Tapi tak lama kemudian ia berselisih dengan Ayub dan diberhentikan dari jabatannya.
Pemberontakannya terhadap diktator militer Ayub Khan tiba pada suatu saat yang sangat krusial dengan berkobarnya pemberontakan massa yang sekian lama telah membara seperti api dalam sekam. Ia membentuk Partai Rakyat Pakistan (PPP = Pakistan People’s Party) pada November 1967. Kurang dari setahun kemudian sebuah gerakan revolusioner kaum muda dan kaum buruh meletus dengan hebatnya.
Kala itu program PPP jauh lebih maju daripada program partai-partai Kiri tradisional di Pakistan. PPP berdiri untuk sebuah revolusi sosialis, berbeda dengan partai-partai Kiri tradisional yang mengajukan program yang sebatas demokratik. Ini terhubung dengan aspirasi-aspirasi massa-rakyat revolusioner yang menuntut penggulingan kapitalisme dan transformasi relasi-relasi kepemilikan dan sosio-ekonomi dalam masyarakat. Negara menggantung di udara, dan kaum buruh, kaum tani, dan kaum muda meraih kemenangan di jalan-jalan, di pabrik-pabrik, dan di perkebunan-perkebunan. Kaum imperialis dan para elit yang menjadi pelayan-pelayan mereka di seluruh Asia Selatan gemetar. Bahkan mereka siap berperang untuk menggelincirkan revolusi. Tapi sebuah gelombang baru meletus sesudahnya. Kebijakan-kebijakan Bhutto dan PPP dalam periode perjuangan massa antara 1967 dan 1972 itu didasarkan pada tidak terdamaikannya konflik klas dan sosialisme revolusioner, yang menjadi warisan yang tetap bertahan sebagai suatu tradisi kaum tertindas.
Tapi, PPP bukan sebuah partai Bolshevik. PPP tidak bisa membangun dan mempersiapkan sebuah jejaring kader yang dapat menggulingkan dan menggantikan negara borjuis. Karena itu, untuk menghindari revolusi PPP diberi kekuasaan dengan aparatus ekonomi dan negara di dalam tatanan yang lama, yang walaupun sudah porak poranda, tetapi masih utuh. Karena itu, kendati telah memulai reforma radikal, pemerintahan PPP tahun 1971-77 justru terserap ke dalam logika prioritas-prioritas negara dan sistem kapitalis. Sekarang negara menjalankan kekuasaan. Kebijakan-kebijakan seperti program nuklir, agresi militer di Baluchistan, dan peraturan-peraturan agamawi yang diintrodusir seturut dengan perintah negara semuanya bermuara pada penguatan sistem kapitalis. Ironisnya, para pemimpin PPP masa kini malah mengutip kebijakan-kebijakan yang dibuat pada waktu itu sebagai warisan-perjuangan Bhutto.
Ketika Bhutto berusaha untuk melakukan kompromi-kompromi, pihak reaksi meningkatkan serangan terhadap Pemerintah PPP. Kaum kapitalis menyulut inflasi; Pemerintah PPP pun segera tenggelam dalam krisis. Pada tahun 1977 kaum sayap kanan memulai sebuah gerakan yang secara diam-diam didukung oleh CIA untuk menggulingkan Bhutto.
Setelah Bhutto digulingkan dan dipenjara melalui sebuah kudeta militer, agaknya ia membuat tinjauan yang menyeluruh atas perjalanan politiknya di masa lalu. Inilah fase yang paling krusial dalam kehidupan politiknya. Ia memutuskan untuk melakukan perlawanan dengan meyakini perjuangan klas sampai akhir. Dalam bukunya yang terakhir, “Bila Saya Dibunuh” (If I am Assassinated), yang kemudian menjadi wasiat politiknya yang terakhir, ia menulis, “Saya mengalami siksaan yang berat ini sebagian karena saya mengupayakan jalan-tengah yang terhormat dengan kepentingan-kepentingan yang berkonflik dalam rangka mengharmoniskan struktur kami yang terpecah-belah ini. Nampaknya, pelajaran dari kudeta ini adalah bahwa suatu modus Vivendi (upaya untuk memungkinkan pihak-pihak yang berkonflik untuk hidup berdampingan secara damai), suatu kompromi, adalah sebuah impian utopis … Perjuangan klas adalah satu hal yang tidak terdamaikan dan ia harus bermuara dalam kemenangan satu klas terhadap yang lain. Jelas, apapun kemunduran sementaranya, perjuangan hanya dapat menghantar pada kemenangan satu klas. Inilah tulisan di dinding.”
Inilah warisan perjuangan Bhutto yang sejati. Warisan perjuangan ini telah dikhianati oleh para pemimpin medioker yang mengklaim diri sebagai penerus-penerusnya. Kebanyakan pemimpin dan menteri dari PPP masa kini adalah keturunan-keturunan dari duapuluh-dua keluarga elit yang terkenal sumir, yang justru dilawan oleh Bhutto dengan kampanye revolusionernya. Bahkan penerus-penerus Zia ul Haq, yang melakukan pembunuhan yang mengerikan, adalah bagian dari rezim yang sekarang berkuasa. Kebijakan nasionalisasi Bhutto dikutuk di hadapan publik oleh seorang perdana menteri “PPP”. Ideal-ideal sosialis Partai telah dilecehkan oleh pemimpin-pemimpin instan ini. Mereka telah meluncurkan longsoran salju kapitalisme neo-liberal yang merampok massa-rakyat.
Namun, massa-rakyat tertindas tidak akan menanggalkan prinsip-prinsip sosialis yang mendasari berdirinya partai ini. Benteng utama pendukung Partai bukanlah berada di dalam lingkaran-lingkaran para kroni. Sebaliknya, kekuatan Partai terletak pada massa-rakyat yang memandangnya sebagai sebuah instrumen atau alat bagi penyelamatan mereka. Dari orientasi ini, sebuah gerakan revolusioner, ketika meletus, akan mengembangkan sebuah kepemimpinan Marxis-Leninis yang sejati, yang mutlak perlu untuk menyelesaikan revolusi 1968-69 yang belum selesai, melalui sebuah kemenangan Sosialis.
12 Mei 2011
Diterjemahkan oleh Pandu Jakasurya dari “Pakistan: Bhutto – A Legacy Betrayed”, Lal Khan, 12 Mei 2011