Gerakan revolusioner massa rakyat Arab niscaya mempengaruhi secara besar Afrika Sub-Sahara, menggerakkan massa yang selama berpuluh-puluh tahun telah dipaksa hidup secara menggenaskan. Segera setelah awal dari Musim Semi Arab, ledakan-ledakan kekecewaan massa terjadi di banyak negara-negara sub-Sahara, terutama di Burkina Faso, Senegal, Malawi, Zambia, dan Swaziland, tetapi ledakan-ledakan kecil terjadi juga di semua negara-negara Afrika, dan pada umumnya ketegangan antara massa dan penguasa mereka telah menjadi lebih besar.
Afrika
Gerakan revolusioner massa rakyat Arab niscaya mempengaruhi secara besar Afrika Sub-Sahara, menggerakkan massa yang selama berpuluh-puluh tahun telah dipaksa hidup secara menggenaskan. Segera setelah awal dari Musim Semi Arab, ledakan-ledakan kekecewaan massa terjadi di banyak negara-negara sub-Sahara, terutama di Burkina Faso, Senegal, Malawi, Zambia, dan Swaziland, tetapi ledakan-ledakan kecil terjadi juga di semua negara-negara Afrika, dan pada umumnya ketegangan antara massa dan penguasa mereka telah menjadi lebih besar.
Mesir, Nigeria, dan Afrika Selatan, tiga negara memegang kunci strategis yang sangat penting di Afrika. Ini karena mereka memiliki populasi yang besar dan ekonominya relatif berkembang dengan kelas proletar yang penting. Mesir akan dibicarakan di bagian lain di dokumen ini, jadi kita akan berbicara mengenai Nigeria dan Afrika Selatan, untuk menggarisbawahi proses umum yang sedang terjadi.
Di Nigeria, dengan 170 juta penduduk, adalah negara yang paling padat di Afrika. Kontradiksi-kontradiksi sosial sangat mencolok mata. Walaupun perekonomian Nigeria telah tumbuh lebih dari 6 persen setiap tahunnya selama lima tahun terakhir, tingkat kemiskinan terus tumbuh dan tingkat pengangguran di antara kaum muda telah mencapai 47 persen. Ini adalah resep untuk perjuangan kelas. Kaum buruh Nigeria telah bergerak lagi dan lagi di banyak pemogokan-pemogokan umum dan demonstrasi-demonstrasi massa. Masalah terutama adalah ketiadaan kepemimpinan politik untuk membawa perjuangan ini lebih maju.
Tahun-tahun terakhir, tekanan untuk membentuk sebuah partai politik massa telah mendorong sejumlah elemen di dalam birokrasi serikat buruh untuk membentuk Partai Buruh Nigeria. Tetapi para pemimpin serikat buruh ini, karena mereka takut tidak bisa mengendalikan perkembangan partai semacam ini, tidak memberikan dukungan penuh mereka untuk mobilisasi. Oleh karenanya, Partai Buruh ini, walaupun memiliki potensi yang besar, masihlah sebuah organisasi yang sangat kecil yang tidak memainkan peran yang signifikan secara nasional. Organisasi yang terus diharapkan oleh massa buruh adalah Kongres Buruh Nigeria, federasi serikat buruh utama di negeri ini.
Ini jelas dari gerakan massa yang meledak pada Januari ini, yang dipicu oleh rencana pemerintah untuk menghapus subsidi BBM. Gerakan ini, yang berujung pada mogok umum 5 hari, sangat berbeda dari protes-protes sebelumnya. Demo-demo dihadiri ratusan ribu massa yang turun ke jalan, disertai dengan pemilihan komite-komite lingkungan di beberapa daerah, yang mengindikasikan bahwa massa mencoba untuk menentukan nasibnya sendiri. Juga, karena vakum politik di Kiri, dengan Partai Buruh yang hanya menjadi alat tawar-menawar di tangan segelintir elemen borjuis, Front Aksi Bersama (JAF) dan LASCO mengambil peran yang penting di antara elemen-elemen buruh yang paling maju dan kaum muda. Ini mengindikasikan proses radikalisasi sedang terjadi, seperti halnya di seluruh dunia. Yang kita saksikan pada Januari ini dapat dilihat sebagai tembakan pertama dari Revolusi Nigeria. Yang jelas adalah bahwa kaum buruh Nigeria terinspirasi oleh gerakan-gerakan di negara-negara Arab. Pada situasi sekarang ini, pembatalan pemogokan umum tidak akan menjadi akhir dari gerakan ini, dan ledakan baru perjuangan kelas akan tak terelakkan di periode mendatang,
Walaupun perkembangan-perkembangan penting telah terjadi di seluruh Afrika, negara kunci di benua ini tetap adalah Afrika Selatan, yang merupakan kekuatan industri paling maju di sana. Enambelas tahun setelah jatuhnya rejim Apartheid, massa Afrika Selatan masih belum melihat perubahaan riil di dalam kehidupan mereka. Walaupun Afrika Selatan memiliki sumber mineral yang besar, 31% dari populasi kerja mereka tidak memiliki pekerjaan. Di antara kaum muda, tingkat pengangguran lebih dari 70% dan seperempat dari populasi hidup dengan pendapatan kurang dari $1.25 per hari.
Di bawah kondisi-kondisi ini, rakyat Afrika Selatan menjadi semakin radikal setiap harinya. Pada tahun 2010, 1,3 juta pekerja publik mogok dan ratusan ribu lainnya siap turut serta. Tendensi pemogokan besar ini terus berlanjut pada musim panas 2011 di mana ratusan ribu pekerja metal dan buruh industri lainnya mogok beberapa minggu. Pada saat yang sama, kota-kota di Afrika Selatan terbakar oleh kemarahan dan demo-demo rakyat hampir setiap bulannya. Mereka memprotes ketidakteraturan dalam penyediaan air dan listrik dan juga korupsi yang menghambat semua aspek masyarakat Afrika Selatan.
Tekanan dari bawah mulai terefleksikan di dalam aliansi antara ANC, SACP, dan COSATU. Pada tahun-tahun terakhir sebuah perpecahan telah berkembang di antara elemen-elemen yang lebih dekat dengan aparatus negara dan elemen-elemen yang lebih dekat dengan kaum buruh dan kaum muda. Proses ini tertama terefleksikan di dalam perkembangan Liga Muda ANC yang pemimpin populisnya, Julius Malema, telah bergerak ke kiri dengan tajam. Malema telah mengedepankan gagasan menasionalisasi tambang-tambang di Afrika Selatan – sebuah gagasan yang merupakan bagian dari Charter Freedom (Deklarasi Kebebasan), yang dilihat oleh banyak orang sebagai program ANC. Para muda-mudi telah merespon seruan ini dengan antusias. Juga para pemimpin COSATU memberikan dukungan, tetapi pada saat yang sama proposal ini ditentang oleh kepemimpinan ANC dan SACP yang telah menskor dia dari ANC.
Pada bulan Juni 2011, pada Kongres Liga Muda ANC, nasionalisasi sektor-sektor ekonomi strategis dan sektor-sektor ekonomi penting diadopsi sebagai bagian dari program Liga Muda ANC. Ini adalah indikasi bagaimana situasi hari ini sangat matang untuk gagasan sosialis revolusioner.
Secara umum, sistem kapitalis tidak bisa menawarkan apapun selain inflasi y ang terus meninggi, pengangguran, dan kemiskinan yang parah. 50 persen dari rakyat Afrika hidup dengan pendapatan kurang dari $2.5 setiap hari. Rata-rata orang miskin di Afrika Sub-Sahara hanya hidup dengan $0.70 setiap harinya, dan lebih miskin hari ini dibandingkan pada tahun 1973. Krisis kapitalisme telah memperparah situasi ini dan di bawah kondisi-kondisi ini massa benua ini mulai mengambil kesimpulan dan bergerak ke kiri. Mereka akan memainkan peran yang penting dalam gerakam menuju revolusi dunia.\
Revolusi Arab
Revolusi Arab menandai satu titik balik fundamental di dalam sejarah. Ia menunjukkan bagaimana cepatnya peristiwa berkembang. Revolusi-revolusi di Tunisia dan Mesir tampak terjadi dengan tiba-tiba, tanpa peringatan. Setidaknya, beginilah bagi kaum borjuis. Para pakar-pakar kaum borjuis tidak mengerti apa-apa. Para ahli ekonomi, politisi, dan jurnalis tidak bisa melihat ke depan dan tidak bisa menjelaskan apa-apa.
Empirisme kaum borjuis tidak mampu menjelaskan proses-proses yang berlangsung dalam tingkatan yang dalam. Hanya metode materialisme dialektik yang bisa memberikan penjelasan ilmiah. Marxisme menjelaskan bagaimana segala sesuatu dapat dan akan berubah menjadi kebalikannya. Teori Marxis memberikan kita superioritas kemampuan melihat ke depan dan tidak terkejut.
Rakyat Arab sebelumnya dianggap sebagai massa yang pasif, apatis, terbelakang, dan submisif. Tetapi mereka juga mengatakan hal yang sama mengenai rakyat Rusia sebelum 1917. Di sini prasangka rasisme bersentuhan dengan cara pandang sejarah yang dangkal dan tidak ilmiah. Kita temui juga prasangka yang serupa di antara kaum “Marxis” yang selalu mengeluh mengenai rendahnya kesadaran massa. Untuk orang-orang seperti ini, dialektika selalu merupakan buku yang tertutup.
Peristiwa-peristiwa di Timur Tengah dan Afrika Utara bukanlah sebuah fenomena yang terisolasi dari proses dunia. Revolusi Arab adalah sebuah antisipasi dari apa yang akan terjadi juga di Eropa dan Amerika Utara. Sebelumnya, situasi yang paling maju ada di Amerika Latin, tetapi peristiwa di Tunisia mengubah semuanya.
Dalam beberapa minggu, Revolusi Arab meloncat dari satu negara ke negara lain. Pengaruhnya terasa oleh jutaan buruh dan kaum muda di seluruh dunia yang dapat menyaksikan revolusi terjadi di depan mata mereka. Gambaran-gambaran dramatik di mana jutaan rakyat memobilisasi, mengorganisir, berjuang, dan siap menghadapi maut untuk mengubah masyarakat tersiar di mana-mana. Untuk pertama kalinya dalam puluhan tahun, gagasan revolusi tidak lagi abstrak dan menjadi konkret.
Ini mengkonfirmasikan apa yang telah kita bicarakan sebelumnya mengenai karakter internasional dari revolusi dan peran kepemimpinan kelas buruh. Ini juga mengkonfirmasikan perlunya kepemimpinan revolusioner untuk keberhasilan revolusi. Seperti yang Trotsky katakan mengenai kaum buruh Spanyol pada tahun 1930-an, kaum buruh Tunisia dan Mesir dapat membuat bukan satu tetapi sepuluh revolusi. Yang tidak ada adalah kepemimpinan revolusioner. Ini berarti Revolusi Arab akan mengambil karakter yang berkepanjangan dan penuh gejolak, dan akan melalui banyak tahapan.
Di Mesir dan Tunisia, penumbangan Ben Ali dan Mubarak adalah sebuah langkah ke depan yang besar. Tetapi ini hanyalah langkah pertama. Yang diperlukan adalah penumbangan seluruh rejim itu sendiri, bukan hanya individu yang ada di atasnya. Tuntutan penyitaan kekayaan para parasit itu, dan juga kaum imperialis yang telah mendukung mereka, menghubungkan tuntutan-tuntutan demokratis dengan tuntutan sosialis.
Dengan keberanian dan semangat pengorbanan mereka, kaum proletar Mesir yang revolusioner mengingatkan kita pada Barcelona 1936, di mana buruh secara spontan bangkit, tanpa partai, tanpa kepemimpinan, tanpa program, tanpa rencana, dan meremukkan kaum fasis dengan tangan mereka sendiri. Tetapi kemudian, massa tidak punya rencana yang sudah matang ketika revolusi meledak.
Revolusi ini telah mencapai banyak hal. Satu elemen penting di dalam revolusi ini adalah peran kaum perempuan – yang selalu merupakan tanda bahwa revolusi ini telah membangkitkan massa. Revolusi ini juga telah memotong segala perbedaan agama, gender, bahasa, dan nasionalitasi. Ia telah menyatukan massa yang luas ke dalam perjuangan.
Perang kaum Islam Fundamentalis dan Ikhwanul Muslimin dalam revolusi ini telah dibesar-besarkan oleh media Barat. Pada kenyataannya, mereka adalah pilar-pilar rejim ini, yang digunakan oleh kaum imperialis sebagai alat untuk menakut-nakuti. Di bawah tekanan massa, organisasi-organisasi Islamis mulai pecah menjadi berbagai faksi dalam garis kelas.
Revolusi ini telah dan akan terus mengekspos politik Islam sebagai kabut di mana bersembunyi politik kanan kaum borjuis dari berbagai warna. Akan tetapi, proses ini tidak linear. Karena ketiadaan kepemimpinan revolusioner yang sejati, gerakan ini akan melewati jalan yang berliku-liku dan belajar melalui pengalaman yang pahit.
Banyak elemen-elemen borjusi yang telah melemparkan dukungan mereka di belakang kaum Islam liberal dan konservatif, seperti Ennahda di Tunisia dan Ikhwanul Muslimin di Mesir. Tetapi, karena tidak ada alternatif kelas yang jelas, partai-partai ini dapat menarik dukungan dari sejumlah lapisan massa. Ini terutama benar ketika gerakan sedang menurun untuk sementara. Di bahwa kondisi ini, massa melihat partai-partai ini sebagai kekuatan oposisi yang bersih dari noda-noda rejim sebelumnya.
Akan tetapi, tidak seperti pakar-pakar borjuis yang empirisis, yang tidak ragu-ragu mendeklarasikan ini sebagai kemenangan Islam Fundamentalisme di Timur Tengah, akan keliru kalau kita melihat kemenangan elektoral atau pertumbuhan partai-partai Islamis ini sebagai kekalahan revolusi. Ini hanyalah satu tahapan dari sebuah proses yang panjang. Siapapun yang akan berkuasa akan segera dihadapkan dengan tuntutan-tuntutan massa yang ingin solusi dari problem-problem mereka – kemiskinan, pengangguran, dan tidak adanya demokrasi – di dunia sekarang dan bukan di akhirat.
Oleh karenanya, periode selanjutnya akan menyaksikan naik dan jatuhnya berbagai tendensi dan partai. Tidak ada satupun partai ini yang menantang kapitalisme sebagai sebuah sistem. Pada kenyataannya, mereka mempertahankan sistem kapitalis dan inilah mengapa mereka tidak akan bisa memenuhi tuntutan-tuntutan utama rakyat, dan akan berkonflik dengan massa. Kaum buruh dan kaum muda masih dipenuhi dengan rasa percaya diri dari kemenangan-kemenangan mereka pada musim semi 2011. Mereka akan menguji partai yang akan berkuasa. Awalnya akan ada periode di mana mereka akan menunggu untuk melihat apa yang sedang ditawarkan, tetapi partai-partai ini tidak akan bisa memenuhi tuntutan mereka. Oleh karenanya, bangkitnya organisasi-organisasi “Islamis” bukanlah kekalahan final dari revolusi. Sebaliknya, ini hanya persiapan untuk pemberontakan-pemberontakan di masa depan.
Tahapan-tahapan di dalam Revolusi
Sebuah revolusi bukanlah satu peristiwa tunggal. Ia adalah sebuah proses. Setiap revolusi melalui tahapan-tahapan. Tahapan pertama adalah seperti sebuah karnaval besar, dengan massa turun ke jalan dengan eforia besar. Massa rakyat merasa “Kita telah menang”.
Di situasi seperti itu, slogan-slogan dan taktik-taktik harus konkret. Mereka harus merefleksikan situasi riil. Kita menuntut demokrasi yang sepenuh-penuhnya, penghapusan segera atas semua hukum-hukum reaksioner, dan Dewan Konstituante. Tetapi masalahnya, siapa yang akan menyelenggarakan Dewan Konstituante. Angkatan Bersenjata Mesir? Tetapi militer adalah bagian integral dari rejim yang lama. Kaum buruh dan muda harus terus berjuang, di jalan-jalan, di pabrik-pabrik, sampai semua tuntutan mereka terpenuhi.
Tuntutan-tuntutan segera adalah demokratis. Tetapi ini juga benar di Rusia pada tahun 1917. Tugas-tugas objektif dari Revolusi Rusia adalah demokratik: penumbangan rejim Tsar, demokrasi formal, kebebasan dari imperialisme, kebebasan pres, dsbnya. Tetapi Revolusi Rusia menunjukkan bahwa tuntutan-tuntutan demokrasi hanya bisa dipenuhi dengan perebutan kekuasaan oleh kelas buruh. Inilah mengapa tuntutan-tuntutan demokrasi harus dihubungkan dengan tuntutan-tuntutan sosialis.
Kaum Bolshevik merebut kekuasaan di atas basis tuntutan demokratis: perdamaian, roti, dan tanah – dan bukan slogan-slogan sosialis. Secara teori, kita bisa mendapatkan semua ini di bawah kapitalisme. Tetapi waktu telah berlalu. Kita hidup di epos imperialisme di mana teori Revolusi Permanen menjelaskan bagaimana kaum borjuis tidak mampu memenuhi tugas-tugas demokratis. Juga Lenin menghubungkan tuntutan-tuntutan transisional ini ke tuntutan yang lain: Semua Kekuasaan Untuk Soviet. Dengan cara ini, dengan menggunakan tuntutan-tuntutan demokratis yang maju, dia menghubungkan tingkat kesadaran massa yang sesungguhnya untuk mengedepankan masalah kekuasaan buruh. Juga di Mesir kita mengatakan: “Kalian ingin demokrasi? Kami juga! Tetapi jangan percaya kepada Militer atau Ikhwanul Muslimin – mari berjuang untuk demokrasi yang sesungguhnya!”
Revolusi tidak berlangsung dalam garis lurus. Kita melihat sebuah proses yang serupa di setiap revolusi. Di Rusia, menyusul tumbangnya Tsar pada bulan Februari, ada periode reaksi pada Juli dan Agustus, diikuti oleh kebangkitan baru pada September dan Oktober. Di Spanyol, penumbangan monarki pada bulan April 1931 disusul dengan kekalahan Komune Asturian pada Oktober 1934 dan juga kemenangan reaksi selama dua tahun (Bienio Negro, Dua Tahun Gelap). Ini hanya menjadi awal dari kebangkitan baru pada tahun 1936 dengan terpilihnya Front Popular.
Karena ketiadaan kepemimpinan Bolshevik, Revolusi Mesir ini niscaya akan terdorong mundur. Akan tetapi mereka yang berjuang untuk revolusi telah menyadari bahwa mereka telah tertipu. Mereka akan berkata: Apa yang telah berubah? Secara fundamental, tidak adal. Ini seperti Hari-hari Juli di Rusia. Oleh karenanya, revolusi bergerak ke tahapan selanjutnya, dimulai dengan kaum muda yang akan berteriak: “Tidak ada yang berubah!” Ini adalah tahapan yang tak terelakkan, bagian dari pelajaran dari pengalaman.
Kita tidak bisa dengan pasti meramalkan apa yang akan terjadi selanjutanya. Mungkin akan ada serangkaian rejim borjusi yang tidak stabil. Ini tidak akan mudah. Massa rakyat akan belajar melalui pengalaman pahit kalau kelas buruh harus merebut kekuasaan. Akan ada proses pemilahan yang panjang. Akan ada kekalahan-kekalahan, bahkan yang serius. Tetapi dengan kondisi hari ini, setiap kekalahan hanya akan menjadi awal bagi kebangkitan revolusioner yang baru.
Bila ini terjadi 10 tahun yang lalu, mungkin mereka akan dapat mengkonsolidasikan rejim borjuis demokratis dengan jauh lebih mudah. Tetapi sekarang ada krisis yang dalam. Mereka tidak dapat menawarkan apapun kepada massa. Mereka bahkan tidak dapat melakukan apapun di AS, apalagi di Mesir. Tidak akan ada roti, pekerjaan, dsbnya.
Pada tahun 1915, Lenin menulis:
“Siapapun yang mengharapkan revolusi yang murni tidak akan pernah hidup untuk menyaksikannya. Orang-orang seperti ini hanya berbicara saja mengenai revolusi tanpa memahami apa itu revolusi.
“Revolusi Rusia 1995 adalah sebuah revolusi borjusi demokratik. Di dalam Revolusi ini, terjadi serangkaian pertempuran di mana semua kelas-kelas, kelompok-kelompok, dan elemen-elemen masyarakat yang kecewa terlibat. Di antara mereka, ada massa-massa yang punya prasangka-prasangka yang paling kasar, dengan gol-gol perjuangan yang paling kabur dan fantastis. Ada kelompok-kelompok yang menerima uang dari Jepang, ada spekulator dan para petualang, dan lain sebagainya. Tetapi secara objektif, gerakan massa sedang meremukkan punggung Tsarisme dan membuka jalan untuk demokrasi. Dan untuk alasan ini buruh yang sadar kelas memimpinnya.
“Revolusi Sosialis di Eropa tidak mungkin tidak merupakan sebuah ledakan perjuangan massa dari semua elemen-elemen yang tertindas dan kecewa. Secara tak terelakkan, elemen-elemen borjuis kecil dan buruh terbelakang akan berpartisipasi di dalamnya – tanpa partisipasi ini, perjuangan massa akan menjadi mustahil, dan tanpanya revolusi akan mustahil – dan juga tak terelakkan mereka akan membawa ke dalam gerakan semua prasangka mereka, semua fantasi reaksioner mereka, semua kelemahan dan semua kekeliruan mereka. Tetapi secara objektif mereka akan menyerang kapitalisme, dan kaum pelopor revolusi yang sadar kelas, kaum proletar yang maju, yang mengekspresikan kebenaran objektif dari perjuangan massa yang terdiri dari berbagai macam elemen dan fragmen, akan mampu menyatukan mereka dan mengarahkannya, merebut kekuasaan, menyita bank-bank, menyita sindikat-sindikat yang dibenci oleh semua orang (walaupun untuk alasan yang berbeda-beda), dan memperkenalkan kebijakan-kebijakan diktaturial yang dalam totalitasnya akan berarti penumbangan kaum borjuis dan kemenangan sosialisme, yang, akan tetapi, tidak akan dapat dengan segera ‘membersihkan’ dirinya dari sisa-sisa borjuis-kecil.”
Kalimat-kalimat ini sangatlah cocok untuk Revolusi Arab hari ini.
Libya
Kaum Kiri telah menunjukkan kebingungan yang besar mengenai Libya. Di satu pihak, sejumlah orang berkapitulasi pada imperialisme, dengan mendukung intervensi militer NATO. Ini naif dan reaksioner. Untuk membiarkan penilaian kita dikabuti oleh paduan suara media dan menelan kebohongan mengenai intervensi “humanitarian” untuk “melindungi rakyat sipil” adalah sangat bodoh.
Akan tetapi, tendensi-tendensi Kiri lainnya tidak lebih baik. Mereka bergerak ke ujung yang lain dan mendukung Gaddafi, yang mereka gambarkan sebagai seorang “progresif”, “anti-imperialis”, dan bahkan “sosialis”. Tidak ada satupun hal ini yang benar. Benar kalau rejim Libya (dan juga rejim Suria) punya karakter yang berbeda dari rejim Tunisia dan Mesir. Tetapi ini sama sekali tidak mengubah watak opresifnya, atau untuk menyebutnya sebagai anti-imperialis yang sejati.
Rejim Gaddafi memiliki sebuah karakter yang unik. Awalnya Gaddafi memiliki basis massa karena retorika anti-imperialisnya. Rejim ini, yang berlagak seperti “sosialis”, menasionalisasi mayoritas ekonomi, dan dengan minyaknya yang berlimpah dan populasi yang kecil, mampu menyediakan taraf hidup yang relatif tinggi, pelayanan kesehatan dan pendidikan bagi mayoritas rakyat. Ini memberikan rejim ini kestabilan yang cukup lama. Ini juga menjelaskan mengapa, setelah pemberontakan awal menentangnya, Gaddafi masih mampu mengumpulkan dukungan yang cukup untuk melawan selama beberapa bulan dan tidak segera tumbang.
Akan tetapi, rejim Libya adalah sebuah sistem yang mengkonsentrasikan semua kekuasaan di tangan seorang individu. secara efektif mencegah perkembangan institusi politik atau bahkan Negara. Tidak akan partai penguasa (partai politik dilarang), sebuah birokrasi yang sangat kecil, dan militer yang lemah dan terpecahbelah. Gaddafi mempertahankan kekuasaannya melalui sebuah sistem penindasan, patron-klien, dan aliansi dengan pemimpin-pemimpin klan dan jaringan kontak-kontak informal yang kompleks.
Selama 20 tahun terakhir – dan terutama di dekade terakhir – rejim Gaddafi mulai melonggarkan kontrol negara terhadap ekonomi dan mulai melakukan perjanjian-perjanjian dengan imperialisme, membuka pasarnya dan mengadopsi ekonom pasar bebas dan kebijakan neo-liberal. Rejim ini memperkenalkan reforma-reforma yang berorientasi pasar, termasuk mendaftar menjadi anggota WTO, mengurangi subsidi-subsidi dan mengumumkan rencana-rencana privatisasi.
Pergeseran ke ekonomi pasar ini telah menyebabkan jatuhnya taraf hidup bagi banyak rakyat Libya. Sementara segelintir orang menjadi kaya, terutama keluarga Gaddafi. Ini adalah salah satu alasan utama dari kebangkitan popular di Libya. Insureksi di Benghazi adalah sebuah revolusi popular yang sejati, tetapi tanpa adanya sebuah partai revolusioner, revolusi ini dibajak oleh politisi-politisi borjuis dari Dewan Transisional Nasional (NTC, National Transisional Council). Elemen-elemen ini tak terpilih dan tidak bertanggungjawab kepada siapapun. Mereka merangsek masuk dan menyingkirkan massa revolusioner, terutama kaum muda yang melakukan semua pertempuran.
Ini menciptakan sebuah situasi yang morat-marit dan bingung, yang dapat dengan mudah menjadi kekacauan. Selama kebangkitan-kebangkitan revolusioner di Timur Tengah dan Afrika Utara, kaum imperialis tidak mampu mengintervensi. Tetapi sekarang mereka paham bahwa mereka dapat memainkan peran di dalam situasi ini. Amerika, Prancis, dan Inggris membuka hubungan dengan NTC, yang merupakan aliansi antara elemen-elemen borjuis dan mantan-mantan menteri rejim Gaddafi.
Para penguasa Libya yang baru ini bahkan lebih ingin melempar diri mereka ke pelukan kaum imperialis. Tetapi massa Libya membenci dan tidak mempercayai kaum imperialis. Mereka tahun bahwa revolusi Libya mendapatkan dukungan Barat karena Libya punya banyak minyak, dan Inggris, Prancis, dan Amerika hanya ingin menjarah sumber daya alam negeri ini.
Dalam menganalisis fenomena apapun, kita harus bisa membedakan dengan hati-hati berbagai tendensi yang ada, memisahkan yang progresif dari yang reaksioner. Di Libya, ini tidak mudah. Gerakan di Libya terdiri dari banyak elemen, yang reaksioner dan juga yang secara potensial revolusioner. Ada banyak kekuatan yang bersaing untuk merebut kepemimpinan revolusi. Perjuangan ini belum berakhir, dan ini dapat bergerak ke banyak arah. Nasib revolusi Libya belumlah final dan ini akan dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa dunia, terutama Mesir.
Suria
Seperti di Libya, pengaruh revolusi di Tunisia dan Mesir terasa di Suria. Massa percaya kalau apa yang dibutuhkan untuk menumbangkan rejim ini hanyalah demo-demo massa. Tetapi situasinya ternyata lebih rumit. Rejim ini jelas masih memiliki dukungan di antara massa. Tidak adanya kepemimpinan revolusioner yang jelas, dan juga kelas pekerja yang tidak keluar mendukung, ini menyebabkan situasi jalan buntu selama berbulan-bulan.
Rejim Ba’ath Suria pada masa lalu mencanangkan ekonomi terencana seperti Uni Soviet, yang memungkinkan perkembangan ekonomi yang signifikan pada tahun 1960-an dan 1970-an. Pada tahun 1980-an, perekonomian melambat. Setelah runtuhnya Uni Soviet, rejim ini mulai bergerak ke kapitalisme. Akibat dari transisi ini, polarisasi sosial makin membesar. Minoritas elit memperkaya diri mereka, sementara kemiskinan tumbuh. Tingkat pengangguran meningkat sampai lebih dari 20 persen. Ini lebih tinggi bagi kaum muda.
Polarisasi sosial inilah yang menjadi akar revolusi di Suria. Rejim Suria sekarang sangat dibenci oleh massa. Tetapi seperti di Libya, kaum imperialis melihat sebuah peluang untuk mengintervensi dan memasukan kacung-kacungnya ke dalam revolusi ini dan mengarahkannya ke arah yang aman.
Perpecahan-perpecahan telah terjadi di dalam angkatan bersenjata. Banyak perwira yang bergabung dengan “Free Syrian Army”. Ini mengindikasikan banyak tentara bawahan yang bersimpati dengan revolusi, dan sejumlah perwira tinggi yang menyadari ini segera meloncat keluar perahu sebelum perahu ini tenggelam. Para perwira tinggi ini telah meminta kaum imperialis agar membuat zona larangan terbang, yang mengindikasikan bahwa mereka akan memainkan peran konter-revolusioner di dalam revolusi.
Apa yang absen di Suria adalah sebuah kepemimpinan Marxis yang jelas, yang dapat menjelaskan kepada massa bahwa rejim ini harus ditumbangkan, dan digantikan dengan sistem ekonomi terencana di bawah kendali buruh. Tanpa kepemimpinan seperti ini, revolusi ini akan terdorong ke arah “konter-revolusi borjuis demokratik.” Ini tidak akan menyelesaikan masalah-masalah mendesak rakyat. Pada kenyataannhya, kesenjangan sosial akan semakin melebar, dan bahkan lebih cepat daripada sebelumnya. Pada akhirnya, massa akan belajar bahwa tidak cukup hanya menumbangkan Assad. Mereka akan belajar bahwa di bawah kapitalisme tidak ada satupun masalah mereka yang akan terselesaikan.
Para imperialis sangat khawatir akan perkembangan di dunia Arab, yang merupakan hal sentral di dalam perhitungan geopolitik mereka. Jatuhnya Mubarak merupakan sebuah pukulan serius terhadap strategi mereka di Timur Tengah. Ini akan memaksa mereka untuk semakin lebih dekat dengan Israel, satu-satunya sekutu mereka yang bisa diandalkan di daerah tersebut. Mereka juga akan melakukan apapun untuk mendukung rejim Saudi dan para sheik reaksioner di Negara-Negara Teluk.
Baru-baru ini, AS menjual senjata ke Saudi Arabia sebesar $600 juta. Ia berharap bisa menjual ribuan penghancur bunker ke UEA (Uni Emirat Arab). Ia bermanuver untuk menyelamatkan rejim Bahrain, di mana massa mulai bergerak lagi kendati represi hebat dan kehadiran tentara-tentara bayaran Saudi.
Tetapi semua manuver ini pada akhirnya akan sia-sia. Rejim Saudi mengintervensi Bahrain karena khawatir akan keselamatannya sendiri. Keluarga Raja ini busuk, korup, dan munafik, dan sekarang sedang menghadapi krisis suksesi. Pada saat yang sama, taraf hidup rakyat jelata Saudi semakin memburuk dan situasi yang dihadapi oleh para buruh imigran sangatlah menggenaskan. Kepala klerus Wahhabi telah memperingatkan rejim ini agar segera memberikan konsesi-konsesi dan meningkatkan taraf hidup, kalau tidak maka apa yang terjadi di Tunisia dan Mesir akan dapat terjadi di Arab Saudi.
Jin sudah keluar dari botolnya dan akan sulit memasukkannya kembali ke botol. Kebangkitan-kebangkitan revolusioner telah menyebar ke Libya, Suria, Djibouti, Yemen, Bahrain, Jordan, Oman, Aljeria, dan Moroko. Dan massa, setelah bangkit, tidak akan mudah dijinakkan dengan janji-janji, seperti yang terjadi di Mesir. Revolusi ini akan mengalami pasang naik dan surut. Langkah maju akan diikuti dengan kemunduran, keletihan, kekecewaan, kekalahan, dan bahkan reaksi. Tetapi semua ini hanyalah awal dari kebangkitan revolusioner yang bahkan lebih dramatik.
Iran
Revolusi Arab juga mempengaruhi Iran. Ketika Revolusi Iran mulai pada bulan Juni 2009, ribuan kaum muda Iran memiliki harapan besar. Tetapi gerakan ini menemui jalan buntu setelah kebangkitan Ashura pada Desember 2009. Revolusi Arab memberikannya sebuah dorongan baru, menghidupkan kembali gerakan ini pada Februari dan Maret 2011. Ratusan ribu orang terus turun ke jalan. Tetapi gerakan ini, letih dan bingung, karena pengkhianatan Mousavi, Karroubi, dan kaum parlementer Liberal dari gerakan Reformis. Gerakan ini tidak mampu berkembang melebihi demonstrasi-demonstrasi dan oleh karenanya mengalami kekalahan setelah kebangkitan-kebangkitan terakhirnya pada April 2011.
Setelah lebih dari dua tahun perjuangan revolusioner, gerakan ini sekarang mengalami pasang surut. Tetapi tidak ada satupun hal yang terselesaikan. Krisis ekonomi yang semakin dalam, inflasi yang terus meningkat, tingkat pengangguran, dan dihapusnya subsidi untuk barang-barang pokok, akan membawa mood kekecewaan di antara massa, termasuk lapisan-lapisan yang tidak berpartisipasi di dalam gerakan massa 2009.
Walaupun gerakan ini telah kalah, ini tidak berarti situasi di Iran tidak akan berubah. Pada musim panas 2011, gerakan-gerakan besar, dengan puluhan ribu orang, muncul di daerah Azeri dan juga daerah Kurdish Iran. Juga, seperti yang kita prediksikan, sementara ada penurunan di dalam gerakan “demokratis”, ada peningkatan aktivitas kelas buruh. Sejak musim semi 2011, jumlah pemogokan telah meningkat.
Karakter yang paling menarik dari gerakan kelas buruh ini adalah bahwa gerakan ini dipimpin oleh lapisan-lapisan yang baru, yang terdiri dari pekerja kasual yang tidak berpartisipasi pada pemogokan-pemogokan pada periode sebelumnya. Terutama di industri petro-kimia, yang merupakan sektor strategis bagi rejim ini, serangkaian pemogokan, yang lamanya beberapa minggu, dan melibatkan puluhan ribu buruh, telah mengganggu ketenangan yang ada di permukaan masyarakat Iran. Pemogokan-pemogokan ini adalah antisipasi dari sebuah gelombang baru gerakan revolusioner di tingkatan yang lebih tinggi.
Ketegangan di dalam masyarakat menemukan refleksinya di dalam perpecahan di antara elit-elit penguasa, termasuk konflik terbuka antara Khamenei dan Ahmadinejad. Krisis di lapisan atas ini adalah gejala krisis masyarakat yang semakin membesar, yang cepat atau lambat akan menyebabkan gejolak-gejolak baru yang bahkan lebih eksplosif.
Israel dan Palestina
Israel telah mengalami protes-protes massa terbesar di dalam sejarahnya. Netanyahu sangat takut terhadap Revolusi Mesir, karena sekutu regionalnya yang paling dekat tumbang. Kemudian, pada musim panas 2011, rakyat Israel tumpah-ruah ke jalan-jalan, memprotes harga-harga yang naik, dan menuntut kondisi hidup yang lebih baik dan perumahan yang layak. Netanyahu, mencoba untuk meremehkan cakupan gerakan ini, mengatakan bahwa para demonstran ini dibayar oleh kekuatan-kekuatan asing. Tetapi sangat sulit untuk meyakinkan orang dengan ini, ketika 500 ribu orang dari populasi kurang dari 7 juta orang turun ke jalan. Gerakan yang megah ini membantah kelompok-kelompok sektarian yang memandang Israel sebagai satu blok reaksioner.
Rakyat Palestina juga telah terpengaruh oleh Revolusi Arab. Mereka melihat bahwa Abbas telah mengkhianati perjuangan Palestina. Usahanya untuk membuat PBB mengakui Negara Palestina adalah usaha putus-asa untuk mendapatkan kembali sejumlah kredibilitas. Tetapi ini, seperti yang diprediksikan, tidak membuahkan hasil apa-apa. Di antara kaum muda, gagasan Intifada (pemberontakan) akan semakin menggema.
Di bawah situasi seperti ini, kelas penguasa Israel Zionis memcoba mengalihkan perhatian dari isu-isu domestik. Seperti biasanya, Iran digunakan sebagai alat penakut, yang dipresentasikan sebagai ancaman bagi semua kaum Yahudi di Israel. Ini menjelaskan mengapa Israel sekali lagi mengancam untuk menyerang Iran. Israel juga merasa terancam oleh meningkatnya pengaruh Iran di wilayah ini.
Semua ancaman perang ini digambarkan oleh media sebagai usaha untuk “menghentikan” kekuatan nuklir. Tetapi alasannya lebih dalam daripada itu. Israel dan Iran, keduanya sedang memukul genderang-genderang perang untuk mengalihkan perhatian dari konflik-konflik sosial di rumah mereka masing-masing. Mereka sangat tertarik dengan konflik senjata, karena ini dapat digunakan untuk menenangkan gerakan yang sedang berkembang dari bawah dan juga menyatukan perpecahan yang terjadi di lingkaran penguasa. Namun, peperangan terbuka untuk sekarang tidak mungkin terjadi. Perang ini akan terbatas pada serangan-serangan udara terbatas terhadap pusat-pusat militer strategis dan nuklir – seperti yang sudah dilakukan oleh Israel terhadap Suria dan Iran di masa lalu. Kemungkinan serangan seperti ini semakin meningkat karena AS sedang meningkatkan keberadaan militernya di Teluk sementara ia menarik mundur tentaranya dari Irak.
Bila Israel menyerang Iran, ini akan memicu ledakan di seluruh Timur Tengah. Massa rakyat akan turun ke jalan-jalan menentang imperialisme Israel dan AS, dan menggoncang setiap rejim yang ada. Bahkan di Iran, perang ini hanya akan memberikan ruang bernapas sementara, dan seperti semua konflik militer ini akan membawa ke permukaan semua kontradiksi di dalam masyarakat dan mengekspos karakter rejimi ini yang sesungguhnya. Rejim Israel dan Iran akan merasakan tekanan dari rakyat dan oleh karenanya tidak akan dapat melangkah mundur. Mereka akan terpaksa terus melanjutkan provokasi mereka.
Kaum proletar Timur Tengah adalah faktor yang menentukan. Membangun sebuah tendensi Marxis di Arab adalah sebuah tugas mendesak. Revolusi Arab akan mengalami pasang surut dan naik seperti Revolusi Spanyol tahun 1930-an. Akan ada proses diferensiasi di dalam masyarakat. Sayap kiri akan mengkristal, dan begitu juga sayap kanan ekstrim. Kita harus mencari jalan untuk masuk ke dalam proses ini.