Serangan tentara Israel terhadap kapal-kapal Flotilla telah membangkitkan amarah rakyat sedunia. Di seluruh dunia, rakyat pekerja turun ke jalan untuk memprotes tindakan kejam ini. Masalah Israel-Palestina telah berlangsung selama lebih dari 60 tahun dan sampai sekarang belum ada penyelesaiannya. Berikut ini kami terbitkan sebuah artikel dari kamerad Isa Al-Jaza'iri, yang ibunya diusir keluar dari rumahnya di Haifa pada tahun 1948 oleh tentara Israel. Dalam artikel ini kamerad Isa Al-Jaza'iri mengatakan bahwa hanya sosialisme yang bisa menghantarkan pembebasan yang sesungguhnya bagi rakyat Palestina.
Gaza – Sebuah Kamp Penjara
Guna memahami apa yang terjadi pada kapal Flotilla, sangatlah penting untuk memahami kondisi yang ada di Gaza. Sejak tahun 2007, ketika Hamas menang pemilu dengan suara mayoritas, pemerintah Israel telah mempertahankan sebuah blokade penuh di Gaza. Tidak ada yang dapat masuk atau keluar tanpa izin angkatan bersenjata Israel. Tidak ada yang boleh masuk atau meninggalkan Gaza. Bahan makanan, suplai obat-obatan, dan bahkan bahan konstruksi diblokade dengan sangat ketat.
Situasinya sangat parah, seperti yang digambarkan oleh majalah Financial Times: “Separah apapun aksi ini [penyerangan Flotilla], yang paling parah sebenarnya adalah blokade ilegal terhadap Gaza. Semenjak perang Gaza bulan Januari 2009, yang mengekspos niat Israel untuk menghancurkan kemampuan Hamas, tidak peduli dengan korban dari rakyat Palestina, Israel dan Mesir telah berkolusi untuk menghalangi rekonstruksi Gaza. Menurut PBB, tiga perempat dari kehancuran akibat perang Gaza belumlah dibangun kembali dan 60 persen rumah tidak memiliki cukup makanan.”
Alasan blokade yang diberikan oleh imperialisme Israel, dan disetujui oleh imperialisme AS, adalah untuk mencegah Hamas dari membangun roket-roket. Kebetulan saja bahan materi yang mereka khawatirkan dapat digunakan untuk roket adalah penting untuk membangun kembali rumah-rumah yang hancur pada tahun 2009: semen. Ini benar-benar dilarang.
Blokade Membantu Hamas
Blokade ini hanyalah membantu menguatkan Hamas, yang telah mendapatkan keuntungan yang besar dari operasi penyeludupan melalui terowongan-terowongan bawah tanah menuju Mesir. Bank Dunia memperkirakan bahwa 80 persen impor ke Gaza datang dari terowongan ini. Pada tahun 2008, rakyat Palestina merubuhkan pagar perbatasan dengan Mesir, dan PBB memperkirakan bahwa setengah dari 1.5 juta populasi Gaza segera tumpah ke Mesir untuk mendapatkan gas, minyak masak, dan semua kebutuhan sehari-hari sebelum perbatasan tersebut ditutup kembali oleh tentara Mesir.
Ini menunjukkan bagaimana eksplosifnya situasi pada saat itu. Semenjak itu, situasi telah menjadi semakin parah, dimana pemerintah Mesir mulai membangun sebuah tembok besi bawah tanah guna memblok terowongan-terowongan dari Gaza. Terlebih lagi, tanpa perdagangan legal, terutama dengan Israel, ekonomi Gaza telah runtuh. CIA World Factbook mengestimasikan bahwa tingkat pengangguran pada tahun 2009 adalah 40%. 44% dari populasi adalah anak muda berumur 14 ke bawah. Masa depan macam apa yang bisa mereka harapkan. Kondisi semacam inilah yang memastikan bahwa ketika mereka mencapai usia bekerja, mereka tidak bisa kemana-mana dan menjadi target yang mudah untuk direkrut oleh organisasi-organisasi reaksioner seperti Hamas.
Inilah situasi yang ada di Gaza, dimana seluruh rakyat ditahan di sebuah penjara terbuka.
Gaza Freedom Flotilla Diserang
Kondisi inilah yang ingin “dipertahankan” oleh tentara Israel pada hari Senin.
Sekelompok organisasi-organisasi solidaritas mengorganisir untuk menerobos blokade ini. Enam kapal dipersiapkan, dengan kapal utama dari Turki, membawa 10 ribu ton rumah-jadi, bahan bangunan, suplai obat-obatan, dan bahan kebutuhan sehari-hari, dan meninggalkan pelabuhan dari Cyprus dengan tujuan memberikan bantuan kemanusiaan. 700 penumpang berangkat ke arah Gaza, sebagai sebuah protes terhadap blokade tersebut.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu telah mengklaim bahwa tentara Israel (IDF) beraksi untuk membela diri, tetapi penyerangan malam pada kapal-kapal ini terjadi di perairan internasional. Ketika para tentara menaiki kapal Mavi Marmara, mereka segera diserang dengan tongkat-tongkat. IDF mengklaim bahwa tentara-tentara yang pertama turun hanya dipersenjatai dengan pistol paintball, dan pistol sungguhan hanya digunakan setelah mereka ditembaki.
Tetapi laporan dari IDF sendiri terhadap kapal-kapal yang ditangkap menunjukkan bahwa tidak ada senjata sama sekali, kecuali senjata-senjata yang dibawa oleh IDF ke kapal tersebut. Dalam kata lain, para aktivis merebut senjata mereka, yang dalam hal ini berarti bahwa para tentara IDF dari awalnya sudah dipersenjatai dengan pistol sungguhan, atau ini hanyalah sebuah kebohongan. Terlebih lagi, IDF telah memuat video dimana para aktivis menggunakan tongkat dan kursi, tetapi tidak ada video dimana para aktivis menggunakan pistol.
Artikel Financial Times lainnya menunjukkan bahwa IDF bergerak dengan cepat untuk mengisolasi para aktivis setelah mereka tiba di pelabuhan, menaruh tentara bersenjata di rumah sakit dengan instruksi bahwa para aktivis tidak diperbolehkan berbicara dengan media, dalam sebuah usaha untuk mencegah para jurnalis dari mempertanyakan cerita yang disajikan oleh pemerintah. Ketika mereka akhirnya dihubungi, ini yang diceritakan oleh beberapa dari mereka:
“Akan tetapi, beberapa cerita yang telah muncul dari sisi yang lain memberikan gambaran yang berbeda. Greta Berlin, seorang perwakilan dari Gerakan Pembebasan Gaza, mengatakan bahwa dia dan teman-teman aktivisnya menonton tayangan langsung dari Mavi Marmara ketika serangan tersebut berlangsung, ‘Kami menyaksikan mereka turun dari helikopter, kami melihat mereka memalingkan kepala mereka, melihat ke masing-masing dan lalu menembak. Kami sangat terkejut melihat ini,’ katanya.
“Hanin Zoabi, seorang Arab-Israel dan anggota parlemen di Israel, berada di kapal Mavi Marmara. Dia mengatakan: ‘Jelas dari besarnya pasukan yang menaiki kapal bahwa tujuan serangan ini bukan hanya untuk menghentikan [perjalanan] ini tetapi untuk menyebabkan jumlah korban yang sebesar mungkin guna menghentikan inisiatif semacam ini di masa depan.’” (Furious debate over moment of attack, FT, 1 Juni 2010)
Bagaimanapun juga, imperialisme Israel mengirim pasukan komando untuk menaiki kapal tersebut di tengah malam, guna mencegah penerobosan blokade, dan setidaknya 9 orang sekarang mati karenanya. Laporan lainnya menaruh angka korban 19. Lusinan lainnya terluka, dan sekitar 600 aktivis masih dipenjara dan sedang diinterogasi. Daftar nama korban dan mereka yang terluka belum dilepas, walaupun beberapa informasi telah keluar.
Imperialisme Israel Menjadi Beban Bagi Sekutunya
Insiden ini terlalu besar bagi para sekutu imperialisme Israel, yang telah tertekan dan terpaksa mengutuk serangan ini.
Kepentingan dari kelas-kelas kapitalis dari berbagai negara adalah sama dengan kepentingan kelas penguasa Israel, tetapi kepentingan ini tidaklah identikal. Turki, yang sebelumnya adalah sekutu regional terdekat Israel, telah menarik mundur duta besarnya dar Tel Aviv. 3 dari 6 kapal Flotilla adalah dari Turki, dan perwakilan terbesar dari penumpang kapal tersebut adalah orang Turki, beberapa dari mereka termasuk korban yang mati. Demonstrasi di Ankara sangatlah besar.
Kelas penguasa Mesir, sekutu Israel lainnya, dituduh sebagai rekan Israel dalam menggencet Gaza. Ketika perbatasan Mesir dan Gaza terbuka pada tahun 2008, tentara Mesir diperintah untuk menembaki massa dari Gaza dan menutup kembali perbatasan tersebut. Pada saat itu demonstrasi-demonstrasi mengguncang Mesir, dan juga demonstrasi yang lebih besar selama pemboman Gaza pada tahun 2009. Keterlibatan mereka dalam penindasan terhadap rakyat Palestina telah menguatkan kebencian terhadap Mubarak dan rejimnya di antara rakyat pekerja Mesir. Sekarang rejim Mubarak telah memutuskan bahwa melanjutkan dukungan untuk Israel akan terlalu berbahaya. Sejak hari ini, perbatasan di Rafah telah dibuka kembali secara terbatas, walaupun tidak jelas untuk berapa lama.
Uni Eropa telah mengeluarkan pernyataan mengutuk serangan tersebut, tetapi efek yang paling penting akan terasa di Washington. Minggu-minggu belakangan ini, AS telah mencoba memanuver untuk melakukan sanksi ekonomi yang lebih besar terhadap Iran. Namun insiden ini membuat hal tersebut menjadi mustahil. Ini mengikuti beberapa insiden yang memalukan bagi Obama. Seperti yang kita laporkan sebelumnya, peperangan Gaza telah dilakukan tanpa konsultasi dengan Obama, dan pada waktu yang sangat buruk dari sudut pandangnya. Imperialisme Amerika sedang mengalami kekalahan dalam perang di Irak, dan mencoba mencapai semacam perjanjian dengan kelas penguasa Siria dan Iran, yang tanpa mereka penarikan mundur pasukan dari Irak akan menjadi satu kegagalan yang besar.
Perjanjian semacam ini dengan imperialisme AS membutuhkan sesuatu yang konkrit untuk elit-elit Iran dan Siria, yang bisa membenarkan pemutaran 180 derajat ini. Dan oleh karena itu dibutuhkan setidaknya suatu ilusi penyelesaian masalah Palestina. Perang Gaza 2009 merupakan satu peringatan dari Israel untuk Obama: “kami tidak akan tunduk pada perjanjian apapun yang dilakukan tanpa melibatkan kami.”
Seruan Obama untuk menghentikan pembangunan pemukiman ilegal di West Bank juga telah menghasilkan hal yang memalukan. Wakil Presiden Joe Biden harus memotong perjalanan dia ke Israel dan kembali ke Washington ketika Israel mengumumkan pembangunan lebih banyak pemukiman ilegal di tengah kunjungan resminya ke Israel. Ini bukanlah satu kebetulan saja. Ini adalah sebuah penghinaan yang direncanakan untuk mengekspresikan kemarahan Israel terhadap kritik yang dilontarkan oleh Obama mengenai pemukiman ilegal di West Bank.
Bahkan beberapa lapisan kelas penguasa Israel sudah mulai menyadari ini: “Israel perlahan-lahan berubah dari aset menjadi beban Amerika Serikat,” kata Dagan [kepala Mossad, badan intelijen Israle] di depan Komite Masalah Luar Negeri dan Pertahanan.
Air Mata Buaya dan Hukum Internasional
Tetapi kutukan-kutukan dari negara-negara Barat hanyalah sebuah kemunafikan. Tidak ada satupun dari mereka yang menghentikan blokade terhadap Gaza selama beberapa tahun terakhir ini, dan protes mereka akan “pelanggaran hukum internasional” tidak berarti apa-apa. Hukum internasional tidaklah berbeda dengan hukum borjuis lainnya, ia adalah hukumnya kelas penguasa.
Banyak aktivis jujur yang mengutuk ilegalitas penyerangan kapal di perairan internasional, ilegalitas penggunakan kekuatan yang tidak proporsional, dan ilegalitas hukuman kolektif yang dijatuhkan kepada rakyat Palestina dalam bentuk blokade. Semua ini mungkin benar, tetapi ini tidak menyentuh hal yang paling penting. Semua hukum dan peraturan ini tidaklah berarti apa-apa bagi yang berkuasa. Kekuatan imperialis hanya menggunakan hukum ini bila hukum ini sesuai dengan kepentingan mereka. Selain itu, mereka hanya menyerukan penyelidikan yang ompong dan menangis air mata buaya.
Tidak ada yang bisa dilakukan oleh PBB borjuasi selain menulis resolusi. Ban-Ki Moon akan terus “mendesak”, Obama akan terus “menyesali”, dan Netanyahu akan terus mengabaikan. Kita harus mengandalkan kelas kita sendiri untuk sebuah solusi, dan bukan mengandalkan sarang pencuri [baca PBB].
Obama yang seharusnya mewakilkan perubahan, bahkan tidak mengutuk serangan ini, dan hanya mengatakan bahwa dia menginginkan sebuah “penyelidikan yang imparsial”. Berbeda dengan pernyataan-pernyataan munafik dan busuk dari kaum borjuasi, respon dari massa seluruh dunia datang seperti satu angin yang sejuk.
Kampanye Boikot Buruh
Mereka yang mengorganisir Flotilla menunjukkan keberanian yang besar. Mereka tahu apa yang mereka hadapi dan beberapa dari mereka membayarnya dengan nyawa mereka. Kami sepenuhnya berbagi rasa kemarahan terhadap penindasan brutal yang dilakukan setiap hari terhadap laki-laki, perempuan, dan anak-anak di Gaza oleh pemerintah Israel. Tetapi kami harus mengatakan bahwa bantuan kemanusiaan tidak akan menyelesaikan masalah Israel-Palestina yang memiliki karakter politik.
Kami yakin bahwa akan lebih efektif untuk membentuk sebuah gerakan sedunia melawan okupasi Israel. Gerakan semacam ini, bila ingin berhasil, harus berdasarkan organisasi-organisasi kelas pekerja internasional. Daripada kampanye-kampanye yang telah dicoba (dan gagal) sebelumnya untuk memboikot jeruk Israel, akan lebih baik bila kita mendorong serikat-serikat buruh untuk melakukan boikot internasional terhadap Israel [seperti misalkan pekerja pelabuhan Yunani yang mogok dan memboikot pemuatan senjata dan amunisi ke Israel pada saat Perang Gaza 2009 – Ed.] sampai Israel menghentikan blokadenya terhadap Gaza dan memenuhi tuntutan rakyat Palestina.
Boikot buruh semacam ini harus disertai dengan kampanye pertemuan-pertemuan massa untuk menjelaskan apa yang terjadi di Palestina dan memobilisasi opini publik rakyat buruh sedunia. Kampanye semacam ini akan lebih efektif daripada sejuta resolusi dari Dewan Keamanan PBB di New York atau ratusan pidato yang munafik dari Hillary Clinton.
Aksi Massa Kelas Pekerja, Satu-satunya Solusi
Dengan pengumuman yang pendek, para demonstran menanggapi seruan aksi di seluruh dunia. Ada demonstrasi di Kairo, Montreal, Madrid, Athena, Roma, Paris, London, Dublin, Sydney, dan kota-kota lainnya.
Demonstrasi yang paling penting adalah demonstrasi di Tel Aviv. Ada 3000 orang di demonstrasi di Tel Aviv, dan rakyat Arab-Israel telah menyerukan sebuah pemogokan umum untuk menentang serangan dan blokade Gaza. Laporan-laporan mengatakan bahwa pemogokan, yang diserukan oleh komite Higher Arab Monitoring, memiliki partisipasi hampir 100%. Toko-toko tutup dan suasana sepi di Dir al-Hana, Arabeh, Sakhnin, Kafr Kana, dan Nazareth. Ini hanyalah permulaan saja.
Dua kapal lainnya yang tertunda telah memutuskan untuk meneruskan perjalanan mereka, dan mereka akan tiba di perairan Gaza pada hari Jumat. Kapal-kapal lain juga direncanakan akan berangkat pada minggu-minggu ke depan. Bila rejim Israel serius ingin mempertahankan blokadenya, maka mereka juga akan menyerang kapal-kapal ini, yang akan berarti kemungkinan korban yang lebih tinggi, yang akan menyebabkan intensifikasi protes di seluruh dunia.
Bahaya terbesar bagi kelas penguasa Israel adalah di Israel sendiri, yakni sebuah ledakan dapat terjadi di antara jutaan populasi Arab-Israel, yang mencakup 20 persen total penduduk di Israel. Bahkah yang lebih berbahaya adalah respon dari kaum Yahudi-Israel, yang banyak dari mereka berpartisipasi dalam protes di Tel Aviv. Sebuah pemogokan umum oleh buruh Arab-Israel dapat mengangkat isu ini dengan sangat serius di dalam Israel, dan rejim ini akan kelabakan untuk memastikan bahwa demonstrasi-demonstrasi ini tidak menyebar ke kelas pekerja Yahudi.
Karena, pada akhirnya, buruh-buruh Yahudi lah yang selalu diminta untuk mengirim anak mereka untuk mati di Lebanon, West Bank, Gaza, dan sekarang di laut. Pertanyaan yang bahaya sekarang adalah: untuk apa? Untuk menghentikan pembangunan rumah di Gaza? Untuk mencegah sekelompok aktivis membawa suplai obat-obatan ke Gaza?
Kejadian ini akan meninggalkan bekasnya di daerah ini, dan di dalam kesadaran rakyat Israel. Zionisme sudah mulai kehilangan cengkramannya pada kaum muda, yang merupakan masa depan Israel. Pada pemilu munisipal di Tel Aviv – seperti yang kita laporan sebelumnya – kandidat dari Partai Komunis Israel mendapatkan dukungan yang mengejutkan kelas penguasa Israel, terutama karena salah satu platform mereka adalah hak untuk kembali bagi rakyat Palestina, dan ini adalah partai yang menyatukan kaum Arab-Israel dan Yahudi. Di sebuah wawancara dengan Dov Khenin, anggota Knesset (parlemen Israel) dari Partai Komunis Israel, dia menjelaskan bahwa ini hanyalah puncak dari sebuah gunung es:
“Fenomena yang menarik adalah bahwa kami berhasil dengan gerakan ‘City for All’ mencapai hampir 35% suara di pemilihan gubernur di Tel Aviv. 35% suara, tentu saja ini tidak cukup untuk memenangkan kursi gubernur, tetapi ini adalah sebuah kesuksesan yang besar untuk sebuah gerakan lokal yang menjalankan kampanye tanpa uang sama sekali, hanya dengan dukungan dari sukarelawan yang antusias; kami memiliki kira-kira 2500 sukarelawan yang bekerja untuk kami di seluruh kota, yang di Israel adalah jumlah yang sangat sangat besar. Dan yang paling menarik dari fenomena ini adalah kami meraih kira-kira 75% suara dari kaum muda di bawah 35.”
Realitas inilah yang harus dipikirkan oleh para aktivis solidaritas. Zionisme telah kehilangan dukungan dari para buruh muda di Israel. Pada analisa terakhir, ini berarti matinya imperialisme Israel, dan tugas yang paling mendesak adalah untuk membangun persatuan yang dibutuhkan.
Partai Komunis Israel harus mendukung seruan pemogokan umum melawan blokade, dan memanggil buruh Yahudi untuk bergabung. Massa di Gaza membutuhkan kelas pekerja Israel dan kelas pekerja dunia.
Kaum buruh Israel harus pecah dari kelas penguasa mereka. Kelas borjuasi ini mengirim kaum buruh Yahudi ke perang dan meminta mereka untuk mengucurkan darah demi tanah air. Tetapi tanah air siapakah ini sebenarnya? Menteri Keuangan Israel, Yuval Setinitz, menjawab pertanyaan ini dengan sangat baik:
“ ‘Kenyataan bahwa ekonomi Israel dikendalikan oleh 30 keluarga bukanlah sebuah korupsi. Tetapi ini memang menyebabkan masalah ekonomi dan merusak kompetisi,’ kata Menteri Keuangan Yuval Steinitz pada hari minggu ini di sebuah wawancara dengan program televisi Channel 2 Friday Studio.
“ ‘Kita harus mencari cara untuk mengurangi sentralisasi tanpa merugikan ekonomi,’ kata Steinitz. Dia mengutarakan bahwa dia tidak setuju dengan gaji besar di antara eksekutif-eksekutif Israel, tetapi juta mencoba menyerang gaji berlebihan lewat legislasi.
“ ‘Di seluruh dunia, termasuk AS dan Eropa, ada oposisi yang besar terhadap gaji yang terlalu tinggi, tetapi di seluruh dunia juga ada oposisi terhadap hukum yang melarang ini,’ kata Steinitz. ‘Bahkan Presiden Barack Obama mundur dari rencananya untuk menerapkan hukum di AS yang akan melarang gaji tinggi bagi para eksekutif.’
“Di Isreal, menteri keuangan ini melanjutkan, ada orang-orang yang gajinya sangat tinggi dan tidak dibenarkan, dimana mereka sebenarnya merampok para pemegang saham perusahaan mereka – ‘tetapi di bisnis, aturan mainnya adalah ‘jangan jujur, jadilah pintar.’ Steinitz tidak menyediakan detil rencana dia dan kementeriannya untuk melawan gaji-gaji yang besar ini atau apa rencana semacam ini ada.” (Finance Minister: Israel's economy being controlled by 30 families is a problem, Haaretz, 5 Mei, 2010)
Inilah pemerintah dan kelas penguasa yang diminta dipertahankan oleh kelas pekerja Israel melalui sebuah pakta antara kelas – yakni Zionisme.
Sebuah tanah air dimana 30 keluarga mengendalikan seluruh ekonomi. Sebuah tanah air dimana 23,6% populasi hidup di bawah garis kemiskinan: hidup dengan kurang dari $7,30 per hari. Zionisme tidak bisa menaruh nasi di meja keluarga kelas pekerja. Zionisme hanyalah sebuah ilusi, sebuah mitos nasional bahwa ada kepentingan bersama antara buruh dan bos Yahudi, dan bahwa musuh mereka ada di Gaza dan West Bank. Apa kepentingan bersama yang bisa dimiliki antara 30 keluarga kapitalis terkaya, yang memegang nasib dan masa depan jutaan rakyat Israel dan Palestina di tangan mereka seperti mainan, dan rakyat pekerja Israel yang diminta untuk membayar efek dari krisis ekonomi global?
Pada tahun 2009, para pemilik modal Israel sudah mulai mencampakkan pekerja mereka dan bersembunyi, meninggalkan mereka dengan bulanan gaji yang belum terbayar dan toko-toko untuk dijarah:
“Dua hari penjarahan mengejutkan dan membingungkan rakyat Israel, yang berasumsi bahwa ada ketertiban hukum di negeri mereka. Namun ini dan kasus penjarahan belakangan ini terjadi bersamaan dengan berita bahwa ekonomi, yang telah stagnan tahun lalu setelah perkembangan yang pesat selama setengah dekade yang lalu, telah jatuh ke dalam resesi.
“Penjarahan-penjarahan ini terisolasi dan sedikit, tetapi aktivis-aktivis buruh dan komentator-komentator sosial memperingatkan bahwa banyak rakyat Israel yang menjadi semakin putus asa.
“ ‘Yang kita saksikan adalah kisah-kisah kecil mengenai perusahaan yang bangkrut dan pemecatan yang mengancam kehidupan mereka,’ kata Dafna Cohen, juru bicara Histadrut, federasi serikat buruh Israel. ‘Kisah-kisah kecil ini adalah awal dari api yang besar.’ ” (In Israel, recession pressures boil over into looting, LA Times, March 19, 2009)
Perjuangan kelas tidaklah hilang karena Zionisme. Ia hanya terkubur di bawah nasionalisme. Tetapi sudah mulai ada tanda-tanda bahwa perjuangan kelas mulai bergejolak di bawah permukaan. Keanjlokan ekonomi yang selanjutnya, atau bahkan keputusan untuk memutuskan hubungan perdagangan dengan Turki, dimana ratusan perusahaan Israel beroperasi, dapat membawa kembali pertentangan kelas ini. Dan kita akan melihat api yang besar.
Sementara itu, imperialisme Israel terus melakukan kesalahan-kesalahan besar, menghabiskan kapital politik yang sudah dikumpulkan oleh Zionisme selama 62 tahun terakhir. Ini tidak bisa berlangsung selamanya.
Apa yang harus dilakukan?
Setelah berpuluh-puluh tahun perjuangan pembebasan nasional rakyat Palestina, gol ini belumlah terpenuhi satu jengkalpun. Ini adalah satu hal yang sulit untuk diakui, tetapi inilah kebenarannya. Sangatlah penting bagi elemen-elemen termaju dari kaum muda Palestina untuk memikirkan secara serius apa yang harus dilakukan. Semua resep dari masa lalu telah gagal.
Negosiasi-negosiasi yang tak ada henti-hentinya antara para pemimpin bangsa dan kucuran resolusi-resolusi PBB yang tak ada habisnya belum membawa hasil konkrit apapun. Namun, penembakan roket-roket ke Israel, bom-bom bunuh diri, dan kematian dari banyak martir telah terbukti sia-sia juga. Bahkan lebih parahnya, taktik ini telah terbukti konter-produktif. Taktik-taktik ini justru mendorong populasi Israel lebih jauh ke dalam cengkraman rejim Zionis reaksioner.
Opini publik dunia telah terkejut oleh tindakan barbarisme tentara Israel. Kekejaman ini telah membangkitkan kembali simpati kaum buruh sedunia untuk rakyat yang tertindas. Ini harus menjadi titik awal dari sebuah gerakan sedunia. Kaum Marxis akan berpartisipasi dengan penuh semangat untuk mengorganisir sebuah perjuangan massa melawan okupasi. Tetapi bila kefrustasian rakyat Palestina – yang dapat dimengerti mengapa – mengakibatkan menguatnya tendensi terorisme di antara kaum muda, maka ini akan menyia-nyiakan semua yang telah tercapai.
Tidak akan ada kemungkinan kemenangan untuk rakyat Palestina kecuali bila sebuah jurang pemisah dibangun antara kaum Zionis reaksioner dan rakyat Israel. Di antara rakyat dan kaum muda Israel, sudah terdapat keletihan perang. Mereka letih akan sebuah perjuangan yang tidak ada akhirnya dan tidak masuk akal, yang telah menghancurkan banyak kehidupan dan tidak pernah memberikan solusi. Tetapi mereka tidak dapat melihat jalan keluar dari lingkaran kekerasan ini.
Juga ada banyak orang di antara rakyat Palestina yang kecewa dengan peran yang dimainkan oleh kepemimpian Fatah dan Hamas, tetapi tidak melihat alternatif lainnya. Di antara anggota-anggota bawahan PLO, dan terutama di dalam PFLP (Popular Front of Liberation of Palestine, sebuah faksi sosialis di dalam PLO) pasti ada sejumlah militan yang sedang mencari sebuah alternatif sosialis revolusioner.
Jalan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh rakyat pekerja Israel adalah melalui penumbangan 30 keluarga terkaya di Israel, nasionalisasi aset-aset ekonomi mereka, dan pengorganisasian ekonomi ke dalam sebuah rencana demokratis oleh kelas pekerja secara keseluruhan. Elit-elit ini juga adalah pemilik korporasi dimana rakyat Arab-Israel bekerja. Disini kita menemukan musuh bersama yang sesungguhnya. Semua tembok perbatasan, pemukiman ilegal, bom, senjata, semua ini diproduksi oleh korporasi-korporasi besar yang dimiliki oleh kaum kapitalis gemuk yang sama.
Rakyat pekerja, biarpun mereka Palestina, Arab-Israel, atau Yahudi-Israel, tidak akan dapat mencapai sebuah peningkatan kondisi kehidupan mereka yang sesungguhnya tanpa sebuah gerakan bersama dalam menumbangkan kapitalisme.
Kontradiksi yang ada di setiap masyarakat kapitalis juga ada di Israel, dan bangkitnya buruh dan pemuda-pemudi Israel akan meruntuhkan fondasi imperialisme Israel. Sebuah gerakan massa melawan kapitalisme Zionis, yang menyatukan rakyat Arab-Israel dengan Yahudi, akan menjadi satu kekuatan yang besar. Seteleh merebut kekuasaan, rakyat pekerja Israel akan menjadi satu-satunya kekuatan yang dapat dengan segera dan benar-benar menghapus kondisi kesengsaraan yang dialami oleh rakyat Palestina, dengan menawarkan sebuah federasi sosialis yang bebas antara kedua rakyat.
Sebuah gerakan revolusioner di Israel juga akan menggoncang Mesir, Jordan, Arab Saudi, dan seluruh daerah Timur Tengah, dimana tidak ada satu pun rejim yang stabil, dan mereka semua berkolusi dengan imperialisme sembari menangis air mata buaya untuk rakyat Palestina.
Sebuah federasi sosialis Timur Tengah akan membuka sebuah zaman keemasan untuk rakyat di daerah tersebut, membebaskan mereka dari rantai Islamisme, Zionisme, dan Imperialisme. Sebuah revolusi di dalam kehidupan dan kebudayaan akan pecah, dan seluruh dunia akan memfokuskan perhatian mereka ke daerah ini bukan karena pertumpahan darah yang dilakukan oleh kelas penguasa yang ada sekarang, tetapi karena federasi sosialis semacam ini akan menjadi sumber harapan bagi rakyat sedunia.
Inilah satu-satunya solusi untuk masalah Israel-Palestina.
Diterjemahkan oleh Ted S dari “Flotilla massacre exposes criminal blockade di Gaza”, Isa Al-Jaza’iri, 2 Juni 2010.