Yang sedang kita lihat terbuka di hadapan kita adalah tahap-tahap awal dari revolusi sosialis dunia. Proses umum yang sama akan bergulir, kendali dengan ritme berbeda, di seluruh muka bumi. Akan ada pasang naik dan turun, kekalahan-kekalahan dan juga kemenangan-kemenangan, kekecewaan-kekecewaan dan juga keberhasilan-keberhasilan. Kita harus siap menghadapi ini. Namun tendensi umumnya adalah percepatan perjuangan kelas yang lebih besar dalam skala dunia.
Gerakan massa yang hebat di Tunisia dan Mesir hanyalah permulaan. Perkembangan revolusioner ada di agenda dan tidak ada satu negeripun yang dapat menganggap dirinya kebal dari proses umum ini. Revolusi-revolusi di dunia Arab adalah sebuah manifestasi dari krisis kapitalisme di skala dunia. Peristiwa-peristiwa di Tunisia dan Mesir menunjukkan kepada negara-negara kapitalism maju masa depan mereka layaknya sebuah cermin.
Tunisia
Tunisia sebelumnya tampaknya adalah negara Arab yang paling stabil. Ekonominya maju pesat dan investor-investor asing meraih laba-laba gemuk. Presiden Zine al-Abidine Ben Ali berkuasa dengan tangan besi. Semua tampak baik di antara yang terbaik dari seluruh dunia kapitalis.
Para komentator borjuis melihat hanya di permukaan dan tidak melihat proses-proses yang sedang terjadi di kedalaman masyarakat. Oleh karenanya mereka buta akan proses-proses yang sedang berlangsung di Afrika Utara. Mereka menyangkal kemungkinan sebuah revolusi di Tunisia. Sekarang semua ahli strategi, ekonom, akademik, dan “ahli-ahli” borjuis mempertontonkan ke publik kebingungan mereka.
Negeri ini meledak setelah pembakaran-diri oleh seorang penganggur muda Mohamed Bouazizi. Hegel mengatakan bahwa keniscayaan mengekspresikan dirinya melalui kebetulan. Ini bukanlah satu-satunya kasus bunuh diri oleh penganggur muda yang putus asa di Tunisia. Tetapi kali ini bunuh diri ini menghasilkan efek yang tak terduga. Massa turun ke jalan dan memulai sebuah Revolusi.
Reaksi awal dari rejim ini adalah untuk menghancurkan pemberontakan ini dengan kekerasan. Ketika ini tidak berhasil, mereka memberikan konsensi-konsensi, yang hanya menyiram bensin ke api. Represi brutal oleh polisi tidak menghentikan masas. Rejim Tunisia tidak menggunakan tentara karena mereka tidak dapat menggunakannya. Satu benturan berdarah dan angkatan bersenjata dapat hancur berkeping-keping.
Kelas buruh Tunisia meluncurkan sebuah gelombang pemogokan-pemogokan regional, yang berakhir pada sebuah pemogokan nasional. Pada saat itulah Ben Ali harus lari ke Arab Saudi. Ini adalah kemenangan pertaman dari Revolusi Arab. Ini mengubah segalanya.
Ketika Ben Ali kabur, ada kekosongan kekuasaan yang harus diisi oleh komite-komite revolusioner. Mereka mengambil kekuasaan di level lokal dan di beberapa tempat di level regional. Di Redeyef, di daerah pertambangan phospate di Gafsa, tidak ada kekuasaan selain kekuasaan serikat-serikat buruh. Pos polisi dibakar, hakim kabur, dan gedung kota diambil alih oleh serikat buruh lokal yang membuatnya menjadi markas mereka. Pertemuan-pertemuan massa diselenggarakan di lapangan utama dan dipimpin oleh pemimpin-pemimpin serikat buruh secara reguler. Mereka telah membentuk komite-komite untuk menalangi masalah transport, ketertiban publik, pelayanan-pelayangan umum, dll.
Massa tidak puas atau menjadi tenang setelah meraih kemenangan awal mereka. Mereka telah turun ke jalan dalam jumlah besar melawan semua usaha untuk membentuk kembali orde lama di bawah nama lain. Semua partai-partai lama telah terdiskreditkan sepenuhnya. Ketika Gannouchi mencoba untuk menunjuk gubernur-gubernur baru di daerah-daerah, rakyat menolak mereka. Ratusan ribu berdemo dan mereka terpaksa disingkirkan.
Di Tunisia, lava revolusi belumlah mendingin. Kaum buruh masih menuntut penyitaan kekayaan keluarga Ben Ali. Karena mereka mengontrol sebagian besar ekonomi Tunisia, ini adalah tantangan langsung terhadap kekuasaan kelas kapitalis di Tunisia. Penyitaan properti klik Ben Ali adalah sebuah tuntutan sosialis.
Para buruh Tunisia telah menendang keluar bos-bos yang tidak popular. Sayap kiri dari gerakan 14 Januari telah menyerukan diselenggarakannya sebuah majelis nasional komite-komite revolusioner. Ini adalah satu tuntutan yang tepat, tetapi sampai sekarang belum ada langkah-langkah kongkrit untuk mengimplementasikannya. Kendati ketiadaan kepemimpinan, Revolusi ini terus maju dengan langkah-langkah besar, menjatuhkan Gannouchi dan membawa gerakan ini ke tingkat yang baru. Slogan kita haruslah: thawra hatta’l nasr! – Revolusi hingga kemenangan!
Revolusi Mesir
Tunisia membuka revolusi Araba, tetapi ia adalah sebuah negeri kecil di pinggiran Maghreb. Mesir, di pihak lain, adalah sebuah negara besar dengan 82 juta penduduk, dan ia berdiri di jantung dunia Arab. Kelas proletarnya yang berjumlah besar dan militan telah menunjukkan semangat revolusioner mereka berulang kali. Revolusi Mesir tak diragukan lagi merefleksikan pengaruh Tunisia, tetapi ia juga berdasarkan faktor-faktor lain: tingginya tingkat pengangguran, taraf hidup yang menurut, dan kebencian pada pemerintah korup dan represif.
Tunisia bertindak sebagai sebuah pemercik. Tetapi sebuah pemercik hanya dapat berfungsi ketika semua kondisi-kondisi yang dibutuhkan ada. Revolusi Tunisia menunjukkan apa yang mungkin. Tetapi akan sepenuhnya keliru untuk berasumsi bahwa ini adalah penyebab satu-satunya, atau bahkan penyebab utama. Kondisi-kondisi untuk sebuah ledakan revolusioner sudahlah matang di seluruh negara ini. Yang dibutuhkan hanyalah sebuah percikan untuk memercikan tong mesiu ini. Tunisia menyediakan percikan tersebut.
Gerakan di Mesir menunjukkan kepahlawanan yang mengagumkan dari massa rakyat. Pihak keamanan tidak dapat menggunakan peluru untuk menghadapi demo-demo di Lapangan Tahrir karena takut skenario Tunisia akan terulang. Rejim ini berpikir bahwa cukup, seperti di masa lalu, meremukkan beberapa kepala. Tetapi ini tidak cukup. Suasana hati rakyat telah berubah. Kuantitas telah berubah menjadi kualitas. Ketakutan yang lama telah menghilang. Kali ini bukan rakyat yang lari, tetapi justru polisi yang lari.
Ini langsung menyebabkan pendudukan Lapangan Tahrir. Rejim mengirim tentara, tetapi para tentara berfraternisasi dengan massa. Tentara Mesir terdiri dari wajib militer. Petinggi-petinggi militer, para jendral, adalah korup. Mereka adalah bagian dari rejim, tetapi anggota bawahan direkrut dari antara buruh dan petani miskin. Dan perwira rendah dan menengah adalah dari kelas menengah dan dapat terpengaruh oleh tekanan massa.
Partai-partai oposisi menuntut reforma-reforma, termasuk pembubaran parlemen yang terpilih pada bulan Desember setelah pemilu yang curang, penyelenggaraan pemilu yang baru, dan pernyataan dari Mubarak bahwa dia dan anaknya tidak akan iktu pemilihan presiden yang dijadwalkan bulan September. Tetapi pada kenyataannya, kepemimpinan ini tertinggal jauh di belakang massa. Gerakan ini telah jauh melewati tuntutan-tuntutan tersebut. Rakyat revolusioner tidak akan menerima apapun yang kurang dari penyingkiran Mubarak dengan segera dan pembubaran rejimnya dengan sepenuhnya.
Dimulai dari tuntutan-tuntutan dasar seperti pengakhiran hukum-hukum darurat, pemecatan menteri interiornya, dan upah minimum yang lebih tinggi, para demonstran yang menjadi lebih berani karena jumlah besar mereka kemudian menaikkan slogan mereka ke level yang lebih revolusioner: “Jatuhkan Mubarak!” “Rakyat menuntut jatuhnya rejim ini!’ atau sederhana saja “Pergi!” Dengan cara seperti ini, kesadaran revolusioner rakyat meningkat dengan loncatan-loncatan.
Negara dan revolusi
Sia-sia mencoba menjelaskan peristiwa-peristiwa di Mesir dan Tunisia tanpa peran utama rakyat, yang merupakan kekuatan penggerak peristiwa dari awal hingga akhir. Para”ahli” borjuis dan borjuis kecil sekarang mencoba meremehkan pentingnya aksi massa. Mereka hanya melihat apa yang terjadi di atas. Bagi mereka ini hanyalah masalah “kudeta”, masalah “militer mentransfer kekuasaan ke diri mereka sendiri”. Para sejarawan borjuis yang sama meyakinkan kita bahwa Revolusi Bolshevik pada tahun 1917 “hanyalah sebuah kudeta”. Mereka tidak mampu menatap langsung sejarah, tetapi justru terpesona oleh bokong sejarah.
Analisa “mendalam” mereka adalah dangkal secara harafiah. Bagi kaum filsuf borjuis secara umum, segalanya hanya eksis di dalam manifestasi permukaan saja. Ini seperti mencoba memahami gelombang laut tanpa memperdulikan belajar mengenai aliran laut bawah. Bahkan setelah massa telah turun ke jalan-jalan Kairo, Hillary Clinton bersikeras bahwa Mesir masih stabil. Kesimpulannya didasarkan pada kenyataan bahwa Negara dan aparatus penindasnya masih utuh. Tetapi hanya dalam waktu dua minggu semua ini luluh lantak.
Keberadaan sebuah aparatus represi Negara yang kuat bukanlah jaminan melawan revolusi, dan justru bisa menjadi kebalikannya. Di dalam sebuah demokrasi borjuis, kelas penguasa memiliki beberapa katup pengaman yang dapat memberikannya peringatan ketika situasi mulai tidak terkendali. Tetapi di dalam sebuih rejim diktatorial atau totaliter, tidak ada kesempatan bagi rakyat untuk menyuarakan perasaan mereka melalui sistem politik. Oleh karenanya pemberontakan dapat terjadi tiba-tiba, tanpa peringatan dan segera mengambil bentuk yang ekstrim.
Angkatan bersenjata merupakan basis utama dari rejim Mesir. Tetapi seperti angkatan bersenjata manapun, ia merefleksikan masyarakat dan di bawah tekanan massa. Di atas kertas, angkatan bersenjata adalah kekuatan yang ampuh. Tetapi angkatan bersenjata terdiri dari mannusia, dan ada di bawah tekanan yang sama seperti strata atau institusi sosial lainnya. Di momen penentuan, baik Mubarak maupun Ben Ali tidak dapat menggunakan tentare melawan rakyat.
Tentara-tentara di banyak negara-negara Arab tidaklah sama dengan tentara-tentara dunia kapitalis maju. Pada analisa terakhir, mereka juga tentara kapitalis, badan orang-orang bersenjata untuk mempertahankan kepemilikan pribadi, tetapi pada saat yang sama mereka juga adalah produk dari revolusi kolonial. Tentu saja para jendralnya adalah korup dan reaksioner/ Tetapi tentara-tentara bawahan wajib militer ditarik dari buruh dan tani. Kasta perwira rendah dan menengah merefleksikan tekanan massa, seperti yang ditunjukkan oleh kudeta Nasser pada tahun 1952.
Revolusi menyebabkan krisis di dalam Negara. Ketegangan-ketegangan tumbuh di antara tentara dan polisi, dan di antara polisi dan demonstran. Tentara jelas tergoncang oleh peristiwa-peristiwa dan menunjukkan tanda-tanda retak di bawah tekanan massa. Ada kasus-kasus dimana tentara meletakkan senjata mereka dan bergabung dengan para demonstran di Lapangan Tahrir. Di bawah situasi seperti ini tentara tidak dapat digunakan melawan rakyat revolusioner.
Peran Proletariat
Selama dua minggu pertama, kekuasaan ada di jalanan. Tetapi setelah memenangkan kekuasaan di jalanan, para pemimpin gerakan tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan kekuasaan ini. Gagasan bahwa yang hanya perlu dilakukan adalah mengumpulkan banyak orang di Lapangan Tahrir merupakan gagasan yang sangat keliru. Pertama, ini tidak mempertimbangkan masalah kekuasaan Negara. Namun inilah masalah utama yang menentukan semua masalah lainnya. Kedua, ini adalah strategi yang pasif, sedangkan yang dibutuhkan adalah sebuah strategi aktif dan ofensif.
Di Tunisia, demonstrasi-demonstrasi massa memaksa Ben Ali untuk eksil dan menumbangkan partai berkuasa. Ini meyakinkan banyak rakyat Mesir bahwa rejim mereka akan sama rapuhnya. Masalahnya Mubarak menolak untuk pergi. Kendali semua usaha dan keberanian besar dari para demonstran, demonstrasi-demonstrasi ini gagal menumbangkan Mubarak. Demonstrasi-demonstrasi massa adalah penting karena mereka adalah cara untuk membawa massa yang sebelumnya pasif untuk berdiri di atas kaki mereka sendiri, memberikan mereka perasaan kekuataan mereka sendiri. Tetapi gerakan ini tidak akan berhasil bila tidak dibawa ke level yang baru dan lebih tinggi. Ini hanya dapat dilakukan oleh kelas pekerja.
Kebangkitan proletariat diekspresikan oleh gelombang pemogokan dan protes di tahun-tahun belakangan. Ini adalah salah satu faktor utama yang mempersiapkan Revolusi. Ini juga adalah kunci dari keberhasilannya. Masuknya proletariat Mesir ke panggung sejarah menandai titik balik di dalam nasib Revolusi. Inilah yang menyelamatkan Revolusi dan mengakibatkan tumbangnya Mubarak. Dari satu kota ke kota lain buruh Mesir mengorganisir pemogokan-pemogokan dan okupasi-okupasi pabrik. Mereka menendang keluar manajer-manajer yang mereka benci dan para pemimpin serikat buruh yang korup/
Revolusi lalu bergerak ke level yang lebih tinggi. Revolusi ini berubah dari sebuah demonstrasi menjadi sebuah insureksi nasional. Apa kesimpulan yang harus diambil dari ini? Hanya ini: bahwa perjuangan untuk demokrasi bisa dimenangkan hanya bila ini dipimpin oleh kelas proletariat: jutaan buruh yang menghasilkan kekayaan masyarakat, yang tanpa ijinnya tidak akan ada satupun bolam lampu yang menyala, tidak akan ada telpon yang berdering, dan tidak akan ada roda yang berputar.
Bangkitnya Kembali Bangsa Mesir
Marxisme tidak punya kesamaan dengan determinisme ekonomi. Pengangguran massal dan kemiskinan adalah isu eksplosif. Tetapi ada hal yang lain di dalam persamaan revolusioner: sesuatu yang lebih sukar dilihat secara langsung, yang tidak dapat dihitung tetapi tidak kurang efektifnya dibandingkan dengan kemiskinan sebagai penyebab keresahan. Ini adalah perasaan malu di hati dan pikiran dari rakyat Mesir yang terhormat dan bersejarah yang didominasi oleh imperialisme selama bergenerasi.
Ada perasaan malu yang sama yang dirasakan oleh semua rakyat Arab, diperbudak dan ditindas oleh imperialisme selama lebih dari 100 tahun, tersubordinasi oleh dikte dari, pertama negara Eropa, lalu sekarang perusahaan-perusahaan besar multinasional. Perasaan ini dapat menemukan sebuah ekspresi buruk di bawah kedok islam fundamentalisme yang menolak semua yang berbau barat sebagai sesuatu yang jahat. Namun bangkitnya Islamisme tahun-tahun belakangan ini hanyalah ekspresi dari kegagalan Kiri untuk menawarkan alternatif sosialisme sejati pada masalah-masalah mendesak rakyat Arab.
Pada tahun 1950an dan 60an, mimpi Sosialisme Arab dan Pan-Arabisme dari Gamal Abdel Nasser membangunkan harapan massa Arab dimana-mana. Mesir menjadi sumber harapan bagi rakyat Arab yang tertindas. Tetapi Nasser tidak menjalankan programnya sampai ke kesimpulan logisnya dan di bawah Anwar Sadat program ini dibalikkan. Mesir menjadi pion di dalam politik Amerika. Dalam tiga dekade kekuasaan Mubarak, tendensi-tendensi ini berlipat ribuan kali. Mubarak adalah konco AS dan Israel yang tanpa malu mengkhianati perjuangan rakyat Palestina.
Dalam tiga atau empat dekade terakhir, psikologi Arab diwarnai oleh kekecewaan, kekalahan, dan penghinaan. Tetapi sekarang roda telah berputar 180 derajat dan semuanya sedang berubah. Gagasan revolusi sekarang memiliki sebuah arti yang konkrit di dunia Arab. Revolusi ini merasuki pikiran jutaan orang dan sekarang sedang menjadi sebuah kekuatan yang materiil. Gagasan-gagasan yang sebelumnya hanya dipahami oleh segelintir orang saja sekarang telah meyakinkan dan memobilisasi jutaan orang.
Revolusi adalah alat penguji yang hebat. Revolusi menguji semua tendensi. Dalam sekejap gagasan-gagasan terorisme individual atau Islam fundamentalisme telah tersapu oleh badai revolusi. Revolusi ini telah membangkitkan kembali gagasan-gagasan yang telah setengah terlupakan. Revolusi ini menjanjikan kembalinya tradisi sosialisme dan nasionalisme Pan-Arab yang lama, yang belum pernah sepenuhnya hilang dari kesadaran massa. Bukanlah sebuah kebetulan kalau lagu-lagu perjuangan dari jaman dulu sekarang dinyanyikan kembali. Foto-foto Nasser telah bermunculan di demo-demo.
Kita sedang menyaksikan kebangkitan kembali (renaissance) Arab yang baru. Sebuah kesadaran bari sedang ditempa di tungku panas perjuangan. Tuntutan-tuntutan demokratik adalah fundamental bagi rakyat di bawah situasi seperti ini. Rakyat yang telah lama diperbudak akhirnya menyingkirkan mentalitas pasif dan fatalistik lamanya dan berdiri tegak.
Kita bisa melihat proses yang sama di setiap pemogokan, karena sebuah pemogokan adalah seperti revolusi miniatur, dan sebuah Revolusi adalah seperti pemogokan dari seluruh masyarakat melawan penindasnya. Segera setelah mereka menjadi aktif, laki-laki dan perempuan semua menemukan kembali harga diri mereka. Mereka mulai mengambil nasib mereka ke tangan mereka sendiri dan menuntut hak-hak mereka: kami menuntut diperlakukan dengan rasa hormat. Ini adalah esensi dari setiap Revolusi sejati.
Revolusi ini sedang menaikkan kesadaran ke tingkat yang lebih tinggi. Revolusi ini menghancurkan pijakan kaum reaksioner yang telah membingungkan rakyat dengan asap beracun religi fundamentalisme. Kendati propaganda dusta dari kaum imperialis, kaum Islamis memainkan peran kecil atau sama sekali tidak di dalam Revolusi di Tunisia dan Mesir. Revolusi ini membenci sektarianisme. Revolusi ini menghancurkan semua tembok pemisah dan menyatukan laki-laki dan perempuan, yang muda dan yang muda, Muslim dan Kristen.
Gerakan revolusioner menghancurkan perbedaan agama. Ia menghancurkan perbedaan jenis kelamin. Revolusi membawa kaum perempuan Arab ke jalan-jalan untuk berjuang bersama kaum laki-laki. Revolusi menghancurkan semua perbedaan nasional, etnik, dan bahasa. Revolusi membela minoritas-minoritas yang tertindas. Revolusi ini manyatukan semua kekuatan-kekuatan hidup dari bangsa Arab dan menyatukan mereka dalam perjuangan bersama. Revolusi ini memungkinkan rakyat revolusioner untuk berdiri tegak, untuk mendapatkan kembali harga diri mereka dan untuk bersorak sorai dalam kebebasan mereka. Laki-laki dan perempuan bisa menegakkan kepala mereka dan mengatakan dengan bangga: “Kami bukan lagi budak”.
Batasan-batasan kespontanitasan.
Revolusi di Tunisia dan Mesir datang dari bawah. Revolusi ini tidak diorganisir oleh partai-partai politik atau pemimpin-pemimpin yang sudah ada. Mereka semua tertinggal jauh di belakang gerakan yang tidak mereka prediksikan dan oleh karenanya mereka sama sekali tidak siap. Bila ada satu pelajaran yang bisa dipetik dari pengalaman Revolusi Mesir, ini adalah: kekuatanmu sendiri, solidaritasmu sendiri, keberanianmu sendiri, organisasimu sendiri.
Ketika kita melihat Mesir, perbandingan sejarah yang segera muncul di pikiran kita adalah Barcelona tahun 1936. Tanpa partai, tanpa kepemimpinan, tanpa program, tanpa rencana, kaum buruh berduyun-duyun ke barak-barak dengan keberanian besar dan menghancurkan kaum fasis. Mereka menyelamatkan situasi dan dapat merebut kekuasaan. Namun pertanyaannya adalah persis: mengapa mereka tidak merebut kekuasaan? Jawabannya adalah karena ketiadaan kepemimpinan. Lebih tepatnya, mereka dikecewakan oleh para pemimpin anarkis dari CNT (Konfederasi Serikat Buruh Nasional) yang mereka percaya. Siapapun yang punya ilusi mengenai anarkisme lebih baik belajar sejarah Revolusi Spanyol!
Sekilas pandang, gerakan di Tunisia dan Mesir tampak seperti sebuah revolusi spontan tanpa organisasi atau kepemimpinan. Tetapi definisi ini tidaklah tepat. Gerakan ini hanya setengah spontan. Gerakan ini dipimpin oleh sejumlah kelompok dan individu tertentu. Gerakan ini memiliki pemimpin-pemimpin yang mengambil inisiatif, mengedepankan slogan-slogan, menyerukan demo-demo dan pemogokan-pemogokan.
Banyak penekanan yang diberikan pada peran jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter di Tunisia, Mesir, dan sebelumnya di Iran. Tidak diragukan kalau teknologi baru memainkan peran dan sangatlah berguna untuk kaum revolusioner dan membuat negara-negara seperti Mesir mustahil untuk memegang monopoli informasi seperti dulu. Namun mereka yang membesar-besarkan hanya sisi teknologi sedang mendistorsikan esensi sejati dari Revolusi, yakni peran massa dan kelas buruh secara spesifik. Ini karena mereka ingin menggambarkan Revolusi ini hanya sebagai masalah kelas menengah, yang dipimpin secara eksklusif oleh kaum intelektual dan peminat Internet. Ini benar-benar keliru.
Pertama-tama, hanya sejumlah kecil populasi yang punya akses ke internet. Kedua, rejim memblokir Internet dan layanan telpon genggam. Ini tidak menghentikan gerakan barang satu menit pun. Tanpa Internet dan telpon genggam, massa mengorganisir demonstrasi-demonstrasi dengan menggunakan teknologi yang sangat tua, yakni lewat mulut manusia. Teknologi yang sama ini juga digunakan untuk mengobarkan Revolusi Prancis dan Revolusi Rusia, yang dulu tidak punya akses ke Facebook dan Twitter tetapi tetap bisa berhasil dengan sangat baik. Peran yang bahkan lebih besar daripada Facebook dimainkan oleh Al Jazeera. Jutaan orang dapat menyaksikan peristiwa-peristiwa secara langsung, setiap hari, setiap jam.
Seperti yang telah kita lihat, tidaklah benar mengatakan bahwa Revolusi Mesir tidak memiliki pemimpin-pemimpin. Ada semacam kepemimpinan semenjak awal. Ini terdiri dari koalisi lepas dari lebih dari selusin partai-partai kecil dan kelompok-kelompok aktivis. Merekalah yang mengisukan seruan Facebook untuk “hari kemarahan” bersamaan dengan Hari Polisi pada tanggal 25 Januari. Sekitar 80.000 pengakses internet Mesir menandatangani untuk ikut turun ke jalan menuntut perubahan.
Di Tunisia dan Mesir, awalnya demonstrasi-demonstrasi diserukan oleh sejumlah kelompok yang kebanyakan berisi anak-anak muda yang menyediakan kepemimpinan yang gagal diberikan oleh partai-partai oposisi “resmi”. Majalah Economist merujuk pada “munculnya kelompok-kelompok yang secara lepas berhubungan yang menuntut reformasi, yang dijalankan lewat internet oleh kaum muda dengan pemikiran sekular tetapi tanpa ideologi yang spesifik. Beberapa dari mereka mengangkat isu hak-hak buruh. Beberapa mendorong isu HAM atau kebebasan akademik.”
Aksi-aksi ini dilakukan oleh sekelompok minoritas dan oleh karenanya tidak sepenuhnya spontan. Tetapi ini hanyalah puncak kecil dari gunung es yang sangat besar. Simpati publik ada di pihak para demonstran. Demo nasional berubah menjadi sebuah insureksi umum melawan rejim Mubarak, dengan demo-demo massa yang terjadi bersamaan di seluruh Mesir. Jadi pada kenyataannya, ada semacam kepemimpinan, walaupun mereka tidak memiliki gagasan yang jelas. Namun, di Tunisia dan Mesir, respon dari massa mengejutkan para pengorganiser yang tidak memimpikan dukungan besar yang akan mereka dapatkan. Tak seorangpun dari mereka mengantisipasi rakyat dengan jumlah besar yang merespon seruan mereka, dan lebih sedikit lagi yang berpikir polisi huru-hara akan membiarkan mereka bergerak jauh.
Benar kalau karakter “spontan” dari Revolusi ini memberikan perlindungan tertentu dari negara, dan dalam pengertian ini maka spontanitas ini adalah positif. Tetapi kurangnya kepemimpinan yang mapan juga adalah sebuah kelemahan serius yang memiliki efek-efek negatif kemudian.
Kenyataan bahwa di kedua kasus rakyat berhasil menumbangkan Ben Ali dan Mubarak tanpa bantuan dari sebuah kepemimpinan yang sadar merupakan bukti nyata dari potensi revolusioner kelas pekerja di semua negeri. Tetapi pernyataan ini sama sekali tidak menjawab masalah yang sedang kita pertimbangkan. Kelemahan dari sebuah gerakan yang spontan dapat dilihat di Iran (gerakan menentang kecurangan pemilu pada tahun 2009), dimana kendati kepahlawanan besar dari massa, Revolusi tersebut berakhir dengan kekalahan – setidaknya untuk sekarang.
Argumen bahwa “kita tidak membutuhkan pemimpin” sangatlah ceroboh. Bahkan di sebuah pemogokan setengah jam saja di sebuah pabrik selalu ada kepemimpinan. Buruh akan memilih orang-orang dari barisan mereka untuk mewakili mereka dan mengorganisir pemogokan. Mereka yang terpilih bukanlah elemen-elemen yang sembarangan atau kebetulan, tetapi secara umum mereka adalah buruh yang paling berani, berpengalaman, dan pintar. Mereka terpilih berdasarkan basis tersebut.
Kepemimpinan adalah penting, dan partai adalah penting. Seorang anak berumur enam dapat memahami proposisi ini, yang merupakan ABC Marxisme. Tetapi setelah ABC masih ada huruf-huruf lain setelahnya. Ada beberapa orang yang menyebut diri mereka Marxis yang berpikir bahwa tidak akan ada revolusi kecuali kalau sebuah partai Marxis berdiri memimpin proletariat. Pemikiran kaku yang konyol seperti itu tidak ada hubungannya sama sekali dengan Marxisme. Revolusi tidak akan bergulir dengan cara yang teratur, dengan partai revolusioner yang menjadi konduktor massa dengan sebuah tongkat konduktor.
Pada 1917, Lenin mengatakan bahwa kelas buruh selalu jauh lebih revolusioner dibandingkan bahkan dengan partai yang paling revolusioner. Pengalaman Revolusi Rusia membuktikan bahwa dia benar. Mari kita ingatkan diri kita sendiri bahwa pada April 1917 Lenin harus memohon dukungan buruh untuk menekan Komite Pusat Bolshevik yang mengadopsi sikap konservatif terhadap masalah revolusi proletar di Rusia.
Mentalitas konservatif yang sama, ketidakpercayaan pada massa yang sama, dapat dilihat di banyak dari mereka yang menganggap diri mereka sebagai “kaum pelopor” kelas, tetapi pada prakteknya bertindak sebagai rem gerakan pada situasi yang menentukan. Kita cukup merujuk pada peran menyedihkan dari mereka yang disebut “kaum pelopor” di Iran, yang dari generasi Revolusi 1979, tetapi berdiri di luar gerakan ketika massa revolusioner turun ke jalan-jalan untuk melawan rejim pada tahun 2009.
Apakah kaum Marxis mengatakan bahwa revolusi mustahil kecuali kalau partai revolusioner dibangun dan berdiri memimpin kelas buruh? Tidak, kita tidak pernah mengatakan hal semacam itu. Revolusi bergerak menurut hukum-hukumnya sendiri, yang berkembang independen dari kehendak kaum revolusioner. Sebuah revolusi terjadi ketika semua kondisi-kondisi objektif terpenuhi. Massa tidak dapat menunggu sampai sebuah partai revolusioner terbentuk. Akan tetapi, ketika semua kondisi objektif telah terpenuhi, maka faktor kepemimpinan menjadi menentukan. Sering sekali ini menjadi perbedaan antara kemenangan dan kekalahan.
Revolusi adalah perjuangan dari kekuatan-kekuatan yang hidup. Kemenangan bukanlah sesuatu yang sudah ditentukan hasilnya. Pada kenyataannya, pada satu titik, Revolusi Mesir hampir saja kalah. Secara taktis, hanya berdemo di Lapangan Tahrir bukanlah taktik yang terbaik. Ini menunjukkan cara pandang terbatas dari para organiser. Mubarak hampir mematahkan gerakan, dengan menyuap lapisan-lapisan masyarakat tertentu dan memobilisasi preman-preman lumpenproletar untuk melakukan serangan brutal. Mubarak dapat saja berhasil. Hanya intervensi massa yang menentukan, dan terutama intervensi dari kelas buruh, yang mencegah kekalahan.
Masalah Kepemimpinan
Massa tidak pernah memiliki sebuah rencana komplit pada awal revolusi. Mereka belajar melalui perjuangan. Mereka mungkin tidak tahu dengan jelas apa yang mereka inginkan, tetapi mereka tahu dengan sangat baik apa yang tidak mereka inginkan. Dan ini cukup untuk mendorong maju gerakan.
Kepemimpinan adalah sebuah elemen yang sangat penting di dalam peperangan. Ini bukan berarti bahwa kepemimpinan adalah satu-satunya elemen. Bahkan para pemimpin yang paling brilian pun tidak dapat menjamin keberhasilan bila kondisi-kondisi objektif tidak mendukung. Dan kadang-kadang kita mungkin menang perang dengan jendral-jendral yang buruk. Di sebuah Revolusi, yang merupakan ekspresi tertinggi dari peperangan antara kelas-kelas, kelas buruh memiliki keunggulan jumlah dan kendalinya atas bagian-bagian kunci aparatus produksi masyarakat. Tetapi kelas penguasa memiliki banyak keunggulan lainnya.
Negara adalah sebuah aparatus untuk mempertahankan kediktaturan minoritas penindas di atas minoritas tertindas. Kelas penguasan memegang banyak tuas kuat lainnya di tangannya: pres, radio dan televisi, sekolah dan universitas, birokrasi negara dan juga birokrat-birokrat spiritual dan polisi-polisi spiritual di mesjid-mesjid dan gereja-gereja. Selain itu, mereka juga punya pasukan penasihat profesional, politisi-politisi, ekonom-ekonom, dan ahli-ahli lainnya yang mahir dalam seni manipulasi dan penipuan.
Untuk melawan aparatus represi ini, yang telah dibangun dan disempurnakan selama puluhan tahun, kelas buruh harus mengembangkan organisasi-organisasinya sendiri, yang dipimpin oleh kepemimpinan yang berpengalaman dan teguh, yang telah menyerap pelajaran-pelajaran sejarah dan siap untuk menghadapi setiap situasi. Berargumen bahwa kita dapat mengalahkan kelas penguasa dan negaranya tanpa organisasi dan kepemimpinan adalah seperti mengirim sebuah pasukan tentara ke medan perang tanpa latihan dan tanpa persiapan untuk menghadapi kekuatan profesional yang dipimpin oleh perwira-perwira profesional.
Di banyak kasus, konflik seperti ini akan berakhir dengan kekalahan. Tetapi bahkan bila Revolusi berhasil membuat musuh kelabakan pada serangan pertama, ini tidak akan cukup untuk menjamin kemenangan akhir. Musuh akan menghimpun dan mengorganisir kekuatan mereka kembali, memodifikasi taktik-taktiknya, dan menyiapkan konter-ofensif, yang akan lebih berbahaya karena massa telah dibuat percaya bahwa perang telah dimenangkan. Apa yang awalnya tampak seperti momen kemenangan dan suka cita ternyata adalah momen bahaya besar yang mengancam nasib Revolusi, dan ketiadaan kepemimpinan yang memadai di kasus seperti ini akan menjadi kelemahan yang fatal.
Kepemimpinan dari gerakan protesi ini terdiri dari elemen-elemen berbedan dan tendensi-tendensi ideologi berbeda. Pada analisa terakhir, ini merefleksikan kepentingan kelas-kelas yang berbeda. Pada awalnya kenyataan ini tersamarkan oleh seruan umum untuk “persatuan”. Tetapi perkembangan Revolusi secara tak terelakkan akan menyebabkan proses diferensiasi internal. Elemen-elemen borjuasi dan “demokrat-demokrat” kelas menengah akan menerima remah-remah yang ditawarkan oleh rejim. Mereka akan berkompromi dan membuat perjanjian di belakang punggung massa. Pada satu tahapan tertentu mereka akan mencampakkan Revolusi dan menyebrang ke kubu reaksi. Ini sudah terjadi.
Pada akhirnya, elemen-elemen revolusioner yang paling teguh yang dapat menjamin kemenangan akhir Revolusi adalah mereka yang tidak bersedia berkompromi dan ingin bergerak hingga garis akhir. Ledakan-ledakan baru adalah implisit di dalam situasi ini. Pada akhirnya satu pihak harus menang. Situasi objektif matang untuk perebutan kekuasaan oleh kelas buruh. Hanya kekurangan faktor subjektif – partai dan kepemimpinan revolusioner – yang telah mencegah ini dari terjadi sampai sekarang. Menyelesaikan masalah kepemimpinan oleh karenanya adalah masalah utama dari Revolusi.
Intrik-intrik di atas
Insureksi nasional lah yang mendorong para jendral untuk percaya bahwa hanya kepergian Mubarak yang dapat menenangkan jalan-jalan Mesir dan mengembalikan “ketertiban”. Ini adalah tujuan mereka. Semua pembicaraan mengenai demokrasi hanyalah kedok untuk menyamarkan kenyataan ini. Para jendral adalah bagian dari rejim yang lama dan berpartisipasi di dalam semua kerja kotor korupsi dan represi. Mereka takut akan Revolusi ini dan hanya ingin kembali ke “normalitas” – yakni, kembali ke rejim lama di bawah nama yang berbeda.
Kelas penguasa punya banyak ahli strategi untuk mengalahkan Revolusi. Bila mereka tidak dapat melakukan ini dengan kekerasan, mereka akan menggunakan tipu daya. Ketika kelas penguasa dihadapi dengan prospek kehilangan segalanya, mereka akan selalu menawarkan konsesi-konsesi. Penumbangan Ben Ali dan Mubarak adalah kemenangan besar, tetapi ini hanyalah aksi pertama dari drama revolusioner.
Perwakilan-perwakilan rejim lama masih ada di posisi-posisi kekuasaan; aparatus-aparatus negara lama, angkatan bersenjata, polisi, dan birokrasi, masih utuh. Kaum imperialis sedang berintrik dengan petinggi-petinggi militer dan pemimpin-pemimpin lama untuk menipu massa dari semua yang telah mereka menangkan. Mereka menawarkan sebuah kompromi, tetapi ini adalah sebuah kompromi yang akan mempertahankan kekuasaan dan hak-hak istimewa mereka.
Dikalahkan di jalanan, rejim lama mencoba untuk berkompromi, yakni mencoba menipu para pemimpin oposisi, supaya mereka lalu bisa menipu massa. Gagasannya adalah ini: ketika inisiatif sudah ada di tangan para “negosiator”, massa lalu akan menjadi penonton pasif. Keputusan-keputusan yang sesungguhnya akan dibuat di tempat lain, di belakang pintu-pintu yang terkunci, di belakang punggung massa.
Orang-orang rejim lama perlahan-lahan mulai mendapatkan kembali keberanian mereka. Mereka mulai merasa lebih percaya diri dan melipatgandakan manuver-manuver dan intrik-intrik mereka, menggunakan seksi-seksi oposisi yang lebih moderat. Massa merasa resah. Mereka tidak ingin gerakan ini ditunggangi oleh politisi-politisi profesional dan para pengejar karir yang berkompromi dengan para jendral seperti pedagang di pasar. Tetapi pertanyaannya tetap adalah ini: bagaimana mendorong Revolusi maju ke depan? Apa yang perlu dilakukan?
Ketika gerakan menjadi lebih radikal, elemen-elemen tertentu yang memainkan peran memimpin di tahap-tahap awal akan tertinggal di belakang. Sebagian akan meninggalkan gerakan, yang lain akan menyebrang ke musuh. Ini berkorespon dengan kepentingan kelas-kelas yang berbeda. Rakyat miskin, kaum penganggur, kaum buruh, “orang-orang tak berpunya” tidak punya kepentingan untuk mempertahankan rejim lama. Mereka ingin menyapu bukan hanya Mubarak tetapi juga seluruh rejim penindas, eksploitasi, dan kesenjangan. Tetapi kaum Liberal borjuis melihat perjuangan untuk demokrasi sebagai jalan untuk karir nyaman di parlemen. Mereka tidak punya kepentingan untuk menyelesaikan Revolusi ini atau merusak relasi kepemilikan yang ada.
Bagi kaum Liberal borjuis, gerakan massa hanyalah sebuah alat tawar, sesuatu yang bisa mereka gunakan untuk mengancam pemerintah untuk memberikan mereka lebih banyak remah. Mereka akan selalu mengkhianati Revolusi. Kita tidak boleh mempercayai mereka sama sekali. El Baradei sekarang mengatakan bahwa dia menentang amandemen konstitusi, tetapi alih-alih menuntut penyelenggaraan majelis konstituante, dia mengatakan bahwa pemilu harus ditunda, bahwa kondisi belumlah matang, bahwa waktunya belum tepat, dan banyak lagi alasan lainnya. Bagi para tuan-tuan ini, waktu untuk demokrasi tidaklah pernah tepat. Bagi rakyat yang telah menumpahkan darah mereka untuk Revolusi, waktu untuk demokrasi adalah sekarang!
IMT menyerukan:
- Jangan percaya para jendral!
- Jangan percaya “para pemimpin” yang memilih diri mereka sendiri, yang menyerukan kembalinya “normalitas”!
- Lanjutkan gerakan massa!
- Organisasi dan perkuat komite-komite revolusioner!
- Bersihkan semua pendukung rejim lama!
- Jangan berkompromi dengan rejim lama!
- “Rejim interim” sekarang tidak punya legitimasi dan harus disingkirkan segera. Tuntut diselenggarakannya Majelis Konstituante sekarang!
Ikhwanul Muslimin
Beberapa pihak, termasuk Khamenei di Iran, mengatakan bahwa gerakan revolusioner yang sedang kita saksikan adalah mengenai agama, bahwa ini adalah “sebuah kebangkitan Islam”. Tetapi jelas itu adalah keliru. Bahkan para klerus utama di Mesir mengakui ini. Mereka takut tersapu ke samping bila mereka mencoba menggambarkan Revolusi ini sebagai sebuah gerakan religius. Gerakan ini adalah gerakan untuk semua agama dan oleh karenanya bukanlah gerakan religius. Tidak ada permusuhan terhadap Kristen di dalam demo-demo. Bahkan tidak ada setitik anti-Yahudi pun.
Sektarianisme agama adalah sebuah senjata yang digunakan oleh kaum reaksioner untuk membingungkan rakyat. Serangan Desember terhadap kaum Kristen Coptic jelas direncanakan oleh polisi rahasia guna menciptakan perpecahan sektarian dan mengalihkan perhatian dari masalah-masalah nyata yang dihadapi rakyat. Mereka sekarang menggunakan taktik yang sama untuk memecah belah massa secara sektarian, menciptakan konflik antara orang Muslim dan Kristen dalam usaha untuk memecah belah dan membingungkan rakyat dan melemahkan Revolusi.
Pemberontakan-Pemberontakan di Tunisia dan Mesir pada umumnya adalah sekuler dan demokratik, dan sering dengan sengaja tidak mengikutsertakan kaum Islamis. Gagasan bahwa Ikhwanul Muslimin adalah “satu-satunya oposisi sejati” adalah keliru total. Tuntutan-tuntutan dasar dari para demonstran Mesir adalah pekerjaan, makanan, dan hak-hak demokratis. Ini tidak ada hubungannya dengan kaum Islamis dan ini merupakan jembatan ke sosialisme, yang dulu punya akar dalam di tradisi-tradisi perjuangan Mesir dan negara-negara Arab lainnya.
Beberapa orang Kiri yang tersesat telah menggambarkan gerakan-gerakan di Mesir dan Tunisia sebagai revolusi “kelas menengah”. Orang-orang Kiri ini juga telah bermain mata dengan kelompok-kelompok reaksioner seperti Hezbollah, Hamas, dan Ikhwanul Muslimin. Mereka mencoba membenarkan pengkhianatan terhadap Marxisme ini dengan alasan bahwa para pemimpin kelompok-kelompok reaksioner tersebut memiliki garis anti-imperialis. Ini salah dari awal hingga akhir. Mereka yang disebut-sebut Islamis ini hanya anti-imperialis di mulut saja, tetapi pada prakteknya mewakilkan tren reaksioner. Pada kenyataannya mereka adalah roda kelima dari rejim lama.
Kaum imperialis telah mencoba menggunakan kaum Islamis sebagai alat penakut untuk membingungkan massa dan menutupi watak sesungguhnya dari Revolusi Arab ini. Mereka mengatakan: “Lihat! Bila Mubarak pergi, al-Qaeda akan mengambil tempatnya.” Mubarak sendiri mengatakan kepada rakyat Mesir bila dia turun maka Mesir akan “menjadi seperti Irak”. Ini semua adalah dusta. Peran kaum fundamentalis dan organisasi-organisasi seperti Ikhwanul Muslimin telah dibesar-besarkan. Organisasi-organisasi ini tidak mewakili sebuah kekuatan progresif. Mereka berpose sebagai kaum anti-imperialis tetapi mereka berdiri untuk kepentingan kaum tuan tanah dan kapitalis. Pada analisa terakhir, mereka akan selalu mengkhianati perjuangan buruh dan tani.
Sungguh adalah sebuah skandal bahwa beberapa kelompok kiri Eropa, dan bahkan beberapa yang menyebut diri mereka Marxis, telah mendukung kaum Islamis. Ini adalah pengkhianatan terhadap revolusi proletarian. Benar bahwa Ikhwanul Muslimin terpecah secara garis kelas. Kepemimpinannya ada di tangah elemen-elemen konservatif, kapitalis, dan pedagang-pedagang kaya. Sementara anggota-anggota bawahannya terdiri dari kaum muda militan dan mereka yang datang dari latar belakang miskin dan buruh. Akan tetapi, cara untuk memenangkan yang belakangan ini ke sisi revolusi bukanlah dengan membuat aliansi dengan para pemimpin kapitalis mereka, tetapi justru dengan mengkritik para pemimpin ini habis-habisan guna mengekspose klaim hampa mereka bahwa mereka adalah anti-imperialis dan pro-rakyat miskin.
Ini justru berkebalikan dengan apa yang kelompok-kelompok Kiri tersebut lakukan ketika mereka membuat sebuah aliansi dengan para pemimpin Ikhwanul Muslimin dalam mengorganisir konferensi anti-perang di Kairo. Pada dasarnya, organisasi-organisasi Kiri tersebut memberikan para pemimpin Ikhwanul Muslimin kedok kiri, mensahkan kredensial anti-imperialism mereka yang palsu dan oleh karenanya memperkuat cengkraman mereka pada anggota-anggota mereka.
Di masa lalu Ikhwanul Muslimin didukung oleh CIA untuk melemahkan nasionalisme kirinya Gamal Abdel Nasser. Islam fundamentalisme adalah ciptaan John Foster Dulles dan Departemen Luar Negeri AS, untuk menghancurkan kiri setelah Perang Suez 1956. Tetapi ketika Sadat dan Mubarak menjadi kaki tangan Amerika, pelayanan Ikhwanul Muslimin tidak lagi dibutuhkan. Hilary Clinton dan yang lainnya telah mengatakan bahwa Ikhwanul Muslimin bukanlah sebuah ancaman, dan bahwa mereka adalah orang-orang yang bisa diajak bekerja sama. Ini adalah indikasi jelas bahwa kaum imperialis akan sekali lagi mencoba menggunakan kaum Islamis untuk memenggal Revolusi.
Sama juga, Hamas dan Hezbollah awalnya dibentuk untuk melawan PFLP (Popular Front for the Liberation of Palestine, sebuah organisasi Marxis di dalam PLO) dan tendensi-tendensi kiri lainnya di Palestina. Kemudian, CIA menciptakan Osama bin Laden untuk melawan kekuatan Soviet di Afghanistan. Dan sekarang mereka kembali lagi berintrik dengan para pemimpin Ikhwanul Muslimin untuk memenggal Revolusi di Mesir dan menipu rakyat. Tetapi Ikhwanul Muslimin bukanlah sebuah gerakan yang homogen dan sekarang mereka terpecah belah ke dalam faksi-faksi berbeda sepanjang garis kelas.
Rakyat miskin yang mendukung IM adalah satu hal. Para pemimpin IM adalah satu hal lainnya yang berbeda. Pada tahun 1980an para pemimpin IM menerima keuntungan dari liberalisasi ekonomi – program intifah atau pembukaan – dimana Sadat dan kemudian Mubarak mempreteli sektor negara dan mendukung kapital swasta. Satu studi mengenai para pengusaha IM menunjukkan bahwa pada saat itu mereka menguasai 40 persen dari semua perusahaan ekonomi swasta. Mereka adalah bagian dari sistem kapitalis dan memiliki kepentingan untuk mempertahankannya. Tindakan mereka tidak didikte oleh AlQuran tetapi oleh kepentingan kelas. Kaum Islamis “garis keras” juga sama takutnya terhadap massa revolusioner. Ikhwanul Muslimin menyatakan bahwa mereka tidak akan bernegosiasi dengan pemerintah sampai Mubarak Turun. Namun seketika rejim ini memanggil mereka dengan jari kecilnya, mereka berubah pikiran. Salah satu pemimpin mereka pergi ke Lapangan Tahrir, dimana para demonstran sedang berdiri teguh dan mencegah tank-tank masuk ke Lapangan dengan badan-badan mereka, dan meminta para demonstran untuk tidak berbenturan dengan tentara.
Sikap kami kepada orang-orang seperti itu telah dipaparkan oleh Lenin dulu sekali, yang memperingatkan di Kongres Kedua Komunis Internasional:
“11) Berhubungan dengan negara-negara dan bangsa-bangsa yang lebih terbelakang, dimana relasi feodal atau patriakal atau patriakal-tani masih dominan, sangatlah penting untuk mengingat:
pertama, bahwa semua partai Komunis harus membantu gerakan pembebasan demokratik-borjuis di negara-negara ini, dan bahwa tugas memberikan bantuan paling aktif jatuh terutama di pundak kaum buruh dari negara yang mana negara terbelakang ini tergantung secara kolonial dan finansial;
kedua, perlunya perjuangan melawan kaum klerus dan elemen-elemen reaksioner dan medival yang berpengaruh di dalam negara-negara terbelakang;
ketiga, perlunya memerangi Pan-Islamisme dan tren-tren serupa, yang mencoba menggabungkan gerakan pembebasan melawan imperialisme Eropa dan Amerika dengan usaha untuk memperkuat posisi kaum khan (bangsawan), tuan tanah, mullah, dsb.” (Lenin, Draf thesis mengenai permasalahan nasional dan kolonial, 5 Juni 1929, penekanan dari kami)
Inilah posisi Marxisme yang sejati terhadap tren-tren relijius reaksioner. Inilah posisi yang dipertahankan oleh IMT dengan teguh.
IMT menyerukan:
- Bela persatuan rakyat revolusioner!
- Lawan para penyebar isu dan kebencian SARA!
- Lawan semua diskriminasi berdasarkan agama!
- Tidak ada kompromi dengan tren-tren reaksioner dan non-progresif!
- Setiap laki-laki dan perempuan harus punya hak untuk memeluk agama apapun atau tidak memeluk agama!
- Pemisahan sepenuhnya agama dari Negara!